Oleh Wiji Lestari
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity. Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari. Oleh sebab itu, ia menganggap, ukuran yang dijadikan acuan Bank Dunia itu harus ditelaah lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan kondisi perekonomian domestik.
Kemiskinan menjadi satu permasalahan yang tak kunjung tuntas di negeri ini. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hingga angka kemiskinan tak dapat ditekan sampai angka nol. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, 40% masyarakat Indonesia seketika jatuh miskin bila penghitungan garis kemiskinan memanfaatkan ukuran yang direkomendasikan bank dunia. Ukuran itu adalah angka paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP). Dalam laporan bertajuk ‘Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security’, Bank Dunia merekomendasikan acuan garis kemiskinan disesuaikan dengan global, yaitu sebesar US$ 3,2 PPP per hari. Sebab, Indonesia telah mampu menekan angka kemiskinan ekstrem dengan penghitungan US$ 1,9 PPP per hari. Hal ini disampaikan kepada ibu satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) katakan di speechnya ketika anda dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol tapi garis kemiskinan anda adalah US$ 1,9, anda harus gunakan US$ 3. Seketika 40% semua menjadi miskin.
Kemiskinan yang menimpa masyarakat Indonesia saat ini akibat kemiskinan yang struktural atau sistemik. Mengapa demikian? Sebab adanya persoalan ini muncul akibat sistem yang diberlakukan di negara atau penguasa sudah sistem yang salah. Sistem kapitalisme-liberlisme-sekularisme, sebuah sistem yang sudah menguasai negeri ini secara keseluruhan. Kekayaan yang dimiliki negara ini sudah dinikmati oleh segelintir orang saja. Hasil pengelolaan sumber daya alam yang harusnya dinikmati oleh rakyat, mensejahterakan rakyat nyatanya hanya mimpi belaka. Rakyat tak akan merasakan kenikmatan surga sumber daya alam dalam negeri ini, justru merasakan pahitnya hidup bertahan dinegeri yang dinukil zamrud khatulistiwa.
Negara ini sejatinya sudah lama dijajah dalam bentuk yang berbeda, bukan menggunakan senjata namun dengan berbagai cara dengan kemasan yang menarik sehingga dapat tersamarkan apakah dijajah atau sudah merdeka. Selain itu sudah lama pula dalam negeri ini terjadi privatisasi sektor publik dalam bidang tertentu. Misalnya jalan tol, air, pertambangan, gas, minyak bumi bahkan mineral jika kita lihat sudah bukan menjadi hal sepenuhnya negara melainkan sudah dikuasai segelintir orang saja.
Sungguh miris hidup rakyat Indonesia yang kian hari makin menjerit akibat kemiskinan ini. Rakyat tak lagi menikmati hak sumber daya alam tersebut. Alhasil kesenjangan sosial kian terasa. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Rakyat seolah-olah dibiarkan untuk hidup mandiri ditengah kondisi perekonomian yang mencekik, Sejatinya kemiskinan bukan diukur dari seberapa besar pengeluaran atau pendapatan tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah secara perseorangan. Penguasa seolah abai dan lepas tangan terhadap tanggungjawab kepada rakyatnya. Misalnya sektor kesehatan, fakta yang ada saat ini rakyat membayar iuran BPJS sendiri, ini artinya rakyat harus menjamin biaya kesehatannya sendiri. Sampai kapan negara harus terus mengorbankan rakyat harus hidup sengsara?
Sudah selayaknya sistem saat ini diganti dengan sistem yang mampu menuntaskan segala persoalan. Islam sebagai agama yang sempurna memberikan solusi dalam menuntaskan kemiskinan setidaknya ada 3 solusi.
Pertama, secara individual seorang muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya menjadi tanggungannya.
Kedua, secara jama’i harus memperhatikan saudaranya, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semala
Views: 9
Comment here