Oleh : Arie Andina
wacana-edukasi.com, OPINI– Bagai buah simalakama! Diberantas merugi, dibiarkan kerusakan menjadi-jadi! Begitulah ungkapan setengah hati pemerintah dalam memberantas minuman keras (miras) di negeri ini. Benarkah peredaran miras di negeri ini dilindungi undang-undang? Benarkah miras menyumbang kas negara dengan angka fantastis?
Menjelang Ramadhan kembali marak dilakukan razia miras di beberapa daerah. Sayangnya razia ini hanya menjaring miras-miras ilegal saja. Sedangkan pabrik-pabrik besar dan pelaku usaha yang telah mengantongi izin resmi untuk memproduksi dan mendistribusikan miras akan bebas dari ancaman razia.
Dilansir dari Antaranews.com (19/2/2023), Polresta Kendari menyita sebanyak 95 liter miras tradisional di tiga TKP saat patroli gabungan di wilayah hukum setempat. Selain miras tradisional, turut disita pula miras tak berizin sebanyak 30 botol. Razia ini bertujuan untuk menciptakan suasana kondusif menjelang bulan Ramadhan.
Begitu pula halnya Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta Polda Jawa Tengah mendatangi sejumlah tempat hiburan malam yang terindikasi sebagai kawasan peredaran minuman keras (miras). Hasilnya dari tempat karaoke, petugas berhasil mengamankan 177 botol miras berbagai macam jenis dan merk minum minuman keras tanpa surat ijin edar atau ilegal. Polisi tidak hanya mengamankan barang bukti miras, tapi juga menindak tegas pemilik atau penjual dengan tindak pidana ringan (HBOindo.com, 5/3/2023).
Sementara itu dikutip dari Detiknews.com (22/2/2023), Polisi menggelar razia ke sembilan tempat hiburan malam (THM) di Kota Bogor. Sebanyak 298 botol miras ilegal yang rata-rata memiliki kadar alkohol di atas 5-40 persen disita, karena termasuk minuman golongan B dan C yang dilarang beredar di Bogor.
Mengapa razia tidak menjaring segala bentuk miras yang beredar di negeri ini? Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 bahwa miras ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Miras dapat diproduksi di dalam negeri, diimpor atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah mengantongi izin. Peraturan ini juga mengatur tentang tempat-tempat khusus yang diizinkan untuk menjual minuman beralkohol.
Beginilah wajah sekularisme kapitalisme di negeri ini dalam memberantas peredaran miras. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan sistem ekonomi yang dikuasai oleh para pemilik modal membuat upaya pemberantasan miras hanya sebatas fatamorgana. Razia miras yang harusnya menjaring peredaran miras tanpa terkecuali, ternyata hanyalah bersifat penertiban bagi miras ilegal saja.
Semua kebijakan pemerintah pun bersifat kontradiksi dengan upaya memberantas miras yang merupakan barang haram bagi umat Islam. Permendag No. 97 Tahun 2020 hanya mengatur pengadaan bahan baku miras. Sedangkan Perpres No. 49 Tahun 2021 hanya menyatakan industri miras tertutup untuk investasi. Kebijakan dibuat hanya untuk mengatur bukan untuk memberantas.
Sistem kapitalisme memandang miras sebagai suatu bisnis yang sangat menguntungkan bagi negara. Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan dari cukai minuman beralkohol pada tahun 2022 sangat fantastis yaitu mencapai Rp. 8,07 triliun, naik 24% dari tahun sebelumnya. Lebih mencengangkan lagi, miras dalam negeri menyumbang kontribusi besar yaitu sebesar 98,2%. Maka tidak heran jika peredarannya justru dilindungi undang-undang.
Paham sekularisme kapitalisme terbukti tidak berniat memberantas peredaran miras dengan tuntas. Selama pemikiran asing ini masih diterapkan, maka jangan harap peredaran miras akan hilang di tengah masyarakat. Lalu bagaimana solusinya? Solusi fundamental dan menyeluruh hanyalah terletak pada penerapan sistem Islam secara kaffah.
Dalam Islam yang disebut dengan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, seperti narkoba, shabu, ekstasi, ganja, dan lain sebagainya bisa disebut khamr. Rasulullah Saw. bersabda: “Tiap-tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap-tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim).
Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, Nabi SAW bersabda, “Khamar itu induk dari hal-hal yang buruk, siapa yang meminumnya maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari, jika ia meninggal sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliyyah.” (HR Thabrani).
Miras memang induk dari segala keburukan. Lihat saja banyak kriminalitas yang diawali dari mengkonsumsi miras. Maka Islam tidak menganggap remeh sedikitpun perkara miras. Tidak hanya miras dan peminumnya saja yang dimurkai Allah SWT, tapi semua pihak yang terlibat bahkan orang yang menuangkan miras pun kena laknatNya.
