Opini

Pajak, Kebijakan yang Menyengsarakan Rakyat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nurlela

wacana-edukasi.com, OPINI–Satu “Orang Bijak Bayar Pajak”, “Bangga Bayar Pajak”. Inilah sebagian kecil dari slogan-slogan mengenai pajak yang sering didengar oleh sebagian besar masyarakat dan senantiasa terus di opini kan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan minat masyarakat dalam membayar pajak.

Tidak bisa dimungkiri, di negeri ini pajak merupakan salah satu sumber utama pemasukan keuangan negara di samping sumber pemasukan yang lainnya, seperti Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) dan hibah (Undang-Undang Nomor 20/2019 tentang APBN tahun anggaran 2020). Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. (WWW.Pajakku.com).

Dengan kata lain, sumber pembiayaan roda pemerintahan di negeri ini berasal dari pajak. Sehingga tidak heran apabila pemerintah akan terus berusaha agar sumber pemasukan keuangan yang berasal dari pajak tidak mengalami kendala.

Seperti baru baru ini, per 1 Januari 2023 pemerintah secara resmi menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi atau karyawan. Perubahan tarif pph ini berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang diteken oleh presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022.

Perubahan tarif ini sejalan dengan dirilisnya Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sebagaimana diketahui Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia sudah mengalami perubahan sejak adanya
UU HPP pada 1 Januari 2022. Pemerintah pun memberlakukan tarif pph karyawan secara progresif, artinya semakin besar penghasilan wajib pajak, maka pajak yang dikenakan bakal lebih besar (Investor.id, 28/12/2022)

Sungguh miris, di tengah himpitan ekonomi yang semakin sulit lagi-lagi pemerintah menjadikan rakyat sebagai ‘sapi perah’ untuk membiayai roda pemerintahan negeri ini dengan adanya kewajiban membayar pajak. Padahal sejatinya negeri ini memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah yang tersebar hampir di seluruh wilayah negeri Ini, mulai dari Sabang hingga Merauke, seperti emas, gas alam, minyak bumi, batu bara, dan lain lain.

Namun sayang penerapan sistem kapitalisme sekuler di negeri ini menjadikan adanya salah kelola sumber daya alam (SDA) yang dimiliki negari ini. Sumber daya alam yang melimpah yang seharusnya menjadi sumber pemasukan keuangan terbesar bagi negeri ini pengelolaannya justru diserahkan kepada asing dan swasta atas nama investasi.

Dengan adanya payung hukum tersebut, baik asing maupun swasta bisa dengan bebas mengeruk kekayaan alam negeri ini. Sementara untuk membiayai roda pemerintahan negeri ini, penguasa hanya mengandalkan pajak yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan apabila pemerintah mengelola sendiri SDA yang dimiliki. Sehingga wajar apabila keuangan negeri ini kerap mengalami goncangan. Yang pada akhirnya rakyat kembali kembali menjadi korban. Rakyat dipaksa ‘merogoh kocek’ lebih dalam lagi untuk membayar pajak demi berjalannya roda pemerintahan.

Pajak Dalam Pandangan Islam

Sebagai sebuah mabda, Islam memiliki seperangkat aturan yang paripurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari ibadah ritual seperti sholat, zakat ,puasa, haji, hingga masalah pemerintahan, salah satu nya mengenai sumber pemasukan keuangan negara.

Sejatinya Islam melarang siapapun, baik individu maupun negara mengambil harta orang lain tanpa adanya sebab yang dibenarkan. Karena hal ini termasuk dalam tindakan kezaliman yang diharamkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda :

“Siapa saja yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka kelak akan dikalungkan kepada dirinya tujuh lapis bumi (HR Al Bukhari dan Muslim)

Di dalam Islam pajak termasuk ke dalam perbuatan menarik pungutan dari rakyat tanpa ada kerelaan dan sebab-sebab yang diperbolehkan, sehingga termasuk dalam tindakan kezaliman. Karenanya Islam menetapkan kondisi-kondisi di mana negara boleh menarik pajak dari rakyatnya :

1. Pajak hanya akan dipungut di saat kondisi kas negara (Baitul mal) negara mengalami kekosongan atau tidak mampu mencukupi untuk membiayai urusan-urusan rakyat. Sehingga akan menyebabkan kemudharatan bagi rakyat atau akan menyebabkan terhambatnya urusan rakyat. Namun apabila kondisi Baitul mal sudah normal maka pungutan pajak akan di hentikan.

2. Pajak tidak dibebankan kepada semua rakyat, melainkan pajak hanya akan dipungut dari orang-orang muslim yang memiliki kelebihan harta. Sementara rakyat yang kekurangan secara finansial dan orang-orang non muslim tidak akan dikenai pajak.

3. Di dalam Islam, pajak bukan sumber putama pemasukan keuangan negara. Pajak hanya bersifat sebagai pelengkap karena sistem Islam memiliki sumber utama pemasukan keuangan negara yang beragam dan tetap seperti kharaj, jizyah, fa’i, ghonimah, zakat dan lain-lain.

Inilah pandangan Islam mengenai pajak. Pajak bukanlah sumber utama pemasukan keuangan negara. Posisi pajak hanya sebagai pilihan terakhir disaat kondisi keuangan negara (Baitul mal) mengalami kekosongan sehingga bisa berakibat buruk kepada rakyat. Alhasil menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan keuangan negara hanya akan menjadikan kehidupan rakyat semakin berat. Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 153

Comment here