Surat Pembaca

Tren Cerai Makin Tinggi, Bagaimana Islam Menanggapi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Rhany (Pemerhati Sosial Andoolo)

Sering buka sosmed? Cek berita apa yang sedang hangat diperbincangkan saat ini. Berita viral geger yang melanda jagad sosial media baru-baru ini adalah soal berita perceraian, terutama yang menjadi sorotan dari para selebriti.

Mau dibilang cantik, perawatan aduhai jutaan rupiah sanggup dikeluarkan tiap bulan. Dibilang kaya pun, harta bergelimang. Terkenal pun dibilang iya, seluruh penjuru negeri semua tahu. Apa yang kurang sebenarnya? Padahal secara fisik terpenuhi? Apakah dengan fisik, harta, popularitas mampu melangengkan suatu pernikahan? Nyatanya tiap tahun, ribuan pengadilan penuh dengan antrian perceraian.

Seperti yang dikutip tribun.com, memperlihatkan sebuah video dan menarik perhatian warganet di mana kerumunan masyarakat tengah mengantre di pengadilan agama Cibinong. Dalam video, terdapat narasi yang menyebut kerumuman tersebut sedang mengantre untuk melakukan sidang gugatan cerai (19/6/2023).

Kehidupan yang tampil di media tak seindah dengan kenyataan. Di balik keromantisan terdapat settingan demi cuan. Kebahagian yang dibanggakan hanya ilusi, membuktikan materi bukanlah pengikat secara baku untuk melangengkan sebuah pernikahan.

Impian pernikahan bak cinderella yang berangan-angan hanya ada disebuah film atau sinetron. Berpikir mengikat pasangan dengan hal yang fana tak mampu bertahan dengan lama. Tertawa di balik sorotan kamera rupanya mengandung luka yang disembunyikan.

Jika patokan pernikahan yang ada di atas, tentu kehidupan merekalah yang paling bahagia. Namun nyatanya tidak, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dan fakta yang ada, sebab basis pengikatnya hanya berasal dari materi dan fisik.

Jika tak ada landasan lain dalam membina rumah tangga, tentu menuai kegagalan yang sama. Kegagalan akan sering kita temukan seperti berbagai kasus di atas. Tingginya gugat cerai bahkan di negara Eropa dan Amerika mencapai hampir 50%, rupanya di sistem kehidupan sekuler hari ini menuai banyak kegagalan dalam mengatur kehidupan rumah tangga.

Tapi jika ditelusuri secara mendalam, ternyata angka perceraian di Indonesia memang masih tertinggi di Asia Afrika, yaitu sekitar 28% dari angka perkawinan. Yang memprihatinkan, 93% di antara kasus perceraian adalah gugat cerai, yaitu perceraian yang diajukan oleh istri dikutip oleh kemenag pada 14 juni tahun 2022 lalu.

Tentu kasus di atas tak serta merta meningkat, pasti ada biang masalah yang menjadi penyebab terbesarnya. Menurut komnas perempuan, penyebabnya adalah perselisihan antar suami istri, disusul dengan faktor ekonomi dan kasus KDRT. Namun tak dinafikan lagi perselingkuhan turut menyumbang angka perceraian.

Visi dan misi apa yang akan dibentuk jika pernikahan tak menjadi sakral lagi, dengan mudahnya dinodai dengan aktivitas maksiat.

Sejatinya pernikahan butuh kesiapan ilmu, tiap insan harus memahami tugas dan hak kewajiban sebagai suami istri. Menjadi guru butuh bertahun-tahun kuliah agar gelar pendidik disematkan, namun apa kabar dengan suami dan istri? Punya gelar namun tak mempersiapkannya. Bagaimana ceritanya membangun sebuah rumah tangga tak memiliki ilmu yang cukup. Yah wajarlah perselisihan ego didahulukan.

Sungguh miris kehidupan di tengah-tengah masyarakat basis sekuler mendominasi pemikiran umat, agama tak menjadi pijakan utama membangun sebuah rumah tangga, hingga perceraian jadi solusi terakhir.

Di sisi lain faktor ekonomi dan tekanan kebutuhan kian meningkat. Suami tidak turut mencari nafkah dan bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga, hingga tak sedikit istri mengambil peran tersebut dan akhirnya istri merasa tak layak lagi membutuhkan suami. Qowwam pemimpin dalam rumah tangga tak dijalankan sebagai suami.

Sistem dengan basis kapitalisme di mana materi menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kesenangan. Seseorang merasa bahagia ketika mampu memenuhi seluruh kebutuhannya, primer hingga tersier. Rumah mewah, makanan enak, kendaraan yang mewah, perabot rumah, semua menjadi konsumsi kebutuhan. Jika semua ini tidak terpenuhi, ia merasa kurang bahagia dan muncullah berbagai konflik dalam rumah tangga.

Inilah yang menjadi sebab perseteruan suami istri, padahal peran negara sangat andil di dalamnya memenuhi kebutuhan rakyat, yang terjadi adalah negara berpangku tangan mengurusi.

Selain itu, pergaulan bebas tanpa batas menjangkiti masyarakat. Suami maupun istri bergaul yang tak wajar walaupun tidak memiliki kepentingan apapun hingga sering kebablasan dan berujung selingkuh, apalagi di tengah menjamurnya sosial media hari ini yang berpeluang terbuka secara lebar. Di sini individu masyarakat dan negara tak memiliki peran andil, sebab merasa itu urusan pribadi seseorang yang tak layak diketahui.

Islam memberi aturan yang lengkap bagaimana suami istri mengatur dan menjalankan bahtera rumah tangga semata-mata untuk beribadah. Kecantikan tak menjamin awetnya pernikahan namun kecintaan terhadap Allah dengan ketaatan akan memberikan efek keharmonisan dibingkai dengan kontrol masyarakat, dan negara sebagai tiang penjaganya. Wallahu a’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 23

Comment here