Opini

Keadilan dalam Demokrasi Hanyalah Pepesan Kosong

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.

wacana-edukasi.com, OPINI– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Bertambahnya tersangka dalam kasus ini, menunjukkan bahwa dugaan suap-menyuap dalam tubuh MA sangat menggurita. Selain itu, terungkapnya kasus suap ini pun membuktikan bahwa sistem pengawasan dan penindakan terhadap hakim agung yang melanggar etik, sangatlah lemah.

Salah satu pengamat hukum mengatakan, bahwa hakim yang tertangkap memiliki rekam jejak dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik sebelum praktik suapnya terungkap, namun terjadi pembiaran atas laporan-laporan pelanggaran etik tersebut. Terlebih lagi, kurangnya jangkauan kewenangan lembaga pengawasan dalam tubuh MA menjadikan pengungkapan tindak korupsi hanya terjangkau oleh KPK. Adapun salah satu celah korupsi di tubuh MA adalah ketika terjadi promosi dan mutasi jabatan hakim.

Mirisnya, kinerja KPK yang baik dalam mengungkap tindak korupsi di tubuh MA, justru malah mendapat tanggapan yang kurang mengapresiasi dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia menyatakan, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangap Tangan (OTT). KPK harus bekerja dengan hati dan lebih toleran, jangan sering- sering melakukan OTT karena itu akan buruk dan merusak citra negeri. Jika ingin bersih dari korupsi tempatnya di Surga, katanya.

Selain itu, pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajat Dimyati ini, Menkopulhukam Mahfud MD menyatakan, bahwa pemerintah akan segera membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia, yakni dibuat integritas dalam sistem peradilan, sehingga fungsi dan batasan kewenangan setiap lembaga hukum bisa diatur dengan jelas.

Banyaknya kasus suap-menyuap di lembaga peradilan menunjukkan, bahwa dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini, keadilan adalah sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Kapitalisme yang mengusung asas sekulerisme menjadikan manusia berwatak bebas dan materialistis serta hedonistis. Mereka lupa dengan hakikat tujuan hidupnya, yaitu untuk taat kepada Allah dan senantiasa hidup berjalan menurut aturan-Nya. Sistem politik demokrasi menuhankan manusia yang lemah, serba terbatas, dan sarat akan kepentingan ketika membuat aturan kehidupan. Hal ini menjadikannya memihak pada keuntungan semata, termasuk dalam ranah peradilan. Pada akhirnya, mengharapkan keadilan dalam sistem seperti ini merupakan hal yang mustahil. Pengadilan tidak bisa dijadikan tempat untuk meminta keadilan bagi rakyat yang terdzalimi. Pengadilan hanya jadi tempat untuk memenangkan keadilan dengan segala cara walaupun dengan melakukan keharaman seperti suap menyuap atau korupsi lainnya. Faktor manusia, baik dari penyuap ataupun yang disuap, sama- sama bermental korup, yang terbentuk oleh sistem yang meniscayakan tindak korupsi dan sejenisnya merajalela. Termasuk para oknum peradilan, dalam hal ini seorang hakim, yang seharusnya memberikan keadilan, malah tergoda saat diberikan imbalan harta yang banyak untuk memuluskan suatu kasus.

Inilah problem sistematik dan asasi yang cacat bawaan dari sistem kapitalisme demokrasi, yang tidak akan pernah bisa memberantas tuntas tindak korupsi. Walaupun ada lembaga super anti korupsi seperti KPK atau membuat konsep besar peradilan. Terlebih tidak pernah ada sanksi yang tegas dan menjerakan bagi pelaku tindak korupsi tersebut. Alhasil, kasus tindak kejahatan korupsi semakin menjamur.