Rasulullah SAW bersabda: “Khamr (minuman keras) itu dilaknat dari sepuluh bagian: khamrnya, peminumnya, orang yang menuangkan, penjual, pembeli, pemeras, orang yang minta diperaskan, pembawanya dan orang yang dihantarkan kepadanya serta orang yang memakan hasil penjualannya.” (HR Ahmad).
Lalu bagaimana sistem Islam kaffah dapat menyelesaikan masalah ini? Dalam Islam, pemerintah wajib melakukan pembinaan melalui sistem pendidikan untuk menanamkan aqidah dan kepribadian Islam dalam diri masyarakat. Sehingga masyarakat paham benar bahwa miras dan sejenisnya adalah haram dan tercipta perasaan takut bermaksiat kepada Allah. Sistem pendidikan juga didukung oleh peran penting keluarga Islami sebagai benteng kokoh bagi individu agar tidak terjerumus dalam kubangan miras.
Benteng pertahanan selanjutnya adalah lingkungan sosial masyarakat Islam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Lingkungan Islami yang kondusif sangat efektif membentengi masyarakat dengan menutup celah beredarnya miras di tengah masyarakat.
Selanjutnya, benteng yang paling utama adalah negara. Negara yang menerapkan syariah Islam kaffah akan menjalankan hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk memberlakukan sistem sanksi bagi pelaku pelanggaran miras.
Jumhur Ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Sayyidina Ali, ra : Rasulullah SAW mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai. (HR. Muslim).
Adapun pihak lainnya selain peminum khamr akan dikenakan sanksi takzir. Bentuk, dan jenis, sanksinya pun ditetapkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan. Semua sistem sanksi dalam islam bersifat memberi efek jera dan hanya boleh dilaksanakan oleh institusi resmi, yaitu negara.
Sungguh pemberantasan miras tidak akan pernah tuntas dalam sistem sekularisme kapitalisme yang penuh kedzaliman. Padahal Allah SWT telah menurunkan rahmatNya berupa syariat Islam yang sempurna sebagai solusi menyeluruh dalam setiap problematika yang dihadapi makhlukNya di dunia, termasuk dalam urusan miras. Hanya dengan kembali pada penerapan sistem Islam secara kaffah maka permasalahan ini bisa tuntas sampai ke akarnya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Wajah Kapitalisme dalam Pemberantasan Miras: Bagaikan Fatamorgana.
Oleh : Arie Andina
Bagai buah simalakama! Diberantas merugi, dibiarkan kerusakan menjadi-jadi! Begitulah ungkapan setengah hati pemerintah dalam memberantas minuman keras (miras) di negeri ini. Benarkah peredaran miras di negeri ini dilindungi undang-undang? Benarkah miras menyumbang kas negara dengan angka fantastis?
Menjelang Ramadhan kembali marak dilakukan razia miras di beberapa daerah. Sayangnya razia ini hanya menjaring miras-miras ilegal saja. Sedangkan pabrik-pabrik besar dan pelaku usaha yang telah mengantongi izin resmi untuk memproduksi dan mendistribusikan miras akan bebas dari ancaman razia.
Dilansir dari Antaranews.com (19/2/2023), Polresta Kendari menyita sebanyak 95 liter miras tradisional di tiga TKP saat patroli gabungan di wilayah hukum setempat. Selain miras tradisional, turut disita pula miras tak berizin sebanyak 30 botol. Razia ini bertujuan untuk menciptakan suasana kondusif menjelang bulan Ramadhan.
Begitu pula halnya Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta Polda Jawa Tengah mendatangi sejumlah tempat hiburan malam yang terindikasi sebagai kawasan peredaran minuman keras (miras). Hasilnya dari tempat karaoke, petugas berhasil mengamankan 177 botol miras berbagai macam jenis dan merk minum minuman keras tanpa surat ijin edar atau ilegal. Polisi tidak hanya mengamankan barang bukti miras, tapi juga menindak tegas pemilik atau penjual dengan tindak pidana ringan (HBOindo.com, 5/3/2023).
Sementara itu dikutip dari Detiknews.com (22/2/2023), Polisi menggelar razia ke sembilan tempat hiburan malam (THM) di Kota Bogor. Sebanyak 298 botol miras ilegal yang rata-rata memiliki kadar alkohol di atas 5-40 persen disita, karena termasuk minuman golongan B dan C yang dilarang beredar di Bogor.
Mengapa razia tidak menjaring segala bentuk miras yang beredar di negeri ini? Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 bahwa miras ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Miras dapat diproduksi di dalam negeri, diimpor atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah mengantongi izin. Peraturan ini juga mengatur tentang tempat-tempat khusus yang diizinkan untuk menjual minuman beralkohol.
