Opini

Polemik Trifthing Butuh Solusi Sistemik

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Murah, layak pakai, ber-branded pula, nilai yang membuat produk thrifting menjadi primadona bagi para pemburunya. Bukan tanpa sebab, hal ini menjadi tren di kalangan konsumen yang memiliki dana terbatas dalam mencukupi kebutuhannya, produk thrifting menjadi solusinya.

Di sudut pandang yang lain, fenomena thrifting menjadi ancaman serius bagi produk lokal. Terlebih brand lokal yang belum mendunia berpeluang besar akan kalah saing dengan brand luar yang brandingnya kuat. Dikutip dari Republika, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun mengomentari fenomena ini yang dianggap menjadi ancaman produk lokal.

Dikatakan, penjualan baju bekas impor akan berdampak pula terhadap Industri Kecil Menengah (IKM). Itu karena, IKM yang memiliki modal dan keuntungan terbatas harus bersaing dengan thrifting.

“Apalagi mau lebaran, ini juga sangat mengganggu ketika ada impor barang bekas, karena momentum jualan kan sebenarnya mau mendekati lebaran. Apalagi bagi IKM,”

Seakan meradang, penguasa melakukan tindakan pencegahan lebih jauh dengan memusnahkan produk-produk thrifting. Sebab dianggap limpahan thrifting akan berpeluang besar menjadi gunungan sampah dan berdampak pada para pelaku IKM dalam negeri.

Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza berkomentar kegiatan impor dan ekspor telah dilarang oleh Pemerintah Indonesia sehingga dibutuhkan solusi untuk tetap menghidupkannya. “Sebenarnya yang dilarang adalah ekspor dan impornya. Kalau dalam perdagangan biasa di dalam negeri, nggak ada yang bisa melarang karena itu punya pangsa pasar sendiri,” kata Faisol Riza saat dihubungi Republika pada Selasa (22/3/2023).

Awal mula munculnya thrifting atau dalam bahasa Indonesia artinya barang bekas, terjadi sudah sejak lama. Menurut Gafara dalam A Brief History of Thrifting (2019), fenomena thrifting berawal ketika terjadi revolusi industri, atau sekitar 1760-1840.

Di saat revolusi industri terjadi perubahan pemikiran bahwa pakaian adalah barang sekali pakai hingga berdampak meningginya jumlah pakaian bekas. Para Imigran menjadi konsumen produk bekas ini. Keadaan berbalik pada tahun 1920 ketika Amerika dilanda krisis besar. Banyaknya pengangguran membuat mereka membeli produk bekas melalui thrift shop.

Kemudian di tahun 1990, thrifting begeser menjadi fesyen. Berawal dari artis Kurt Cobain dan istrinya yang menggunakan ripped jeans, flannel shirt dan layering. Secara tidak langsung mereka mempromosikan pakaian bekas. Sejak saat itu sampai hari ini thrifting memiliki pangsa pasarnya sendiri.

Jika diamati ada 2 faktor yang menjadikan produk thrifting banyak digemari.

Pertama: Ekonomi masyarakat. Penghasilan ekonomi masyarakat yang kecil mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhannya dengan produk yang harganya masih terjangkau dan ramah kantong. Tak harus membayar mahal, masyarakat masih bisa mendapatkan produk layak pakai atau bahkan berbranded di thrifting. Hal ini menunjukkan potret kemiskinan terjadi di masyarakat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah.

Kedua: Tren gaya hidup. Pandangan terharap produk berbranded lebih berprestise di masyarakat saat ini pengaruh dari sebuah ideologi. Hal ini bisa dirasakan dari kecenderungan masyarakatnya dalam aktivitas hidupnya. Gaya hidup berfesyen dan hedonis melekat dalam sebuah ideologi kapitalisme yang memandang materi sebagai tujuan hidup. Maka tak heran gaya hidup konsumtif/ hedonis ini menjadi tren di masyarakatnya. Disaat kondisi faktor ekonomi masyarakatnya rendah untuk memenuhi gaya hidup, masyarakat akhirnya memburu produk thrifting.

