Oleh : Mega Lestari
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Pajak, sederhananya merupakan pungutan dari rakyat untuk mengisi “dompet kas” negara. Dilansir dari CNN Indonesia bahwa 80% pendapatan negara bersumber dari pajak yang harus dikeluarkan oleh rakyat. Jelas menjadi sumber terbesar bagi pendapatan negara, karena tanpa kita sadari ruang gerak kita kini dipungut biaya pajak.
Pajak negara yang umum kita ketahui diantaranya ialah pajak penghasilan (PPh), pajak penjualan, pajak kendaraan bermotor, pajak balik nama kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, bahkan makan di restoran, belanja kebutuhan pokok, berwisata, hingga memesan sesuatu dengan layanan online pada sebuah aplikasi pun juga kini dikenai pajak.
Bagaimana sebenarnya kedudukan pajak negara dalam Islam? Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, pajak jenis ini telah dihapuskan islam. Akan tetapi kenyataan yang dihadapi sekarang hampir seluruh negara Islam menerapkan pajak jenis ini untuk membiayai kebutuhan negara yang semakin bermacam. Untuk itu dibutuhkan ijtihad baru para ulama. Dalam hal ini para ulama memiliki pendapat berbeda dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama, menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslim, karena kaum muslim sudah dibebani kewajiban zakat. Hal ini diperkuat dengan hadist Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459).
Terlebih ada banyak dalil yang mengecam para pemungut pajak yang dzalim dua diantaranya adalah hadist berikut :
Pertama, Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ).
Kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Adapun pendapat kedua, menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum Muslim, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
Dikutip dari Alhikmah.ac.id, adapun para ulama yang membolehkan pemungutan pajak dari umat Islam menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu dalam pemungutan pajak. Syarat-syarat tersebut diantaranya sebagai berikut :
Pertama: Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh.
Kedua : Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
Ketiga: Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.
Keempat: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi.
Kelima: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Keenam: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja,
Ketujuh: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Sebagian besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa yang terjadi pada zaman Imam Nawawi. Pada waktu itu terjadi penyerangan besar-besaran pasukan Tartar kepada wilayah-wilayah kaum muslimin, hampir semua wilayah kaum muslimin telah ditaklukan oleh pasukan Tatar.
Yang berkuasa di Syam waktu itu adalah Sultan Zhahir Baibas. Beliau mengajak para ulama untuk bermusyawarah dalam menghadapi pasukan Tatar, sedang kas yang ada di Baitul Maal tidak mencukupi untuk biaya perang. Akhirnya mereka menetapkan bahwa Negara akan memungut pajak kepada rakyat, terutama yang kaya untuk membantu biaya perang.
Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “ kenapa tuan menolak ?”
Imam Nawawi berkata: “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.”
Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pula sangat marah kepadanya dan berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung Nawa di daerah Syam. Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata: “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir ada di sana”. Tak lama kemudian, setelah satu bulan, Sultan pun mati. ( Imam Suyuti, Husnu al Muhadharah : 2/ 66-67 )
Lantas, apakah pajak negara yang selama ini dipungut dari rakyat telah memenuhi syarat dan sesuai syari’at?
Setelah ditelaah, pemungutan pajak negara dari rakyat sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, bahkan menyimpang dari syari’at Islam.
Seperti yang kita ketahui bahwa pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari, hal tersebut secara tidak langsung dapat membebani rakyat, terutama rakyat kecil.
Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas. Pajak hari ini tidak hanya dipungut dari orang-orang kaya namun juga dari rakyat kecil. Dan sejatinya dalam Islam, pemungutan pajak ini tidak dijadikan sumber pendapatan negara, namun sebagai opsi terakhir untuk mengatasi satu kegentingan negara saat kas negara sedang kosong.
Menyinggung pendapatan negara, ironisnya justru digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak darurat bahkan bersifat menghambur-hamburkan saja. Seperti misalnya untuk pembelian mobil dinas untuk anggota DPR dan pejabat, pembiayaan pemilu, kepentingan kampanye, bahkan dipakai untuk mengganti gorden gedung DPR dengan harga gorden yang fantastis, yang lebih parahnya lagi hasil dari pajak ini juga telah banyak dicuri masuk saku tikus-tikus berdasi.
Padahal dalam negeri kita ini masih ada banyak rakyat kecil yang harus berjuang sendiri menghadapi himpitan ekonomi, masih banyak anak-anak yang tak bersekolah, serta para ibu yang menggandakan peran sebagai pejuang nafkah yang hampir menyerah.
Pajak hari ini hanya alat kapitalisme memeras rakyat. Bagaimana tidak? Sumber daya alam diambil namun tidak dikelola dengan baik dan bahkan dijual pada pengusaha asing, sumber daya alam negara yang amat sangat melimpah ini sama sekali tidak bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh rakyat karena harus tetap merauk kocek untuk dapat menikmatinya. Adapun biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan yang membutuhkan uang yang tidak sedikit saat ini tidak dijamin oleh negara. Penggunaan transportasi publik juga masih harus berbayar. Penghasilan rakyat pun selama ini dipungut pajak oleh negara. Lantas dengan kata lain apalagi yang tepat selain “memeras”.
Negara kini bahkan berani memaksa rakyatnya untuk memungut pajak. Seperti pada pemberitaan yang ramai ini, dilansir oleh CNBC Indonesia bahwa Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni mengungkapkan bahwa jika STNK tidak diperpanjang setelah 2 tahun berturut-turut alias tidak membayar pajak, maka data registrasi dan identifikasi pada STNK otomatis terhapus, sehingga kendaraan tersebut akan diblokir dan menjadi bodong permanen.
Solusi satu-satunya ialah dengan kembali pada Islam dan syari’atnya untuk terlepas dari belenggu kapitalisme yang menyengsarakan dan menjalani kehidupan sejahtera dan penuh keberkahan.
Wallahu’alam bishowab.
Views: 92
Comment here