wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Program revolusi mental dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai gagal total oleh Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Sartono Hutomo. Hal ini terkait dengan terungkapnya kekayaan dan gaya hidup mewah mantan pejabat DJP Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo. Kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya sebagai pejabat pajak (Haluankalbar.com 28/02/2023).
Sartono mengatakan bahwa revolusi mental seharusnya dimulai dari kita sendiri, para pemimpin. Namun kenyataannya, kita masih banyak yang terjebak dalam perilaku korupsi dan mengabaikan kepentingan rakyat. Perlu upaya konkret untuk mengubah perilaku masyarakat, terutama di kalangan elit politik dan pejabat publik. Dia juga mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama memerangi praktik korupsi dan mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk memajukan bangsa dan negara.
Disorotinya harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo ini merupakan imbas kasus penganiayaan dan pamer harta yang dilakukan oleh keluarganya. Berdasarkan LHKPN Kementerian Keuangan, harta Rafael tembus Rp56,1 miliar per akhir 2021. Padahal ia hanya tercatat sebagai eselon III di DJP. Kasus ini akhirnya tak hanya berdampak bagi keluarga Rafael saja, tetapi menimbulkan stigma negatif bagi seluruh jajaran pegawai pajak. Hal ini membuat banyak masyarakat geram, karena merasa uang pajak yang selama ini dibayar justru untuk membiayai kehidupan mewah para PNS tersebut. Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira pun turut menyarankan agar momentum ini saat yang tepat bagi pemerintah untuk membentuk task force yang terdiri dari inspektorat tiap kementerian, KPK, BPK serta PPATK untuk mengusut tuntas aliran dana tak wajar di seluruh KL termasuk ke pejabat.
Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk menjadi kaya. Bahkan mencari harta disyariatkan dalam Islam karena itu berarti mencari rejeki dan berusaha di dunia. Kekayaan ketika diraih pun merupakan amanah dari Allah yang harusnya dijaga dengan sebaik-baiknya dan meningkatkan ketaqwaan kepada-Nya. Namun bagaimana jika sebaliknya? Untuk flexing semata? Apalagi menjabat sebagai aparatur sipil negara dengan pemasukan yang tidak sewajarnya? Bukankah Allah pun akan meminta pertanggungjawaban dimana dia memperoleh semua harta?
Sistem Kapitalisme telah membuai pejabat negara dengan posisinya yang strategis meraih untung dengan berbagai cara tanpa memperhatikan kehalalannya. Jelas ini pengkhianatan yang ditumpuk dengan sikap pamer, tanda gaya hidup yang materialistis. Nilai-nilai materialistis memengaruhi kualitas interaksi sosial dan mendehumanisasi hubungan manusia menjadi serba transaksional.
Memiliki orang tua pejabat sebagai “mesin pencetak uang” menyebabkan sang anak pamer harta dan merasa hebat. Lahirlah individu-individu materialistis. Ditambah tidak ada pengawasan ketat oleh negara terhadap kinerja pejabat dan harta yang dimiliki setelah menjabat. Padahal, peluang korupsi oleh pejabat di negeri ini sangat terbuka lebar akibat lemahnya sanksi negara.
Khalifah Umar bin Khattab RA dikenal sebagai pemimpin yang sangat antikorupsi. Selain kehidupannya yang sederhana, dia juga sangat mengawasi harta yang diperoleh oleh bawahannya. Bahkan, Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah. Apalagi, jika diketahui jika hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan oleh negara. Sistem yang dijalankan beliau ini adalah sistem dari illahi yakni sistem Khilafah yang memiliki seperangkat aturan berdasarkan syariat Islam agar terjadi harmonisasi kesejahteraan ditengah masyarakat.
Yeni
Pontianak-Kalbar
Views: 12
Comment here