Oleh Marlina (Santri PIRT Khodimus Sunnah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Calon jamaah haji tahun ini harus siap-siap menerima pil pahit. Pasalnya, Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji menjadi sebesar Rp69 juta. Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta (cnnindonesia.com, 20/02/23)
Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta cnnindonesia.com, 20/02/23).
Tambahan biaya itu dimasukkan ke dalam komponen paket yang dibayarkan calon jemaah, rata-rata 7.000 SAR atau setara Rp26 juta rupiah. Lonjakan biaya haji tahun ini akibat pemerintah Arab Saudi menerapkan paket layanan masyair senilai 5.656,87 SAR atau sekitar Rp21 juta per jemaah. Padahal, awalnya Kementerian Agama hanya menganggarkan 1.531,85 atau setara Rp5,8 juta rupiah per jemaah. Layanan masyair mencakup perjalanan dan akomodasi di Arafah, Muzfdalifah, dan Mina – tiga tempat terpenting dalam ibadah haji (bbc.com, 03/06/22)
Anehnya, pemerintah mengusulkan biaya hidup (living cost) yang diberikan kepada jemaah haji tahun ini hanya sebesar 1000 Riyal atau setara Rp4.080.000. Angka ini menurun 500 Riyal dari tahun lalu dengan alasan bahwa mereka sudah menerima layanan akomodasi, konsumsi dan transportasi selama di Arab Saudi.
Kenaikan biaya haji ini tentunya membuat masyarakat panik. Sudahlah antrean panjang dengan waktu tunggu lama, sekarang ditambah biaya yang sangat mahal. Selain itu, kesulitan administrasi dengan batas usia dan syarat calon haji harus mengantongi sertifikat vaksin juga dirasakan masyarakat.
Masalah mendasar dalam pengelolaan dana haji hingga penyelenggaraan haji saat ini terletak pada spirit bisnis. Spirit ini hadir di tengah tingginya hasrat umat Islam untuk menjalankan ibadah haji. Sebagai rukun Islam, sudah barang tentu kaum muslim berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankannya.
Sayang, lensa kapitalisme hadir, bahkan pada saat umat mengazamkan niat suci untuk mengunjungi Tanah Haram. Prinsip-prinsip pengelolaan dana haji pada akhirnya kental dengan spirit kapitalisme. Mengapa? Dana sebesar ini mana mungkin dibiarkan menganggur. Keinginan untuk menjalankan ibadah haji yang bertemu dengan naluri bisnis dalam sistem yang kapitalistik, ampuh menjadi bahan bakar dalam menjalankan prinsip-prinsip investasi. Inilah masalah mendasarnya.
Apa yang menjadikan penguasa menyulitkan para jamaah haji ini tiada lain karena adanya kapitalisasi biaya haji. Bukankah seharusnya pemimpin berkewajiban meringankan para jamaah agar mudah melaksanakan kewajibannya.
Bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, maka kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji. Jika karena satu dan lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikanya, maka dia dinyatakan tidak berdosa, karena telah berazzam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya.
Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, maka dia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).
Namun konsep pengurusan ini tidak ada dalam kepemimpinan kapitalisme. Karena kapitalisme memandang sesuatu berdasarkan untung dan rugi. Jika calon haji berangkat sedikit tentunya akan lebih mudah bukan malah lebih sulit dengan ditambah kenaikan biaya.
Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan kapitalisme dalam penyelenggaraan haji. Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Islam dalam melayani para jamaah haji ini.
Pertama, negara menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang mampu dalam pengurusan umat.
Kedua, jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Islam adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Negara juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Ketiga, negara berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, negara harus memperhatikan: (1) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.
Keempat, negara akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi’l[an].
Kelima, pemerintahan Islam akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.
Strategi-strategi tersebut hanya bisa diaplikasikan secara paripurna dalam sistem Islam, bukan dalam kapitalisme. Selama penyelenggaraan ibadah haji diatur dalam sistem kapitalis, maka problem mahal dan antri tak akan ada ujungnya
Sistem Islam akan selalu mengedepankan kemudahan dalam urusan umat. Pemimpin tidak akan memberatkan ummat apalagi dalam masalah ibadah bahkan justru mendorong ummat agar semangat beribadah.
Wallahu a’lam bish showab
Views: 7
Comment here