Oleh: Cahya M. Azdarany, S.Si
(Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa waktu terakhir ini, berita tentang kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang anak membuat kita miris. Seorang anak berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi korban pemerkosaan yang diduga melibatkan 11 orang di antaranya oleh guru, anggota polisi dan kepala desa (Kades). Kejadian ini terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023 lalu (cnnindonesia.com).
Peristiwa pemerkosaan korban anak tersebut bermula saat korban membawa bantuan logistik dari kampungnya di Poso untuk korban banjir di Parimo. Saat itulah korban berkenalan dengan para pelaku. Setelah menyalurkan bantuan, korban menginap di salah satu penginapan di Parimo. Korban tersebut memilih tidak kembali ke Poso karena dijanjikan pekerjaan oleh para pelaku. Pendamping korban, Salma masri mengatakan bahwa kondisi kesehatan anak tersebut terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat. Dalam sejumlah rangkaian pemeriksaan ditemukan adanya infeksi akut pada alat reproduksi korban anak sehingga harus dilakukan tindakan operasi untuk mengangkat rahimnya (bbc.com).
Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus (cnnindonesia.com).
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di negeri ini sungguh semakin parah. Jika kita telisik, sudah banyak solusi yang ditawarkan untuk mengentaskan kasus kekerasan seksual tersebut. Mulai dari memasukkan materi pendidikan seksual ditiap jenjang pendidikan, hingga memiliki undang-undang tersendiri tentang perlindungan terhadap anak. Namun nyatanya, solusi-solusi tersebut tidak mampu menuntaskan masalah yang terjadi, karena solusi yang ditawarkan adalah solusi sekuler yang hanya bertolak dari fakta di permukaannya tanpa menyentuh akar permasalahannya.
Ada banyak hal yang menjadi penyebab kasus kekerasan seksual pada anak makin parah. Diantaranya adalah sanksi atas pelaku kekerasan seksual yang tidak berefek jera. Pasalnya, sanski kekerasan seksual terhadap anak dalam perundang-undangan hanya berupa penjara, tidak sampai hukuman mati. Bahkan kenyataan yang terjadi di lapangan, hukumannya bisa lebih ringan lagi. Banyak kasus yang hilang begitu saja atau bahkan terabaikan jika masyarakat tidak mengawalnya dengan ketat. Hanya dengan memberi uang damai terhadap keluarga, kasus bisa hilang tanpa penyelesaian secara hukum. Inilah yang menyebabkan tidak adanya efek jera bagi pelaku.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ada beberapa pihak yang bertanggung jawab dalam maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak. Pertama, keluarga yang lalai membentengi pendidikan agama kepada anak. Kedua, lingkungan masyarakat yang permisif dan tidak acuh sehingga membuat pelaku kejahatan bebas melakukuan aksinya. Ketiga adalah negara. Peran negara pada umumnya hanya sekedar pemberi sanksi. Sanksi kejahatan seksual terhadap anak yang hanya maksimal 15 tahun penjara dianggap terlalu ringan.
Jika kita telaah lebih dalam, sesungguhnya negaralah yang harusnya paling bertanggung jawab atas maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini. Pada dasarnya, penyebab munculnya kekerasan seksual terhadap anak adalah penyebab yang bersifat sistemis. Yang disebut sebagai penyebab selama ini pada hakikatnya merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi di negeri ini dengan asas sekulernya yaitu memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Kelalaian keluarga untuk membentengi anak dalam hal pendidikan agama tidak sepenuhnya salah mereka. Orang tua lalai karena bisa jadi mereka sendiri tidak paham agama atau tidak sempat untuk mengajarkannya akibat kesibukan kerja. Ini adalah dampak dari abainya negara terhadap pendidikan agama, serta penerapan ekonomi kapitalistik yang memaksa para ibu untuk bekerja juga. Masyarakat yang rusakpun akibat dari kurangnya kontrol negara. Negara memberi kebebasan kepada masyarakat, bahkan anak-anak untuk mengakses tontonan pornografi-pornoaksi dari berbagai media massa, terutama internet. Dari sisi penerapan hukum, negara kita memiliki hukum yang lemah dalam mengentaskan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Dengan demikian, negaralah satu-satunya pihak yang dapat menyelasaikan masalah kekerasan seksual terhadap anak secara tuntas.
Solusi Sistemis Hanya dari Islam
Islam merupakan satu-satunya agama yang memiliki mekanisme jitu dalam mencegah dan memberantas kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Islam menangani masalah ini dengan penerapan aturan islam kaffah melalui tiga pilar pelaksana aturan islam, yakni negara, masyarakat, dan individu/keluarga. Negara memiliki kewajiban sebagai pengayom, pelindung dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya termasuk anak. Secara sistem, hanya dengan penerapan islam secara sempurna yang mampu menjamin penghapusan tindak kekerasan seksual terhadap anak.
Negara berupaya untuk memberi perlindungan kepada anak agar tidak menjadi pelaku ataupun korban kekerasan seksual. Perlindungan tersebut merupakan perlindungan yang sistematis dalam semua sektor. Mulai dari sektor ekonomi yang mekanisme pengaturannya dengan menjamin nafkah bagi setiap warga negara. Dalam islam, perempuan dibebaskan dari kewajiban mencari nafkah, sehingga para ibu bisa fokus dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak yang islami. Negara juga wajib menjaga agar suasana takwa senantiasa hidup di masyarakat. Negara turut serta melakukan pembinaan agama baik di sekolah, masjid ataupun di lingkungan perumahan. Orang tua juga harus memiliki pemahaman tentang hukum-hukum fikih tentang anak sehingga mereka bisa mengajarkan hukum islam kepada anak-anaknya sejak masih kecil, seperti menutup aurat, memisahkan kamar tidur anak, dan lain-lain.
Negara dengan sistem islam akan mencetak individu dan masyarakat yang bertakwa, sehingga mereka dapat bertindak sebagai kontrol sosial dalam mencegah individu ataupun masyarakat melakukan pelanggaran hukum syarak. Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amal ma’ruf nahi munkar, yaitu saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan.
Dalam pengaturan media massa, negara juga mengaturnya. Berita dan informasi di media akan dibatasi pada konten yang membina ketaqwaan dan menumbuhkan ketaatan. Apapun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syariat akan dilarang keras. Dalam aspek pergaulan, negara akan menerapkan sistem pergaulan islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat. Sistem pergaulan islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Islam juga membatasi interaksi laki-laki dan perempuan, kecuali di sektor yang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan/pasar), dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan lain-lain).
Dalam memberikan sanksi, negara akan menghukum tegas para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, mendapat 100 kali cambuk (jika belum menikah) dan hukuman rajam (jika sudah menikah). Adapun perkosaan atau rudapaksa (ightisabh) bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri, yaitu sanksi yang dapat membuat jera bagi para pelaku dan orang-orang yang semisalnya. Seluruh mekanisme ini, benar-benar akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallâhu a’alam bish-shawâb.
Views: 7
Comment here