Oleh: Diaz Ummu Ais
wacana-edukasi.com, OPINI– Pajak masih menjadi primadona bagi pemasukan negara yang mendapat julukan tanah gemah ripah loh jinawi ini. Baru-baru ini pemerintah memberlakukan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tahun 2023. Setelah sebelumnya pemerintah sudah membuat kebijakan naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%. Tarif pajak penghasilan terbaru ini akan berlaku mulai 1 Januari 2023 dan menyasar pribadi maupun karyawan dengan penghasilan Rp 60 juta pertahun atau dengan rata-rata Rp 5 juta perbulan.
Dikutip dari Kontan.co.id Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan ubungan Masyarakat Neilmanldrin Noor dalam keterangan resminya mengatakan, “Dengan ini kami menegaskan, untuk gaji 5 juta per bulan (60 juta rupiah per tahun) tidak ada skema pemberlakuan pajak baru atau tarif pajak baru. Orang yang masuk kelompok penghasilan ini dari dulu sudah terkena pajak dengan tarif 5%.”
Hal ini tertuang dalam peraturan pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 terkait penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan yang telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Desember 2022. Perubaan tarif pajak ini sejalan dengan UU Nomor 7 Tahun 2001 terkait Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Lebih lanjut Neilmanldrin Noor mengatakan jika pemerintah telah menyiapkan 4 kebijakan utama untuk mencapai target penerimaan pajak.
Pertama, pemerintah akan mengoptimalisasi perluasan basis pemajakan lewat tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan implementasi NOmor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Wajib Pajak (NPWP). Saat ini yang tercatat dalam proses NIK yang terintegrasikan dengan NPWP mencapai 75%.
Kedua, menguatkan eksstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan. Dilakukan lewat implementasi penyusunan daftar prioritas pengawasan, prioritas pengawasan terhadap wajib pajak (WP) high wealth individual, serta WP grup dan ekonomi digital.
Ketiga, mempercepat reformasi pada sumber daya manusia, organisasi, proses bisnis serta regulasi. Melalui persiapan implementasi core tax system, perluasan kanal pembayaran pajak, penegakan hukum yang berkeadilan dan pemanfaatan kegiatan digital forensik.
Keempat, memberikan insentif fiskal yang terarah dan terukur ditujukan agar mendorong pertumbuhan sektor tertentu serta memberikan kemudahan investasi.
Pajak Sumber Pemasukan Utama Negara ala Kapitalis
Pemerintah berdalih penerbitan aturan baru mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) dalam rangka menekan defisit angaran dan meningkatkan tax ratio sehingga butuh untuk mengambil kebijakan fiskal. Tak heran jika hal ini terjadi karena pajak menjadi sumber utama pemasukan negara penganut sistem kapitalis.
Sumber pendapatan dari pajak persentasenya adalah yang tertinggi jika dibanding dengan sumber pendapatan negara dari sektor lain. Dikutip dari CNN Indonesia, sumber pendapatan Dari pajak bisa menyumbang sekitar 80% dari total pendapatan negara. Jadi wajar jika pemerintah meluncurkan segala macam kebijakannya agar seluruh lapisan masyarakat tidak luput dari wajib pajak.
Pajak dan Pemasukan Negara dalam Pandangan Syara’
Istilah pajak dalam fiqih Islam dikenal dengan dlaribah. Al-Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebut pajak dengan , “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban Syara’. (Mu’jam Lihat al-Fuqaha’, halaman 256). Sedangkan al-Allamah Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dengan, “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, halaman 129)
Dalam APBN Khilafah ada dua sumber pendapatan negara. Sumber pendapatan tetap dan tidak tetap. Sumber pendapatan tetap yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitu Mal adalah Fai’, Jizyah, Khataj, Usyur, Harta milik umum yang dilindungi negara, Harta haram yang pejabat dan pegawai negara, Khusus Rikaz dan tambang, Harga orang yang tidak memiliki ahli waris, Harta orang murtad.
Pajak masuk pada kategori pendapatan atau pemasukan tidak tetap. Disebut insidental atau tidak tetap karena tidak diambil secara tetap, tetapi bergantung kebutuhan yang dibenarkan syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau pun tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada harta maka kewajiban tersebut berpindah kepada kaum muslim. Karena jika tidak maka akan menyebabkan dlarar bagi seluruh kaum muslim. Untuk menghilangkan dlarar tersebut maka negara boleh menggunakan instrument pajak. Namun hanya bersifat insidental sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai atau sampai Baitul Mal memiliki dana untuk mengcovernya.
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum muslim, tetapi tidak semua kaum muslim terkena wajib pajak apalagi non-muslim. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu saja. Dari kelebihan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang porposional 9ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Jika tidak mempunyai kelebihan maka tidak akan diambil darinya.
Karena itu pajak dalam islam bukan untuk menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan syara’. Pos-pos yang diwajibkan dibiayai dengan ada ataupun tidak adanya dana Dibaitul Mal diantaranya biaya jihad, biaya industri perang, pengeluaran untuk fakir miskin dan ibnu sabil, pengeluaran untu gaji aparatur negara serta pihak yang mengurus kemaslahatan kaum muslim, biaya untuk infrastur dan fasilitas umum, dan biaya penanggulangan bencana alam.[]
Views: 28
Comment here