Oleh : Izzatus Shanum (Anggota Ngaji Diksi Aceh)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA — Tidak lama lagi pesta pemilihan umum serentak 2024 dilaksanakan, bakal calon anggota legislatif (bacaleg) pun ramai mendaftarkan diri ke KPU. Dari ribuan nama dan beragam latar belakang, termasuk deretan kepala dan wakil kepala daerah. Berdasarkan Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Pemilu, pejabat yang berhubungan dengan pemerintah harus mundur dari jabatan mereka. Maka sejumlah kepala daerah yang jadi calon legislatif ini pun, harus mundur dari jabatannya.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono mengakui bahwa ada perubahan fenomena dalam pemilu di Indonesia. Umumnya, para kandidat memilih maju ke legislatif terlebih dahulu, kemudian mereka mundur untuk maju di pilkada. Ia menduga, hal ini tidak lepas dari situasi politik dan upaya memanfaatkan situasi. “Ini lebih ke peluang, dan catatannya adalah ongkos politiknya memang besar dibandingkan kalau di pilkada, lebih besar di legislatif,” jelas Alfianto. Dikutip Tirto.id, Minggu (21/05/2023)
Beginilah realita perebutan kekuasaan hari ini, cerminan kekuasaan ala sistem demokrasi sekuler. Sistem demokrasi yang berakidah sekularisme, membuat manusia berdaulat atas hukum, tetapi hukum tersebut diserahkan kepada manusia yang sangat subjektif. Buktinya, dengan adanya UU yang mengatur kebolehan pemimpin daerah mundur dari jabatannya demi mengikuti pileg.
Tidak hanya itu, sekulerisme yakni ide pemisahan agama dari kehidupan ini, telah membuat makna kekuasaan diartikan sebagai ajang memperkaya diri dan kelompok saja. Karenanya mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara mayoritas. Dari sana muncullah hasil dan kualitas pemimpin yang bermasalah, koridor, dan tidak bertanggung jawab. Praktik ini juga akhirnya membuka peluang bagi siapa saja masuk ke parlemen walaupun kapasitas mereka belum sampai tataran level negarawan.
Sangat jauh berbeda dengan karakter pejabat yang dilahirkan oleh sistem Khilafah, sebagai negara Islam yang menerapkan syari’at secara kaffah maka ada pemahaman dan tolak ukur untuk memilih pemimpin dalam Islam. Semua disandarkan kepada syariat Islam. Baik itu pemimpin dan sistem pemerintahan.
Sebab, dalam Islam amanah kekuasaan bukan hanya sekedar urusan dunia, tetapi juga urusan akhirat untuk menegakkan dan memelihara serta mengemban urusan agama, beginilah yang diserukan oleh Allah kepada hambanya.
Karena itu amanah dalam Islam bukan sesuatu hal yang bisa dipermainkan sesuka hati kita, yang hanya sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Amanah kekuasaan adalah amanah yang berat. Paradikma inilah yang dipahami oleh pemimpin (Khalifah) di dalam sistem Khilafah. Salah satunya Khalifah Umar bin al-Khattab yang terkenal sebagai penguasa tegas dan sangat disiplin. Misalnya dan menegakka hukum bagi pejabat yang khianat. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang diambil dari jalan yang tidak benar.
Seperti inilah wujud kekuasaan pemimpin yang lahir dalam Khilafah, mereka sangat memahami amanah kekuasaan sebagaimana yang diperintahkan syariat. Maka hasilnya selama 1300 tahun Khilafah berdiri, para Khalifah senantiasa hadir untuk mengurusi umat dan kepentingan agama Islam, bukan alasan yang lain. Waallahua’lam
Views: 12
Comment here