Oleh: Risna Ummu Zoya (Aktivis Muslimah Kalsel)
wacana-edukasi.com, OPINI– Setiap tanggal 1 Mei dirayakan sebagai May Day (Hari Buruh Internasional). Hari buruh diperingati seperti tahun-tahun sebelumnya yakni menggelar aksi. Dimana pada tahun ini massa akan menggelar aksi di depan Istana Negara dan Gedung Mahkamah Konstitusi. Tak hanya berpusat di Jakarta, aksi My Day ini turut digelar disejumlah provinsi secara serempak. “ Massa buruh yang hadir pada May Day 2023 ini merupakan gabungan dari sejumlah kelompok buruh di Indonesia,” tutur Presiden Partai Buruh Said Iqbal (Tempo.co, Sabtu 29/4/2023).
Dalam aksi May Day ini ada 7 tuntutan yang akan disuarakan yakni: 1. Cabut Omnibus Law atau UU Cipta Kerja, 2. Cabut ambang batas parlemen sebesar 4% dan ambang batas presiden sebesar 20% karena membahayakan demokrasi, 3. Sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga (PPRT), 4. Tolak RUU Kesehatan, 5. Reforma agraria dan kedaulatan pangan diantaranya dengan menolak bank tanah dan menolak impor beras kedelai, 6. Pilih calon presiden yang pro buruh dan kelas pekerja partai Buruh haram berkoalisi dengan partai yang mengesahkan UU Ciptaker, 7. Hapus outsourcing tolak upah murah alias HOSTUM.
Setiap tahun peringatan May Day selalu digelar. Aksi ini tidak lepas dari tuntutan jaminan kesejahteraan kaum buruh seperti penghapusan kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan. Apa yang mereka tuntut sebenarnya perkara yang wajar sebab mereka adalah SDM yang memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Bukan hanya pemenuhan pribadi namun kebutuhan keluarga mereka juga. Seandainya tuntutan mereka dipenuhi tentu akan dimasukkan dalam biaya produksi sebagaimana tuntutan kenaikan upah.
Faktanya mekanisme upah buruh yang ada masih diatur menggunakan upah minimum daerah. Alhasil kesejahteraan kaum buruh jauh dari harapan. Sekeras apapun mereka bekerja tidak akan bisa melampaui batas hidup daerah. Upah minimum yang ditentukan pengusaha dan daerah otomatis tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka karena sangat minim. Disisi lain, tuntutan kenaikan upah membuat biaya produksi meningkat dan tentu saja harga jual barang juga akan naik. Efek lanjutannya juga akan terjadi inflasi, daya beli masyarakat juga semakin rendah, dan yang paling dirugikan adalah kaum buruh. Mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Seperti inilah nasib kaum buruh dalam sistem yang menganak emaskan para pemilik modal. Dalam sistem kapitalisme para pemilik modal ingin mendapatkan keuntungan materi sebanyak mungkin dengan biaya produksi serendah mungkin. Sekalipun itu harus mengorbankan kesejahteraan kaum buruh. Terbukti posko Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2023, Kemnaker menerima sebanyak 2.369 aduan dari para kaum buruh (www. Kemenkopmk.go.id). Yang mana hak tunjangannya dilanggar oleh perusahaan tempat kerjanya. Dari angka total aduan tersebut dikelompokkan menjadi 3 kasus yakni THR tidak dibayarkan terdiri dari 1.162, dibayarkan tidak sesuai ketentuan sebanyak 752, serta terlambat dibayarkan sebanyak 388 (www.cnnindonesia.com).
Sistem Kapitalisme juga membuat negara mengalami disfungsi, membiarkan masyarakat berjuang secara mandiri menghadapi peningkatan harga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan yang semakin tidak terjangkau. Begitu pula kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang juga susah diakses karena biayanya mahal. Karenanya sekalipun May Day digelar setiap tahun nyatanya nasib kaum buruh tidak semakin sejahtera tapi justru semakin berat beban hidupnya.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang lahir dari akidah Islam. Allah Ta’ala menurunkan Islam sebagai ideologi. Sehingga Islam memiliki solusi tuntas untuk menyelesaikan persoalan buruh akibat penerapan kapitalisme dan menjamin kesejahteraan nyata bagi para buruh. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa mekanisme hukum syariah yang diterapkan sebagai Undang-Undang oleh negara Islam.
Terkait perburuhan, Islam memiliki konsep antara buruh dan pemilik modal. Hal tersebut diatur dalam aqad ijarah. Dalam aqad ini antara buruh dan pemilik modal memiliki kewajiban dan hak yang tidak boleh dilanggar satu sama lain. Bagi pemilik modal, hak mereka adalah mendapatkan jasa yang diberikan buruh sesuai kesepakatan. Sedangkan kewajibannya adalah menjelaskan kepada buruh mereka waktu atau durasi pekerjaan , besar upah yang diterima, jenis pekerjaan, tempat pekerjaan dan hal-hal yang terkait. Pemilik modal tidak boleh mengulur pembayaran upah, tidak boleh memberi beban kerja diluar kontrak kerja, menzalimi hak-hak buruh semisal tidak memberi waktu libur, waktu shalat, dan sebagainya.
Dalam Islam upah tidak ditentukan berdasarkan upah minimum suatu wilayah atau daerah seperti kapitalisme tetapi besaran upah disesuaikan dengan besaran jasa yang diberikan oleh buruh, jenis pekerjaan waktu bekerja, dan tempat pekerjaan. Tidak dikaitkan dengan standar hidup minimum masyarakat. Buruh yang profesional atau mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan dengan yang pemula. Ketentun ini wajib dipenuhi oleh pemilik modal yang mempekerjakan buruh.
Sementara hak kaum buruh adalah mendapatkan jaminan upah, keselamatan ditempat kerja, tunjangan sosial dan sejenisnya. Kaum buruh wajib memenuhi aqad ijarah dan memberikan jasa mereka kepada para pemilik modal yang telah membayarnya. Mereka juga tidak boleh merusak alat produksi atau melakukan perbuatan lainnya yang merugikan pemilik modal.Dalam negara Islam semua kebutuhan pokok dipastikan tersedia secara cukup dan terjangkau bagi masyarakat. Untuk kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan akan disediakan secara gratis oleh negara. Jaminan seperti ini akan membuat masyarakat terpenuhi kebutuhannya secara layak sekalipun mereka kaum buruh.
Inilah cara Islam dalam menyelesaikan masalah perburuhan yang menuntut akan kesejahteraan dan keadilan.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 59
Comment here