Oleh Erdiya Indrarini (Pemerhati publik)
wacana-edukasi.com, OPINI– Pertandingan sepak bola bukan sekadar olahraga. Tapi menjadi hiburan berjuta manusia. Mampu sejenak melupakan beban yang menekan. Serta bisa menjadi ladang bisnis, bahkan ajang provokasi dan jalur diplomasi.
Dilansir dari Cnbcindonesia.com, (30/3/2023), Indonesia yang direncanakan menjadi tuan rumah piala dunia U-20 dinyatakan batal. Keputusan ini disampaikan oleh asosiasi sepak bola dunia FIFA pada Rabu 29/3/2024. Pembatalan diumumkan setelah pertemuan Presiden FIFA Gianni Infantino dengan Ketua Umum PSSI Erick Thohir.
Pembatalan disebabkan adanya penolakan terhadap tim nasional (Timnas) Israel menjadi peserta. Di antaranya, penolakan datang dari Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), beberapa kepala daerah, DPRD Jawa Barat, kelompok sepak bola Palembang, para ulama, hingga organisasi masyarakat (ormas) serentak menolak Israel. Bahkan, ada ormas yang sampai melontarkan ancaman.
Namun, ada juga pihak yang mengelu-elukan kedatangan Timnas Israel. Seperti Kementerian Pemuda dan Olah raga (Kemenpora) yang tidak menggubris penolakan, serta tetap melakukan persiapan penyambutan dan pelayanan. Juga penyuka sepak bola maupun publik figur yang berkomentar bahwa olahraga jangan dikaitkan dengan politik. Serta dari pelaku ekonomi yang mengharap peluang meraup keuntungan.
Siapa Israel ?
Israel merupakan kumpulan orang-orang Yahudi dari berbagai negara. Mereka melakukan aksi dengan tujuan menghasilkan wilayah untuk ditempati sebagai negara Yahudi. Mereka juga disebut kaum zionis. Sejak tahun 1948, Israel dipaksakan untuk berada di negeri muslim oleh Inggris. Setelah itu, dipelihara dan dibesarkan oleh Amerika. Kaum Yahudi datang ke negeri muslim Palestina layaknya tamu, lalu ingin menguasai rumah tersebut, dan mengusir tuan rumahnya.
Wajar jika negeri muslim menolak kedatangannya, karena Israel adalah penjajah bagi muslim Palestina. Sejarah mengabarkan, walaupun Presiden Sukarno orang yang sekuler, ia tegas melarang walau sekadar bertanding dengan Israel, apalagi untuk menyambut dan memfasilitasi kedatangan mereka. Karenanya menjadi ironi, ketika saudara kita di Palestina dijajah hingga berdarah-darah, kita malah menyambut dan melayani perwakilan penjajah itu untuk bersama menikmati sesuatu yang hanya permainan sepak bola.
Maka selama Israel masih menduduki Palestina, kaum muslimin harus lantang menyerukan untuk tidak memberi celah sedikit pun pada Israel. Tidak membuka diplomatik. Juga tidak membuka peluang dengan alasan apa pun, termasuk olah raga. Jangan sampai kita mengkhianati pembukaan UU-45 dan mencederai komitmen para pemimpin terdahulu.
Sepak Bola Bukan Sekadar Pertandingan Olahraga
Jika ada yang bilang “Jangan campurkan olahraga dengan politik” maka itu harus dikoreksi. Karena, pertandingan olahraga jelas tak akan lepas dari politik. Olahraga adalah salah satu jalur diplomasi. Masih jelas dalam ingatan bagaimana Jerman bersikukuh mengampanyekan LGBT di saat menjadi peserta piala dunia di Qatar. Kita juga masih ingat ditolaknya atlet Rusia untuk mengikuti Olimpiade, karena agresi Rusia terhadap Ukraina. Peristiwa itu salah satu bukti bahwa pertandingan olah raga berkaitan erat dengan politik.
Hal itu harus menjadi ketegasan sikap umat muslim terhadap zionis Israel. Karena, perwakilan mereka tentunya akan di-suport penuh oleh negaranya untuk menguatkan posisinya sebagai penjajah. Meskipun jika Israel menjadi sebuah negara yang sah, namun itu menurut siapa? Kaum muslimin jelas tak pantas mengakui Israel menjadi sebuah entitas negara hasil mengusir saudara muslim Palestina.