Lalu mengapa produk thrifting justru dipersoalkan hari ini? Bahkan seruan itu dilakukan setelah industri tekstil hari ini mengalami penurunan. Jika berdalih menganggu jalannya UMKM, bukankah UMKM hanya sebagai perpanjangan rantai produksi? Ataukah bagian dari bentuk pembelaan terhadap importir kain yang notabene hanya segelintir oknum?

Mengutip media Bisnis, menurut Jemmy Kartiwa Sastraatmadja selaku Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, “Kinerja tahun 2023 dibayangi oleh inflasi di benua Eropa dan Amerika Serikat, yang masih tinggi dan juga suku bunga yang tinggi. Tumpuan Industri Tekstil dan Produk Tekstil atau TPT pada tahun 2023 adalah market dalam negeri,” ungkapnya. Senin (16/1/2023)

Senada dengan Jemmy, Sekertaris Jenderal API Rizal Rahman mengungkapkan pertumbuhan industri tekstil pada tahun 2023 ini diperkirakan tidak akan terlalu bagus.

Dilansir dari CNBC, Sekjen Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Lely Fitriyani mengatakan, saat ini industri fesyen dan garmen di dalam negeri sangat kesulitan bangun dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Sementara, lanjutnya, pasar direbut produk China yang murah. Sementara, kelas atas sekali, cenderung masih suka beli barang branded di pasar luar negeri.

Lalu apakah banyaknya barang thrifting yang masuk ke dalam negeri tanpa sepengetahuan di pelabuhan dan lolos bea cukai? Jika sikap yang diambil dengan mematikan usaha thrifting atau sebaliknya mematikan UMKM, bagaimana usaha rakyat kecil? Yang notabene lebih dominan sebagai pelaku usaha thrifting dan UMKM? Lalu siapakah sebenarnya yang diuntungkan/ diprioritaskan dari kebijakan tersebut?

Ketidakjelasan penyelesaian problematika khususnya dalam mengatur produksi sampai distribusi juga keluar/ masuknya produk bisa menimbulkan trust issue/ ketidakpercayaan masyarakat dengan para pemegang kebijakan. Bahkan persoalan baru bisa muncul terlebih masyarakat hari ini sedang berusaha untuk kembali menjalankan aktivitas ekonominya setelah pandemi.

Umat Kehilangan Arah Tujuan Hidup

Dalam sistem kapitalisme, pengkondisian bahwa life goals adalah punya barang-barang mewah, pakaian berbranded, & kesenangan dunia. Umat Islam khususnya lupa bahwa tujuan hidup manusia tidak akan selamanya di dunia. Pengaruh sistem kapitalisme ini mampu membuat umat kehilangan arah tujuan hidupnya sehingga umat hanya mengejar kenyamanan dunia.

Tidak berfesyen dan mengikuti tren perkembangan zaman seakan langsung mati gaya. Contoh tren budaya di Korea, berdasarkan sebuah survei mengenai penampilan di Korea Selatan, di tahun 2020, sebanyak 61 persen orang dewasa di Korea Selatan mengaku bahwa mereka memedulikan penampilan fisik diri sendiri.

Maka tak jarang mereka berlomba menampilkan gaya busana yang selalu berubah/ update, terlepas dari 4 iklimnya. Ketika manusia terlalu memperhatikan penampilan fisiknya saja, dampak dari kultur ini menciptakan standar kecantikan yang ketat.

Ketika tujuan hidupnya berlandaskan cara pandang kapitalis ini tidak sesuai ekspetasi, maka mudah terdampak frustasi, stress, mental illness, insekyur, depresi, bahkan sampai putus asa menjalani hidup.

Pahami Tujuan Hidup

Ibarat sebuah benda yang dibuat pasti memiliki tujuan, sekalipun benda terkecil seperti skrup, pasti ada tujuannya dibuat. Apalagi manusia, makhluk hidup yang dinamis, memiliki organ dalam yang rumit pastinya punya tujuan diciptakan.

