Oleh: Nurhayati, S.S.T.
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kasus perundungan (bullying) nampaknya masih mewarnai generasi muda hari ini. Betapa tidak banyaknya korban bullying tidak hanya mempengaruhi mental korban bahka parahnya sampai menyebabkan kematian.
Seperti yang terjadi baru-baru ini di Sukaraja, Sukabumi seorang bocah kelas 2 SD dengan inisial MHD menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 20/5/2023 setelah sempat dirawat di Rumah Sakit akibat pengeroyokan oleh kakak kelasnya ditanggal 15/5/2023 lalu (Bandung.kompas.com, 20/5/2023).
Hasil visum ditemukan organ dalam korban, pembuluh darah dan rongga dada retak. Kakek korban menututkan MHD sempat mengeluh sakit dan dianjurkan oleh sang kakek untuk tidak ke sekolah, namun MHD tetap bersekolah pada tanggal 16/5/2023, pasca kejadian itu MHD dilarikan ke rumah sakit.
Miris kita melihat bagaimana generasi muda hari ini cenderung bermental brutal dan mudahnya menggunakan kekerasan fisik untuk menyelesaikan masalah, Kejadian MHD adalah kasus perundungan kesekian kalinya. Perlu adanya perhatian serius dari seluruh elemen dimulai dari keluarga, lingkungan, hingga sekolah untuk menindaklanjuti kasus semacam ini.
/ Generasi Rusak, Ada-kah Faktor Kegagalan Pendidikan? /
Kejadian pengeroyokan MHD dilingkungan sekolah menjadi refleksi bagi kita bahwa sekolah yang harusnya sebuah institusi pendidikan yang diharapkan untuk membentuk anak menjadi insan yang cerdas dan bermental baik nyatanya tidak untuk MHD.
Parahnya hari ini sekolah justru menjadi tempat terjadinya kekerasan anak. Anak yang mudah emosi sehingga berakhir menjadi baku hantam haruslah menjadi renungan bagi kita bahwa sekolah bukan saja untuk menghasilkan prestasi dibidang kecerdasan intelektual namun sekolah juga mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kekuatan mengelola emosi.
Namun kita tidak melihat kasus MHD ini dari satu sisi saja. Bahwa perilaku anak dibentuk oleh berbagai komponen. Bermula dari keluarga, adalah institusi kecil dimasyarakat dimana anak pertama kali bertumbuh dan berinteraksi adalah dikeluarga. Emosi anak akan dipengaruhi oleh hasil kedekatan dia dengan keluarganya.
Dalam sebuah jurnal “Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak” (Yuli Setyowati, 2013), terdapat penelitian bahwa kegagalan orangtua hari ini adalah mengedepankan kecerdasan intelektual saja (IQ), padahal ada yang tidak kalah penting adalah kecerdasan pengelolaan emosi (EQ) yang mencakup kepada kecerdasan sosial, mental, interpersonal dan spiritual.
Melalui keluarga, anak belajar menanggapi dan berinteraksi dengan orang lain sekaligus belajar mengelola emosinya yang dipengaruhi oleh pola komunikasi di dalam keluarga terutama sikap orangtua.
Perlakuan setiap anggota keluarga utamanya orangtua akan “direkam” oleh si anak sehingga inilah yang akan menjadi cerminan bagi si anak ketika berinteraksi diluar rumah dan sedikit banyak akan membentuk kepribadiannya.
Maraknya kasus perundungan bagi kita sederhananya kita simpulkan adalah kurang cakapnya anak dalam mengelola emosinya. Aksi brutal seperti penganiayaan tidak boleh kita melihatnya hanya sebagai kenakalan biasa.
Sebab anak-anak hari ini juga “dibentuk” oleh teknologi, bagaimana game-game yang berseliweran di handphone tidak sedikit ada sentuhan m
kekerasan didalamnya.
Terlebih hari ini anak diberi kebebasan dalam penggunaan gadget diperparah dengan pembiaran oleh orangtuanya. Sehingga kita dapati interaksi anak lebih dekat dengan gadget dibanding dengan orangtuanya.
/ Solusi Kekerasan Anak /
Jika kita tarik benang merahnya adalah keluarga memiliki basis nilai yang kuat dalam membentengi anak dari mental kekerasan.
Keluarga menjadi pionir pembentukan kepribadian anak, mau dibentuk menjadi anak baik atau buruk itu bergantung pada pola asuhnya.
Meski kita tidak menyangkal bahwa setiap orangtua pastilah menginginkan anaknya menjadi anak yang berkepribadian baik.
Berawal dari membangun keluarga adalah memilih pasangan berdasarkan kriteria yang dianjurkan dalam Islam adalah memilih yang paling baik agamanya. Hal ini dikarenakan bahwa landasan keimanan akan menjadi role model dalam berperilaku termasuk mendidik anak juga dalam berinteraksi.
Dalam Islam tidak dibenarkan seseorang melakukan kezaliman termasuk didalamnya kekerasan fisik. Islam menjadikan keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan, sehingga menjadi benteng dari perilaku jahat/sadis.
Tentu keluarga bukan komponen yang berdiri sendiri ada lingkungan yang bertugas sebagai kontrol social bagi si anak. Masyarakat yang baik lahir dari peradaban yang baik. Sehingga mendorong masyarakat tidak diam terhadap keburukan yang terjadi disekitarnya.
Istilahnya mereka ber amar ma’ruf nahi munkar. Sebab Allah pun memberikan peringatannya jika suatu negeri absen dari kontrol sosial maka Allah subhanallahu wa ta’ala menurunkan azab dinegeri tersebut.
“Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian bersunguh-sungguh menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau Allah akan menimpakan siksaan kepada kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya tetapi Dia tidak mengabulkan do’a kalian.”(HR. At-Turmudzi. 2169)
Semoga makin rusaknya generasi hari ini menjadikan kita sadar bahwa kedekatan kepada Allah ta’ala sejatinya yang menyelamatkan manusia baik fisik maupun bathin.
Wallahu ‘alam bishowab[]
Views: 3
Comment here