Opini

Pejabat Pamer Harta, Rakyat Menderita

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Novianti

wacana-edukasi.com, OPINI– Gaya hidup para pejabat pajak jadi sorotan pasca ditetapkannya Mario Dandy Satrio sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora. Kasusnya viral karena pelaku adalah anak pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo sedang korban adalah anak tokoh penting GP Ansor bernama Jonathan Latumahina.

Peristiwa kekerasan yang dilakukan Mario berbuntut panjang. Gaya hidup keluarganya di dunia maya dikuliti. Rafael yang tergabung dalam Klub Belasting Rijder DJP yaitu komunitas pegawai pajak penyuka motor besar, gemar pamer mogenya. Istrinya pun kerap posting foto dengan barang branded berikut rumah megahnya. Mario sendiri gemar flexing dengan mengunggah video mobil dan sepeda motor mewahnya. Gaya hidup eklusif keluarga Rafael langsung dikritik. Sebagai pejabat yang digaji dari pajak rakyat, tidak etis berfoya-foya di saat sebagian besar kondisi masyarakat makin sulit.

Dirilis tribunnews.com (27/02/2023), ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan ulah pegawai pajak yang gemar pamer membuat masyakarat makin malas membayar pajak. Padahal ajakan rakyat taat bayar pajak begitu gencar. Jika telat bayar akan dikenakan denda. Tetapi gaya hidup pejabatnya malah bermewah-mewah. Tidak hanya pejabat pajak, banyak pejabat lainnya juga hobi pamer kekayaan di medsos.

Masyarakat makin kecewa melihat realita ulah pejabat yang tidak bisa memberikan keteladanan dan minim empati di tengah kehidupan yang makin sulit. Mereka yang seharusnya memikirkan nasib rakyat malah lebih mementingkan diri sendiri serta sibuk mencari pengakuan bukan karena prestasi melainkan kekayaan.

Kebakaran Jenggot

Menkeu Sri Mulyani, sosok penting yang mengurus pajak langsung kebakaran jenggot dengan ulah anak buahnya. Melalui konferensi pers virtual pada 24 Februari 2023, Sri Mulyani mengecam gaya hidup mewah dan hedon para pegawainya. Investigasi terhadap kekayaan staf dan pejabat Kemenkeu yang dinilai tidak wajar harus segera dilakukan (narasi.tv, 24/02/2023).

Rhenald Kasali mengatakan fenomena flexing di kalangan pejabat sangat tidak wajar. Pejabat adalah pelayan rakyat. Jika mau flexing, tidak usah menjadi pejabat. Sedang dosen Kajian Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Radius Setiyawan mengatakan pejabat yang gemar pamer di medsos memiliki gangguan kepribadian. Merasa paling hebat dan pamer harta untuk mempertahankan status sosial di hadapan orang lain.

Untuk menghindari kritikan masyarakat yang makin kritis membongkar kebobrokan para pejabat, beberapa akun mendadak hilang. Seperti postingan di medsos Belasting lenyap berikut komentar-komentarnya. Follower dan following yang ada di Instagram pun tinggal nol. Akun Mario dan keluarganya sudah tidak bisa diakses publik. Tetapi netizen sudah men-screenshot unggahan-unggahan lama akun tersebut sehingga rekam jejaknya tetap terekam oleh masyarakat.

Gaya Hidup Mewah Pejabat

Gaya hidup mewah pejabat ibarat fenomena gunung es. Masih banyak kasus belum terungkap di bawahnya. Sebelumnya Najwa Shihab pernah menguliti gaya hidup keluarga polisi yang gemar pamer kemewahan. Para istrinya kerap menggunakan jasa makeup artist dengan tarif jutaan rupiah serta memiliki mobil-mobil mewah.

Kehidupan para anggota dewan pun tidak berbeda. Area parkiran gedung DPR di Senayan mirip dengan showroom mobil mewah. Ada Hammer seharga Rp1,4 miliar, Mercedez Benz seharga Rp1,9 miliar, paling murah Toyota Harrer seharga Rp660 juta.