Satu-satunya cara agar tindakan korupsi bisa dibasmi secara tuntas adalah dengan menghapus sistem kapitalisme demokrasi yang rusak ini dan menggantinya dengan sistem yang anti korupsi, yang mampu menciptakan keadilan. Sistem yang setiap individu di dalamnya tidak melandaskan perbuatannya sekadar pada kepentingan atau keuntungan pribadi atau golongan, tapi berlandaskan pada keimanan kepada Al Khaliq, untuk mencapai keridhaan-Nya, itulah sistem Islam.

Aturan Islam yang sempurna, merupakan solusi bagi setiap permasalahan umat manusia, termasuk masalah korupsi. Islam mengharamkan tindak korupsi, dan melaknat para pelakunya serta pihak yang terlibat, dengan mendapat laknat dari Allah serta azab neraka.
Rasulullah saw bersabda : “Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum. ” (HR. Tirmidzi).
“Yang menyuap dan yang disuap masuk neraka.” (HR. Ath-Thabrani).

Hakim (qodhi) dalam Islam bertugas untuk menyampaikan kabar hukum (syari’at) kepada para pelaku kemungkaran (kejahatan). Dengan demikian, keadilah hukum Allah lah yang akan tampak dalam proses peradilan, karena qodhi sebagai aparatur negara tidak memiliki kepentingan apapun, kecuali untuk mencapai keridhaan Allah dengan menegakkan hukum Allah, termasuk dalam masalah persanksian. Oleh karena itu, negara mampu menciptakan keadilan, dengan asas ketakwaan pada seluruh aparatur negaranya, termasuk para qodhi. Inilah yang meniscayakan penumpasan korupsi dan sejenisnya secara tuntas.

Dalam Islam ada tiga jenis qodhi. Pertama, Qodhi khusumat yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa di antara individu di tengah masyarakat, yang berkaitan dengan muamalah, seperti sengketa dalam masalah jual-beli, hutang-piutang dan sebagainya. Kedua, Qodhi Muhtasib yang bertugas mengkaji dan menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat umum walaupun tanpa adanya penuntut, semisal kecurangan di pasar, dan sebagainya. Ketiga, Qodhi Madzalim untuk menghilangkan atau menghentikan kedzaliman dalam wilayah pemerintahan.  Baik kedzaliman yang dilakukan negara berupa kebijakan maupun yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam meriayah rakyat, atau sebaliknya kedzaliman dari rakyat kepada negara.

Hakim menyampaikan hukum sanksi kepada pelaku, sesuai dengan kemaksiatan yang dilakukan, apakah sanksi berupa hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat. Terkait kasus suap-menyuap dan korupsi, qodhi yang menanganinya adalah qodhi khusumat, karena kasus tersebut terkait kecurangan. Adapun jenis sanksi yang akan dikenakan, masuk dalam katagori ta’zir yang jenis sanksinya diserahkan kepada kebijakan seorang khalifah. Mulai dari hukuman yang bersifat hukuman mental dengan mengumumkan kepada khalayak tentang perbuatan curang yang dilakukan, menyita harta hasil korupsi atau suap, dan menyimpannya di baitul mal, serta diberi sanksi dengan hukuman penjara, misalnya.

Selain pemberian sanksi, negara khilafah sebelumnya melakukan upaya preventif dalam bentuk audit dan pengawasan kekayaan pejabat, termasuk qodhi. Audit akan dilakukan secara berkala ketika menjalankan jabatan, sehingga jika ada penambahan harta yang tidak wajar, khilafah akan menyitanya dan menyimpannya di baitul mal. Jabatan qodhi, haruslah diisi oleh orang yang faqih fiddien dan benar-benar bertakwa, bahkan afdhol nya adalah seorang mujtahid. Kualitas SDM seperti ini akan hadir sebagai output dari pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh khilafah. Oleh karena itu, penerapan Islam kaffah lah yang pada akhirnya akan menghadirkan keadilan yang hakiki dalam segala aspek kehidupan, bukan hanya dalam peradilan yang mampu menuntaskan kasus suap-menyuap dan korupsi.

Wallahu’alam bishawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here