Oleh: Mita Octaviani S.Pd
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Semakin banyak masalah umat yang terus bermunculan tiada hentinya. Masalah-masalah dengan penyelesaian yang terkatung-katung tak ada ketuntasan dan kejelasan dalam sistem saat ini. Tantangan kehidupan yang harus dihadapi di era digitalisasi dan modernisasi ini sangatlah besar. Pengaruh sebuah sistem yang memiliki asas manfaat, membuat kehidupan dalam sistem yang disebut kapitalisme ini mendorong manusia untuk melakukan segala hal, apapun dilakukan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Bak tak ada rotan akar pun jadi, pepatah ini pantas disandingkan dengan perilaku segelintir orang untuk mengumpulkan cuan. Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, segelintir orang rela melakukan apapun. Dengan memanfaatkan teknologi dan digitalisasi, segelintir orang rela merendahkan harkat dan martabat diri sendiri maupun orang lain. Akibatnya muncul dan menjamurnya perilaku mengemis online dalam sosial media hari ini.
Dalam media sosial TikTok, bersliweran konten viral pengemis online, bahkan diikuti oleh segelintir orang yang tergiur untuk meraup pundi-pundi cuan.
Dilansir melalui Kompas.com memaparkan bahwa Menteri Sosial Tri Rismaharini mengaku bakal menyurati pemerintah daerah (Pemda) guna menindak orang-orang yang melakukan fenomena “ngemis online” di platform media sosial “Tiktok”. Ia menegaskan bahwa fenomena mengemis, baik online maupun offline memang tidak diperbolehkan.
“Nanti saya surati ya. Ndak, ndak (bukan ke kepolisian). Saya imbauan ke daerah, tugas saya itu untuk menjalankan. Itu (ngemis online) memang nggak boleh,” kata Risma ditemui di Desa Lambang Sari, Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (15/1/2023).
Beberapa konten yang banyak disoroti warganet hari ini adalah live di TikTok dengan cara berendam di air hingga mandi lumpur. Fenomena ‘mengemis online’ dengan cara-cara tersebut tidak hanya dilakukan satu orang, namun juga sejumlah orang. Bahkan juga orang tua atau lansia.
Dilansir melalui BBC NEWS Indonesia, Sosiolog dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan bahwa sebetulnya bukan hal baru. Tapi mulai membesar sejak pandemi Covid-19. Sebab waktu itu, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. Menurut Devie ada beberapa sebab mengapa konten pengemis online dianggap menguntungkan.
“Pertama karena mudah, murah, dan akan lebih luas potensi cakupan orang-orang yang bisa dimintai pertolongan,” jelasnya kepada BBC News Indonesia, Jumat (13/01). Tapi dari pantauannya, tak semua orang yang membuat konten meminta-minta ini dilatari oleh persoalan keterdesakan hidup akibat diberhentikan bekerja atau butuh dana untuk berobat.
Kedua, ada juga yang didasari oleh kecanduan obat-obat terlarang sehingga cara paling gampang mendapatkan uang dengan pura-pura minta pertolongan.
Ketiga, karena ada kebutuhan-kebutuhan “gaya hidup” yang harus dipenuhi sehingga memilih jalan pintas seperti itu.
Terakhir kemungkinan adanya sindikat kejahatan di balik konten seperti itu. Sebab di beberapa negara, menurut Devie, ada komplotan yang ditangkap karena mengeksploitasi anak demi berusaha merebut empati orang.
Fenomena ini menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang terombang-ambing berjuang sendiri demi kelangsungan hidupnya karena tidak ada jaminan hidup layak. Keadaan masyarakat yang sakit akibat hidup di tengah sistem yang rusak membuat sulit untuk hidup sejahtera dan berkecukupan.
Lalu, bagaimana jika berada dalam kondisi yang sangat terpaksa?
Dikisahkan, demikianlah seperti yang dirasakan salah seorang sahabat, Qabishah bin Mukhariq Al Hilal. Ketika ia tidak mampu lagi menunaikan nafkahnya lantaran beratnya beban hidup yang melandanya, Rasulullah pun memberikannya tiga syarat. “Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh, kecuali bagi salah satu dari tiga golongan.
Pertama, orang yang memikul beban tanggungan yang berat di luar kemampuannya. Maka, dia boleh meminta-minta sampai sekadar cukup, lalu berhenti.
Kedua, orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya. Maka, dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya.
Ketiga, orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya menganggapnya benar-benar sangat miskin. Maka, dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya. Sedangkan selain dari ketiga golongan tersebut hai Qabishah maka meminta-minta itu haram, hasilnya bila dimakan juga haram.” (HR Muslim).
Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak, kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggungnya, itu lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, kemudian dia diberi atau ditolak.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, selain kesadaran dari masing-masing individu dalam menjaga kemuliaannya untuk tidak mengemis. Juga dibutuhkan peran masyarakat untuk saling mengingatkan dalam hal kebenaran.
Negara juga seyogyanya mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas sampai ke akarnya. Menjamin kehidupan seluruh masyarakat dengan layak dan berkecukupan, serta semua lapisan masyarakat mendapat jaminan hidup serta rasa aman dari kejahatan maupun dari semua bentuk tindak eksploitasi. Sehingga tidak terjadi hal yang merendahkan manusia atau segelintir orang yang memanfaatkan kemiskinan demi meraih keuntungan pribadi.
Jika sistem kapitalisme-sekular hari ini tidak mampu memberikan solusi tuntas, kenapa tidak mengambil solusi dari Islam yang telah terbukti tertoreh dengan tinta emas selama 13 abad mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan secara merata dalam berbagai lini kehidupan?!
Wallahu’alam bishowab.
Views: 39
Comment here