Budaya pamer merasuki para pejabat di semua lembaga baik eksekutif, yudikatif dan legislatif. Kondisi yang merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan materi. Menjadi konsumen bermerk merupakan kebanggaan. Tidak ada nilai ruhiyah dalam memperoleh dan mengelola harta. Tidak memikirkan tentang keberkahan, tidak memperhitungkan dosa riba, tidak peduli halal dan haram, tidak mengingat konsep amal jariyah, melupakan investasi akhirat.

Nilai Perbuatan Seorang Pejabat

Rasulullah saw. bersabda ,”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau musafir,” (HR. Bukhari). Hadis ini tidak berarti seorang muslim mengabaikan dunia melainkan dunia harus dalam kendalinya dan ditempatkan pada posisi yang seharusnya. Dunia bukan diletakkan di hati melainkan di tangan sebagaimana yang dinasehatkan oleh Syekh Muhammad bin Salih al-Utsaimin.

Dalam setiap perbuatan ada nilai qimah yang harus diwujudkan. Tanpa adanya pemahaman tentang perbuatan itu, seseorang tidak dapat menentukan apakah ia berhasil atau tidak. Dalam peradaban kapitalis, nilai yang mendominasi hampir di semua aktivitas adalah madiyah atau materi termasuk bagi seorang pejabat.

Tak heran, seorang pejabat akan melakukan berbagai cara demi meraih kekayaan. Hubungan dengan rakyat yang seharusnya bersifat pelayanan menjadi transaksional. Padahal dalam Islam, qimah kekuasaan adalah ruhiyah. Seorang pejabat melayani dan membantu rakyatnya karena Allah yang memerintahkan. Dalam prosesnya harus terikat pada hukum syarak.

Dengan nilai ruhiyah, seorang pejabat tidak berani hidup bermewah-mewah. Mereka rela diingatkan agar bekerja keras dan bersungguh-sungguh demi memenuhi hajat hidup rakyat. Mereka paham, melalaikan amanah akan berbuah siksaan di akhirat. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslim, kemudian ia tidak memenuhi hajat, kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menolak hajat, kepentingan dan kebutuhannya pada Hari Kiamat,” (HR. Abu Dawud).

Pajak Dalam Islam

Islam memandang mengambil pajak dari rakyat adalah haram. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik dengan main-main ataupun sungguh-sungguh. Siapa saja yang mengambil tongkat saudaranya, hendaklah ia mengembalikannya,” (HR. Abu Dawud).

Islam melarang seseorang mengambil harta milik orang lain bahkan oleh negara sekalipun. Ini termasuk bentuk kezaliman. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama oleh negara. Ada sumber pemasukan rutin lebih besar yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyat. Seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah.

Pajak hanya dilakukan ketika keuangan negara benar-benar krisis dan membutuhkan dana segar untuk memenuhi kewajibannya. Pungutan bersifat sementara sehingga ketika keuangan negara sudah pulih, negara akan menghentikannya. Obyek pajak pun hanya kepada orang-orang muslim yang kaya.

Dalam surah An-Nisa ayat 29, Allah berfirman ,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian.” Ayat ini melarang sesama muslim mengambil dan memanfaatkan harta dimana pemiliknya tidak ridha dan tidak sesuai syariat Islam. Perbuatan ini terkategorikan sebagai perampasan.

Realita hari ini yang merampas bukan individu melainkan negara sehingga sulit bagi rakyat untuk menghindar. Bahkan, penguasa tidak berhenti mengambil berbagai pungutan yang menambah beban kehidupan rakyat.

Suatu kondisi yang sangat berbeda apabila syariah Islam diterapkan. Dengan nilai ruhiyah, para pejabatnya akan berusaha memenuhi kebutuhan rakyat dan meringankan beban mereka. Para pejabatnya paham bahwa tugasnya melayani rakyat akan menjadi penolong saat penghisaban di hari akhirat kelak.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 48

Comment here