Indonesia khususnya sebagai penduduk yang mayoritasnya beragama Islam, selayaknya mau mencari tahu dan memahami apa tujuan manusia diciptakan. Mencari di buku pedomannya Al Qur’an, bahwa dikatakan oleh Pencipta manusia tentang tujuan diciptakan yaitu:

Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.””
QS. Al-Baqarah[2]:30

Juga di ayat lain:

Allah SWT berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. ”
QS. Az-Zariyat[51]:56

Disaat umat Islam kembali memahami tujuan hidupnya, cara pandang terhadap dunia tak sebatas mencari kebahagiaan, kemewahan, kenyamanan dunia yang sifatnya terbatas dan sementara. Umat akan berlomba mengejar kenyamanan dan kebahagiaan akhirat yang kekal abadi dengan melakukan aktivitas yang bernilai pahala.

Mengutip kitab Mafahim karya Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan kesesuaian Syariat Islam untuk setiap zaman dan tempat, sebab syariat Islam mampu mengatasi dan memecahkan berbagai problematika manusia di setiap zaman dan tempat dengan berbagai macam hukumnya.

Sekalipun zaman berubah secara fisik dengan kemajuan sains dan teknologi juga beragam desain gaya busana, selayaknya cara pandang umat Islam tidak berubah terhadap tujuan hidupnya.

Adapun tuntutan kebutuhan hidupnya yang silih berganti, semua itu berasal dari naluri dan kebutuhan jasmaninya. Syariat Islam secara luas telah mengatasi dan memecahkan semua tuntutan yang silih berganti dan berbeda ragamnya, bagaimanapun bentuk dan variannya. Pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani harus mempunyai batas/ aturan, jika tidak ada aturan maka manusia akan mudah memiliki gaya hidup konsumtif dan hedonis.

Bukan berarti menutup diri dari kehidupan dunia, tapi mencukupi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmani/ hidup tanpa berlebihan dan tetap mematuhi rambu-rambu syariat Islam.

Peran Sentral Negara

Sungguh berbeda dengan kepemimpinan negara dalam Islam. Negara lebih memprioritaskan dan membela kepentingan rakyat serta menjamin kesejahteraan rakyat.

Sebab tidak cukup hanya sebatas keimanan individual umat, peran serta Negara khususnya yang mampu memberikan pencegahan dan sanksi sebab memiliki kekuasaan lebih tinggi dan luas, selayaknya mampu membatasi keran impor barang-barang bekas agar tidak timbul fenomena thrifting seperti hari ini, dan mendukung penuh serta memaksimalkan produk lokal. Agar ekonomi dalam negerinya maju.

Negara yang mampu menerapkan syariat Islam akan mampu menjaga dan menghasilkan sumber daya manusianya yang berkualitas. Berkaitan dengan umat yang beragama lain / non Muslim, mereka dibiarkan memeluk kepercayaannya dan dibiarkan beribadah menurut agamanya. Sedangkan hal yang berkaitan dengan makanan, dan khususnya pakaian diperlakukan sesuai sistem umum yang berlaku.

Perihal mu’amalah, sanksi, sistem pemerintahan, dan ekonomi diatur dalam syariat Islam, dimana aturan Islam itu sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, menentramkan hati, dan mampu memberikan pencegahan agar umat manusia tidak kehilangan arah tujuan hidupnya.

Negara akan lebih mementingkan kepentingan rakyat bukan segelintir masyarakat. Aspek mu’amalah dan ekonomi yang diatur dengan syariat Islam mencegah kecuragan, penggelapan, penyelundupan barang ilegal. Sanksi tegas diberlakukan tanpa pandang bulu. Sekalipun jika ada pejabat yang menyelewengkan amanat.

Syariat Islam dalam sebuah negara telah mampu diwujudkan sebagaimana Rasulullah Saw. sebagai manusia terbaik akhlaknya dan kepemimpinannya telah mencontohkan dan mewujudkannya di Madinah 1400an tahun yang lalu. Jika umat Islam tidak meneladani RasulNya, lalu mencontoh siapa?

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 19

Comment here