Maka waspadalah bahwa, olahraga adalah salah satu jalur diplomasi. Karena, yang datang mewakili negara (Timnas), bukan individu. Jangan lupa bahwa diplomasi itu bukan paksaan tapi semacam rayuan. Ketika ada diplomasi maka tak lepas dari provokasi yang akan mengundang perhatian bahkan simpati. Allah telah mengingatkan pada kaum muslimin, siapa kaum Yahudi dan Nasrani.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” (TQS. Al-Baqarah : 120)
Bagaimana dengan FIFA ?
Federasi sepak bola internasional (FIFA) adalah perpanjangan tangan bagi kekuatan Barat selaku penjajah. Barat menggunakan FIFA untuk menekan negara anggota yang menolak aturannya. Kita bisa melihat bagaimana ketua PSSI ketakutan mendapat sanksi atas dibatalkannya piala dunia di Indonesia. Sebagai negara yang anti penjajahan, Indonesia harusnya tegas. Tak perlu takut pada sanksi tidak boleh mengikuti pertandingan sepak bola. Karena, sikap pemimpin yang tunduk pada aturan penjajah, menandakan negeri ini masih dijajah.
Selain itu, FIFA merupakan bagian dari bisnis olahraga. Karena, pertandingan sepak bola sendiri sejatinya adalah bisnis. Sementara, hal ini tidak pernah disampaikan pada para pemain. Mereka hanya disuruh bermain, dan memenangkan pertandingan. Laporan dari Al-Jazeera mengatakan bahwa pada event piala dunia sebelumnya, Qatar sebagai tuan rumah meraup keuntungan sebesar kurang lebih Rp117,75 triliun. Jumlah ini belum termasuk hasil kesepakatan siaran utama piala dunia Qatar yang di dapat FIFA dari berbagai negara.
Jika Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia, maka akan memiliki potensi ekonomi yang besar pula. Baik dari wisatawan, perhotelan, karcis penonton, barang-barang dagangan seperti merchandise dan sebagainya. Namun seberapa pun besarnya ekonomi yang diperoleh, tak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan Israel kepada kaum muslim.
Solusi Menghadapi Israel
Oleh karenanya, menghadapi Israel tidak cukup dengan memboikot atau dengan menolak tim olahraganya saja. Juga bukan dengan melakukan normalisasi sebagaimana yang dilakukan Bahrain, Turki, Mesir, maupun Uni Emirat Arab. Normalisasi artinya ada hubungan diplomatik. Sebuah kata yang seolah indah, tapi itu sebuah pengkhianatan yang menyakitkan dari negeri-negeri Islam terhadap saudara sesama muslim. Di saat saudaranya diperangi, malah berdamai dengan penjajah.
Selain itu, menghadapi Israel juga tidak dengan berpegang pada solusi dua negara (Two-state solution) sebagaimana yang pernah disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Karena, Israel hanya pendatang yang tak diundang bagi Palestina. Tidak layak Israel mendapat hak wilayah Palestina yang sudah menjadi sebuah negara yang sah.
Namun, solusi menghadapi Israel adalah mengusir mereka dengan jihad fii sabilillah. Hal ini sudah dicontohkan Umar bin Khattab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dengan puluhan ribu tentara muslim, mampu mengalahkan ratusan ribu tentara Romawi dan membebaskan Al-Quds termasuk Palestina. Juga sudah dicontohkan Panglima Salahudin Al-Ayyubi yang membebaskan Al-Quds dari serangan tentara Salib.
Adapun strategi besar yang harus dilakukan adalah, penyatuan kembali umat Islam. Mengganti sistem pemerintahan yang berasal dari penjajah dengan sistem Islam. Serta mengganti pemimpin boneka yang menjadi antek penjajah. Hanya dengan ini penjajahan di muka bumi bisa dihapuskan.
Jadi, kapan pun kedatangan zionis Israel haruslah ditolak. Umat Islam harus punya komitmen menyelesaikan kekejaman Israel hanya dengan jihad dan persatuan kaum muslimin. Bukan dengan diplomasi ataupun mencari solusi dua negara.
Wallahua’lam
Views: 39
Comment here