wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Seperti diketahui, pemerintah melalui Bulog akan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton hingga Desember 2023. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menuturkan, Indonesia membidik lima negara, yakni Thailand, India, Pakistan, Myanmar, dan Vietnam untuk memenuhi penugasan impor beras. Menurutnya, keputusan impor beras dua juta ton ialah keputusan sulit dan terpaksa diambil, mengingat stok CBP di gudang Bulog saat ini hanya 220 ribu ton.
Pemerintah kerap menggantungkan kegiatan impor beras dengan alasan sebagai kebutuhan untuk menambah cadangan beras di dalam negeri dan memperolehnya dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga beras dalam negeri. Selain sebagai cadangan dalam negeri, yang membuat pemerintah melakukan impor beras adalah terjadinya defisit beras di beberapa provinsi yang disebabkan karena penyaluran pasokan beras yang terhambat dan luasan panen sawah yang menurun dikarenakan cuaca ekstrim.
Lebih lanjut lagi, defisit tersebut juga disebabkan permintaan dan konsumsi beras di dalam negeri yang tinggi. Tidak bisa dihindari memang, jika konsumsi dan permintaan beras terus meningkat, hal ini karena jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi beras dalam negeri sebanyak 31 juta ton. Dari data ini, sesungguhnya Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri karena konsumsi beras dalam negeri adalah 30 juta ton.
Ditambah pada Agustus 2022 lalu Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilannya mencapai swasembada beras dan meningkatkan sistem ketahanan pangan. Jika demikian, mengapa harus impor beras dengan alasan demi kebutuhan masyarakat? Mengingat saat ini, Indonesia sedang memasuki masa panen raya. Artinya produksi beras dalam negeri melimpah. Beberapa daerah yang menjadi lumbung beras hampir serentak memanen padi. Termasuk di Ngawi, Jawa Timur. Hal ini pada prinsipnya semakin menjauhkan pemerintah pada prinsip kedaulatan pangan.
Apakah ada yang memanfaatkan kebijakan impor ini untuk kepentingan pribadi atau menguntungkan kepentingan sekelompok orang? Kita perlu memaksimalkan potensi pertanian dalam negeri dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada, modernisasi pertanian, serta sinergisitas antar provinsi sehingga tidak perlu lagi impor. Pengumuman impor beras ini pasti berpengaruh, baik itu secara psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani. Pemerintah seharusnya belajar dari peristiwa surat edaran Badan Pangan Nasional lalu, yang langsung berimplikasi pada turunnya harga gabah di tingkat petani. Padahal, peran petani dalam menyangga ketahanan pangan bagi negara sangatlah sentral, sehingga harus selalu didukung oleh semua pihak, termasuk pemerintah.
Pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng mengatakan, Indonesia dari hulu ke hilir menerapkan pasar bebas. Jika harga beras bergejolak, pemerintah tidak bisa memberikan proteksi karena pertanian beras diserahkan ke pasar bebas. Akhirnya, para importir memiliki akses kepada kekuasaan untuk membidik beras impor sebab mengumpulkan beras di tingkat petani harganya lebih mahal. Inilah pengaturan politik pertanian yang dilakukan pemerintah saat ini.
Kita sebagai muslim perlu memahami bahwa dalam konsep sistem ekonomi Islam, impor bisa menjadi alat politik bagi negara lain untuk mengendalikan suatu negara, bahkan bisa mengendalikan kedaulatan pangannya. Tidakkah ini berbahaya? Jika kebijakan ini tidak pro petani, lalu berpihak pada siapa?
Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam menjelaskan, pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi. Permasalahan pertanian yang tidak dapat diselesaikan dapat mengguncang perekonomian, bahkan menyebabkan negara menjadi lemah dan tergantung pada negara lain.
Yasyirah, S.P
Views: 13
Comment here