Beginilah wajah sekularisme kapitalisme di negeri ini dalam memberantas peredaran miras. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan sistem ekonomi yang dikuasai oleh para pemilik modal membuat upaya pemberantasan miras hanya sebatas fatamorgana. Razia miras yang harusnya menjaring peredaran miras tanpa terkecuali, ternyata hanyalah bersifat penertiban bagi miras ilegal saja.
Semua kebijakan pemerintah pun bersifat kontradiksi dengan upaya memberantas miras yang merupakan barang haram bagi umat Islam. Permendag No. 97 Tahun 2020 hanya mengatur pengadaan bahan baku miras. Sedangkan Perpres No. 49 Tahun 2021 hanya menyatakan industri miras tertutup untuk investasi. Kebijakan dibuat hanya untuk mengatur bukan untuk memberantas.
Sistem kapitalisme memandang miras sebagai suatu bisnis yang sangat menguntungkan bagi negara. Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan dari cukai minuman beralkohol pada tahun 2022 sangat fantastis yaitu mencapai Rp. 8,07 triliun, naik 24% dari tahun sebelumnya. Lebih mencengangkan lagi, miras dalam negeri menyumbang kontribusi besar yaitu sebesar 98,2%. Maka tidak heran jika peredarannya justru dilindungi undang-undang.
Paham sekularisme kapitalisme terbukti tidak berniat memberantas peredaran miras dengan tuntas. Selama pemikiran asing ini masih diterapkan, maka jangan harap peredaran miras akan hilang di tengah masyarakat. Lalu bagaimana solusinya? Solusi fundamental dan menyeluruh hanyalah terletak pada penerapan sistem Islam secara kaffah.
Dalam Islam yang disebut dengan khamr tidak hanya terkait dengan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik makanan atau minuman yang memabukkan dan membuat manusia tidak sadar, seperti narkoba, shabu, ekstasi, ganja, dan lain sebagainya bisa disebut khamr. Rasulullah Saw. bersabda: “Tiap-tiap yang memabukkan disebut khamr, dan tiap-tiap khamr hukumnya haram.”(HR. Muslim).
Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, Nabi SAW bersabda, “Khamar itu induk dari hal-hal yang buruk, siapa yang meminumnya maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari, jika ia meninggal sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliyyah.” (HR Thabrani).
Miras memang induk dari segala keburukan. Lihat saja banyak kriminalitas yang diawali dari mengkonsumsi miras. Maka Islam tidak menganggap remeh sedikitpun perkara miras. Tidak hanya miras dan peminumnya saja yang dimurkai Allah SWT, tapi semua pihak yang terlibat bahkan orang yang menuangkan miras pun kena laknatNya.
Rasulullah SAW bersabda: “Khamr (minuman keras) itu dilaknat dari sepuluh bagian: khamrnya, peminumnya, orang yang menuangkan, penjual, pembeli, pemeras, orang yang minta diperaskan, pembawanya dan orang yang dihantarkan kepadanya serta orang yang memakan hasil penjualannya.” (HR Ahmad).
Lalu bagaimana sistem Islam kaffah dapat menyelesaikan masalah ini? Dalam Islam, pemerintah wajib melakukan pembinaan melalui sistem pendidikan untuk menanamkan aqidah dan kepribadian Islam dalam diri masyarakat. Sehingga masyarakat paham benar bahwa miras dan sejenisnya adalah haram dan tercipta perasaan takut bermaksiat kepada Allah. Sistem pendidikan juga didukung oleh peran penting keluarga Islami sebagai benteng kokoh bagi individu agar tidak terjerumus dalam kubangan miras.
Benteng pertahanan selanjutnya adalah lingkungan sosial masyarakat Islam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Lingkungan Islami yang kondusif sangat efektif membentengi masyarakat dengan menutup celah beredarnya miras di tengah masyarakat.
Selanjutnya, benteng yang paling utama adalah negara. Negara yang menerapkan syariah Islam kaffah akan menjalankan hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk memberlakukan sistem sanksi bagi pelaku pelanggaran miras.
Jumhur Ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Sayyidina Ali, ra : Rasulullah SAW mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai. (HR. Muslim).
Adapun pihak lainnya selain peminum khamr akan dikenakan sanksi takzir. Bentuk, dan jenis, sanksinya pun ditetapkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan. Semua sistem sanksi dalam islam bersifat memberi efek jera dan hanya boleh dilaksanakan oleh institusi resmi, yaitu negara.
Sungguh pemberantasan miras tidak akan pernah tuntas dalam sistem sekularisme kapitalisme yang penuh kedzaliman. Padahal Allah SWT telah menurunkan rahmatNya berupa syariat Islam yang sempurna sebagai solusi menyeluruh dalam setiap problematika yang dihadapi makhlukNya di dunia, termasuk dalam urusan miras. Hanya dengan kembali pada penerapan sistem Islam secara kaffah maka permasalahan ini bisa tuntas sampai ke akarnya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 21
Comment here