wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Tingginya jumlah gelandangan dan pengemis pasti berkorelasi positif dengan kemiskinan. Ironis, Indonesia, Kalbar khususnya, negeri dengan sumber daya alam yang sangat besar, namun masih banyak penduduk yang miskin bahkan menjadi gepeng.
Ketua Pengurus Wilayah Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Provinsi Kalimantan Barat, Putriana, mengatakan maraknya Gelandangan dan pengemis atau yang disingkat dengan Gepeng di persimpangan jalan yang ada di Kota Pontianak, terutama Gepeng di bawah umur, atau di usia anak menjadi perhatian semua pihak (pontianak.tribunnews.com, 09/02/2023).
Menurutnya, pencegahan dan penanganan akan maraknya Gepeng ini harus lebih digalakkan, sebab anak seharusnya berada di ruang-ruang pendidikan, dan bukan di jalanan.
“Pemerintah Kota Pontianak sudah memiliki Perda Tibum Nomor 19 Tahun 2021, untuk itu, Perda ini harus diimplementasikan dengan baik sebagai cara untuk menangani dan bahkan mencegah adanya Gepeng di Kota Pontianak, terutama terhadap Gepeng di usia anak,” ujarnya, Rabu 8 Februari 2023.
Ia juga menuturkankan, bahwa maraknya Gepeng yang turut melanda anak-anak ini disebabkan oleh faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan, sosial dan lain sebagainya. Namun jika institusi politik dan birokrasi bekerjasama untuk menjadikan upaya perlindungan anak sebagai arus utama, maka fenomena anak yang menjadi Gepeng di jalanan akan senantiasa teratasi.
Tidak kalah memilukan adalah adanya jurang kesenjangan sosial yang begitu lebar antara si kaya dan si miskin. Jika sudah begini, apa masih bisa kita yakini bahwa kemiskinan seperti ini sekadar bersifat individual? Bukankah model kemiskinan ini sudah menjangkit berbagai lini, yang sejatinya lebih tepat kita nyatakan sebagai kemiskinan sistemis?.
Penerapan ideologi kapitalisme adalah biang kerok lahirnya jurang kesenjangan itu. Sikaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, bukanlah isapan jempol belaka. Kondisi ini adalah realitas pahit yang harus kita sadari, sehingga kita mampu bertindak bahwa kita butuh sistem yang baru, dan kita harus mengenal kebutuhan tersebut dengan baik. Bukan lagi kapitalisme yang menyengsarakan, melainkan Islam yang menyejahterakan.
Gelandangan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial hanyalah sekelumit ekses penerapan akidah sekuler di bawah naungan sistem kapitalisme. Masih banyak wujud kerusakan lainnya. Ini menunjukkan ketidakmampuan kapitalisme menjadi ideologi penjaga dunia sebagaimana yang selama ini pengusungnya agung-agungkan.
Tegaknya kapitalisme tidak dilandasi akidah yang sahih. Pantaslah penerapannya juga menghasilkan bentuk-bentuk solusi yang tambal sulam, jauh dari perubahan hakiki. Ini tentu berbeda jauh dengan Islam, yang tidak ada sedikit pun keraguan padanya yang kesahihan aturannya dijamin oleh Allah Swt. hingga hari akhir, dan penerapannya di dunia membuahkan rahmatan lil ‘alamiin.
Penerapan sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya harapan untuk menyelesaikan kasus maraknya gelandangan dan pengemis di negeri ini. Hanya dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan rakyat.
Islam menentukan bahwa kekayaan alam adalah milik rakyat yang dikelola negara untuk kemakmuran rakyat. Islam juga mewajibkan negara menyantuni rakyat yang lemah dan memenuhi kebutuhan pokoknya individu per individu sehingga kemiskinan dapat terentaskan.
Peran negara begitu sentral dalam distribusi kekayaan. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan dasar umatnya. Negara akan benar-benar mensensus warganya, memastikan para kepala keluarga bisa menafkahi tanggungannya, sekaligus menyediakan lapangan pekerjaannya.
Jika kepala keluarga dan kerabatnya tidak sanggup menafkahi, negara wajib membantu warganya untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhannya pun harus layak, perumahan, pakaian, termasuk pangannya.
Oleh karenanya, menyelesaikan kasus maraknya gelandangan dan pengemis ini, tak cukup hanya sekedar teknis, namun harus dengan mengganti paradigma sistem kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam yang diterapkan secara dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dengan demikian, akan tercipta masyarakat sejahtera.
Lathifah
Pontianak-Kalbar
Views: 10
Comment here