Opini

Infrastruktur Lampung Ambyar, di Manakah Pemimpin Sekelas Umar?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Andi Annisa Nur Dzakiyyah, S.Pd (Aktivis Dakwah, Tenaga Pengajar)

wacana-edukasi.com, OPINI– Media sosial dewasa ini semakin berkembang pesat dan terus mengalami transformasi. Di awal kemunculannya platform hanya dijadikan sebagai wadah menunjukkan eksistensi diri. Namun lambat laun, media sosial tidak hanya dijadikan sebagai media pamer diri, tapi juga menjadi aspirasi, kritik, dan watchdog kepada penguasa.

Telah banyak akun yang kontennya berisi keluhan terhadap penguasa. Salah satunya seperti yang viral kemarin, yakni kritik jalan rusak Lampung oleh Bima. Buah dari konten viral ini, pemerintah darah dan pusat pun turun tangan. Bahkan, Jokowi juga turun langsung menelusuri jalan rusak di Lampung. Kendaraan yang ditumpangi Jokowi itu tak bisa berjalan cepat di jalan sepanjang sekitar 7 meter itu. Sebab, hanya separuh dari jalan tersebut yang telah teraspal. Separuh jalan hancur dan dipenuhi batu kerikil. Tak hanya itu, terdapat pula lubang menganga tersebar di hampir setiap meter jalan (cnnindonesia.com, 06/05/2023)

Sekilas memang terlihat baik. Namun, hal yang menjadi miris adalah kerapkali masalah rakyat baru dilirik ketika viral dulu. Jalan rusak di Lampung bukanlah fenomena kemarin sore. Sudah sekitar 10 tahun warga Lampung, termasuk di kecamatan Rumbia, tak dapat merasakan jalan mulus.

Apa yang dialami oleh warga Lampung hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak kasus buruknya infrastruktur. Mirisnya lagi, bukan hanya Lampung saja yang mengalami kerusakan jalan parah. Menurut BPS tahun 2022, terdapat sebanyak 31,9 persen jalan di Indonesia mengalami kerusakan, dan 15,9 di antaranya rusak berat. Total panjang jalan rusak di Indonesia mencapai 174.298 kilometer.
Kerapkali kita mendengar berita tentang kendaraan yang tergelincir hingga jatuh ke jurang akibat jalan rusak, anak-anak sekolah yang terjatuh dari jembatan gantung yang rawan, banjir, dan sebagainya. Inilah bukti nyata bahwasanya pembangunan infrastruktur yang tidak merata dan tidak dirasakan sepenuhnya oleh rakyat.

Nasib Rakyat dalam Ancaman Ekonomi Neoliberalisme

Kondisi jalan yang rusak harusnya menjadi perhatian utama pemerintah, sebab infrastruktur jalan sangat dibutuhkan warga demi memperlancar aktivitas termasuk perputaran ekonomi. Tapi, lambannya penanganan pemerintah tak sedikit mengakibatkan warga dengan swadaya menggalang dana demi membeli bahan-bahan seadanya untuk membangun atau memperbaiki jalan yang rusak. Padahal, Jokowi pernah menegaskan bahwa sesakit apa pun kondisi bangsa Indonesia, pembangunan tetap harus dilanjutkan. Dia ingin pembangunan infrastruktur itu selesai dan bermanfaat bagi masyarakat.

Namun faktanya, hal itu hanya sekadar menjadi lip service semata. Rakyat tidak sepenuhnya dan tidak semuanya dapat merasakan pembangunan yang telah diprogramkan oleh Pemerintah. Inilah ironi nasib kaum marginal dalam sistem ekonomi neoliberal. Rakyat hanya dijadikan alasan demi melancarkan ambisi eksploitatif kaum kapitalis. Alih-alih demi menyejahterakan rakyat, pemerintah justru mengesampingkan nasib rakyat dan sibuk membangun infrastruktur yang nantinya hanya akan menguntungkan pihak asing dan swasta. Banyak wilayah yang pembangunan infrastrukturnya massif digenjot, namun malah dikelola dan menjadi lahan bancakan oleh pihak korporasi. Giliran tak tersentuh oleh tangan rakus korporasi, infrastrukturnya memprihatinkan. Inilah wajah rezim kapitalisme yang menjadikan wilayah Indonesia berlabel For Sale.

Ini berbeda halnya dengan sistem Islam. Pemimpin tidak sepatutnya tunduk dibawah telunjuk asing dan mengabaikan rakyat. Pemimpin berperan sebagai pengurus urusan rakyatnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

Umar, Keledai dan Jalan Yang Berlubang

Jika berbicara perihal pemimpin yang peduli terhadap rakyatnya, maka mari kita sedikit menilik kepada sosok pribadi sahabat Rasulullah SAW. Salah satunya Umar bin Khattab. Pasalnya, beliau pernah gelisah ketika mengetahui ada seekor keledai yang jatuh ke dalam lubang yang ada di sebuah jalan di kota Baghdad. Ketika Umar ditanyai, ”Wahai Amirul Mukminin! Bukankah yang jatuh hanya seekor keledai?” Maka dengan nada menahan marah Umar membalas dengan bertanya, “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”

Bayangkan! Jangankan seorang manusia yang terperosok dalam lubang, seekor hewan pun yang terperosok umar gelisah. Inilah bedanya antara pemimpin yang takut kepada Allah SWT dengan pemimpin yang abai terhadap urusan rakyatnya dan enggan menerapkan aturan yang berasal dari Allah SWT.

Selain itu, satu contoh lain kepeduliannya terhadap sarana dan prasarana untuk umat ialah beliau mendirikan pos (semacam rumah singgah) yang disebut sebagai Dar ad-Daqiq. Rumah singgah ini adalah tempat penyimpanan sawiq, kurma, anggur dan berbagai bahan makanan lain yang diperuntukkan bagi Ibnu Sabil yang kehabisan bekal dan tamu asing.
Inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin. Mereka tidak seyogyanya memalingkan muka dari kepentingan rakyat apalagi menunggu viral dulu baru turun tangan. Tak sepatutnya pula mereka menggandeng swasta dengan dalih demi percepatan pembangunan seperti yang dicontohkan oleh pemimpin dalam sistem kapitalisme saat ini.

Jika kita merindukan lahirnya sosok pemimpin sekaliber Umar bin Khattab. Namun, sosok ini takkan dalam sistem yang tidak Islami. Sosok pemimpin seperti Umar hanya lahir dari sistem Islam yang mewajibkan penguasanya menerapkan Islam secara totalitas, sempurna dan menyeluruh (kaffah). Penerapan syariat Islam hanya bisa terwujud melalui penerapan institusi Khilafah.
Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here