Oleh: Nafeezah Syazani Alifiana (Pemerhati Remaja Andoolo Sulawesi Tenggara)
wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa kasus kenakalan remaja kembali naik daun usai diviralkan di media sosial. Beberapa kasus itu diantaranya adalah kasus seorang siswi SMP berusia 14 tahun di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang meninggal setelah menjadi korban pemerkosaan oleh 4 orang teman sekolahnya yang usianya juga masih belasan tahun (kompas.com, 24/02/2023).
Kasus penganiayaan Mario berusia 20 tahun terhadap David 17 tahun pun tengah hangat diperbincangkan. Beberapa teman Mario yang masih berusia belasan tahun juga ikut melakukan penganiayaan brutal akibat provokasi yang dilakukan Mario (cnnindonesia.com, 25/02/2023).
Tak hanya pemerkosaan dan penganiayaan, kenakalan remaja juga terjadi di Purwokerto. Ditulis dalam jurnalpolri.com, 23/02/2023 lima pemuda berusia 17-19 tahun melakukan aksi percobaan pencurian dengan kekerasan (curas). Para remaja ini melakukan perencanaan aksinya di jalan dengan membacok korban di atas kendaraannya kemudian hendak mengambil ponsel selulernya.
Selain ketiga kasus tersebut tentunya masih banyak yang lain, hanya saja tidak mendapat respon sebesar ketiga yang viral itu. Kenakalan remaja ini tidak hanya melanda Indonesia, menurut organisasi dunia WHO hal ini telah menjadi permasalahan global yang tiap tahunnya menunjukkan remaja belasan tahun melakukan aksi kekerasan yang tak sedikit jumlahnya.
Jika menilik pada tahapan perkembangan anak memang diusia belasan tahun jiwa mereka tengah bergejolak dan jika tidak mendapat pengasuhan yang tepat akan berakibat pada hilangnya identitas anak tersebut. Secara fisik perawakan mereka seperti orang dewasa namun jiwa mereka terombang-ambing, berapi-api namun juga rapuh. Berbagai persoalan lain yang menghampiri para remaja pun juga turut andil sehingga menambah gejolak yang siap meledak pada diri mereka.
Peran keluarga membersamai pemuda jika sejak dini memberikan pendidikan yang baik secara maksimal akan mewujudkan pemuda yang matang pada usia balig mereka sehingga tidak akan ada istilah krisis identitas karena telah dibentuk melalui proses pendidikan keluarga selama bertahun-tahun. Keluarga memiliki peran penting dalam mencegah pemuda tersebut berbuat kekerasan. Namun sungguh miris, hari ini keluarga meninggalkan peran penting ini.
Dimulai dari hilangnya tanggung jawab seorang ayah mendampingi anak dan memberinya pendidikan karena perubahan persepsi bahwa kini kewajiban ayah sekedar mencari nafkah dan berlepas tangan terhadap pendidikan dan pengasuhan anak yang semestinya hal itu dilakukan beriringan dengan ibu. Begitu pula tanggung jawab seorang ibu sebagai pendidik pertama telah bergeser mengikuti pandangan feminis bahwa ibu juga perlu keluar rumah untuk bekerja atau menyalurkan bakat-bakat lain sehingga tugas utamanya mendidik anak terganggu.
Hal ini menjadikan anak tidak mendapatkan pendidikan terbaik sekalipun kebutuhan jasmaninya terpenuhi. Akhirnya mereka menemui kegagalan dalam mencari identitas diri hingga mencari pengakuan terhadap dirinya dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang brutal.
Selain keluarga, masyarakat juga memiliki peran sebagai kontrol sosial yang saling mengingatkan ketika ada yang berbuat kesalahan. Namun adanya kebebasan HAM yang menjadi primadona sistem kapitalisme menjadikan manusia bersikap individualisme membatasi fungsi kontrol ini sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ditambah pula dengan beratnya beban hidup dunia menjadikan setiap orang sibuk memikirkan dirinya sendiri sehingga abai terhadap permasalahan sekitar.
Ketika ada pemuda di sekitar tempat tinggal atau di jalanan seharusnya kesadaran masyarakat berdering waspada akan tanda bahaya yang mungkin terjadi, kemudian saling memberi nasihat yang baik. Namun kini hal tersebut semakin tak terlihat. Potret kehidupan masyarakat sosial tidak lagi memiliki fungsi selain urusan untung rugi keuangan.
Keluarga kehilangan peran, masyarakat sebagai sistem kontrol tak lagi memiliki fungsi, lalu bagaimana dengan negara?
Negara memiliki peran sentral sebagai benteng penjaga generasi muda. Jika melihat realita hari ini negara pun abai dalam memberikan pendidikan terbaik yang membentuk pribadi pemuda tangguh. Berbagai upaya pendidikan dilakukan hingga yang terbaru revolusi mental dan merdeka belajar ternnyata pun gagal mengantarkan pemuda menemukan jati diri yang sesungguhnya dan gagal dalam membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Agama semakin dijauhkan dari kurikulum pendidikan. Arus sekularisasi pendidikan makin menjauhkan pemuda dari pemahaman agama yang benar. Adapun pemuda yang ingin serius belajar Islam yang kaffah (menyeluruh) justru diberikan cap sebagai pemuda radikal. Miris!
Walhasil pemuda tidak menemukan jati dirinya melainkan makin terjebak dalam budaya kekerasan. Ketika telah membudaya, negara kebingungan mencari solusi. Mirisnya solusi yang diberikan tidak tegas dengan dalih terhalang batasan usia padahal mereka telah mencapai usia balig yang dalam Islam ketika seseorang telah balig maka Ia telah terbebani hukum.
Hal ini terjadi karena penerapan sistem sekularisme yang memandulkan fungsi dari setiap keluarga, masyarakat, hingga negara tidak bisa melahirkan pemuda yang mampu memecahkan permasalahan hidupnya sendiri dengan damai. Justru menjadi trouble maker bagi kehidupan.
Dalam sistem sekularisme akal manusia yang memiliki sifat lemah dan terbatas dijadikan sebagai standar penentu benar dan salah dalam kehidupan. Oleh karena itu, tidak akan mampu secara tuntas menyelesaikan persoalan pemuda. Sedangkan menurut Islam seluruh pemikiran dan aturan yang diterapkan di tengah masyarakat harus berstandar pada akidah Islam yang langsung berasal dari pencipta seluruh makhluk di dunia. Islam juga memiliki solusi yang sifatnya komprehensif terhadap masalah budaya kekerasan pada pemuda.
Dimulai dengan membangun sistem pendidikan yang berstandar akidah Islam yang bertujuan membentuk seseorang dengan kepribadian Islam yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Mewujudkan pemuda taat pada syariat dan jauh dari budaya kenakalan remaja.
Kemudian membangun peran keluarga sebagai pendidikan pertama bagi anak agar ketika dihadapkan pada dunia luar dia tetap berpegang teguh pada nilai-nilai pendidikan keluarga yang sesuai dengan Islam. Peran masyarakat pun akan dimaksimalkan sebagai kontrol sosial untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Dengan maksimalnya peran keluarga, masyarakat, dan negara yang sangat serius mendidik dan menjaga generasi muda sesuai aturan Islam InsyaAllah budaya kekerasan akan hilang dan musnah tergantikan dengan pemuda penuh harapan pembangunan peradaban gemilang. WaAllahu’alam bishawab
Views: 42
Comment here