Oleh: Siombiwishin (Aktivis)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Dunia remaja akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya tentang perundungan, seks bebas, saling ejek di media sosial, akan tetapi sudah sampai ke tahap kriminalitas. Tak jarang para remaja kerap berkumpul, membentuk geng yang melakukan aksi pencurian, pemalakkan sampai pembacokkan yang menimbulkan korban jiwa. Mirisnya, dalam aksi yang dilakukan terdapat korban salah sasaran atau korban yang diserang secara acak tanpa sebab.
Kondisi ini tentu sangat disayangkan, menumbuhkan keresahan yang mendalam bagi masyarakat, melihat bahwa para remaja adalah penerus bangsa yang notabene harapan bagi perkembangan kemajuan bangsa.
Dilansir dari KendariNews.com. Hal yang serupa juga terjadi pada warga Kelurahan Mokoau, Kecamatan Kambu, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Melalui kegiatan rutin “jumat curhat” yang dipimpin oleh Wakapolda Sultra, Brigjen Pol Dwi Irianto didampingi Pejabat utama jajaran Polda Sultra di kantor kelurahan Mokoau pada Jumat (28/4) pagi.
Warga menyampaikan keresahan mereka perihal ganguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas ) yang ditimbulkan oleh kenakalan remaja. Warga menyampaikan lebih lanjut bahwa para remaja tersebut telah memiliki lokasi untuk berkumpul dan melalaikan sekolah.
Ketua RT 12 Lalolara mengatakan bahwa di bagian wilayahnya yang berdekatan dengan kampus, merupakan kawasan sepi yang banyak ditinggal pemiliknya untuk mudik, sehingga situasi tersebut dimanfaatkan oleh para remaja ini untuk melakukan aksi pencurian. Bukan hanya itu, mereka juga melakukan aksi mabuk-mabukkan dan pemalakan yang sangat menganggu para warga sekitar.
Kondisi memprihatinkan yang menimpa remaja ini, pastinya memiliki sebab-sebab yang cukup krusial. Salah satunya adalah peran agama yang semakin diminimalisir dalam pendidikan. Terlebih pendidikan telah dijadikan sebagai alat mencetak SDM yang unggul secara sains dan teknologi demi tuntutan pasar global, tetapi lemah dari sisi keterikatan pada ajaran agama.
Akibatnya para orangtua pun memfokuskan anak-anak mereka untuk mengungguli bidang-bidang yang dituntut tersebut, tanpa menyadari kemungkinan SDM seperti inilah yang dapat berpotensi mengancam negeri ini jika perilaku individu tidak lagi memperhatikan halal-haram suatu perbuatan. Sehingga kebanyakan orangtua menyampingkan peran agama dalam membentuk kepribadian anak-anak mereka.
Oleh karena itu, di Indonesia yang didominasi oleh penduduk muslim, sudah seharusnya menjadikan agama sebagai pondasi dalam pendidikan. Para peserta didik membutuhkan suri tauladan sebagai contoh baik yang akan mereka tiru dan boleh jadi dijadikan idola mereka.
Dalam Islam ada sosok Rasulullah Muhammad SAW. yang wajib menjadi panutan (role model) seluruh peserta didik. Orangtua yang sadar akan pentingnya panutan untuk anak seyogyanya telah memperkenalkan sosok manusia paling sempurna dalam akhlak ini untuk dicontohi oleh anak mereka.
Keberadaan sosok panutan (role model) inilah yang menjadi salah satu ciri pembeda pendidikan Islam dengan sistem pendidikan yang lain. Akidah menjadi dasar pemikiran peserta didik, membangun generasi dengan kepribadian islam menjadi tujuan pendidikan, yang tidak hanya unggul dalam bidang sains dan teknologi, tetapi matang secara emosional maupun spiritual. Sehingga kecil kemungkinan para remaja akan melakukan kenakalan yang berujung petaka, sebab ada aturan-aturan agama (syariat islam) yang akan mengontrol pengendalian emosi mereka.
Hasil belajar (output) pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang kukuh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan peserta didik dengan syariat Islam. Dampaknya (impact) adalah terciptanya masyarakat yang bertakwa, yang di dalamnya tegak amar makruf nahi mungkar.
Mengenai keberhasilan pendidikan dengan pondasi akidah Islam dapat dilihat dari lahirnya pemuda-pemuda Islam yang tangguh dan unggul dalam bidangnya. Mereka antara lain Atab bin Usaid yang di usia 18 tahun telah diamanahkan menjadi Gubernur Makkah, Muhammad Al-Fatih yang menaklukan Konstantinopel di usia 22 tahun, Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, Al-Khawarizmi sang ahli dalam matematika, Abbas Ibn Firnas dengan teori penerbangannya, Jabir Ibnu Hayyan sang ahli kimia, dan Al-Battani seorang astronom yang berhasil menemukan hitungan dalam satu tahun terdapat 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.
Serta masih banyak lagi para pemuda dengan prestasi cemerlang sejak masa kegemilangan Islam yang tercatat dalam sejarah.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Islam dapat menjadi solusi tepat dalam mendukung kemajuan pendidikan generasi penerus bangsa.
Wallahu’alam.
Views: 35
Comment here