Menjelang hari raya Idul Adha tahun ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten/ Kota Bandung menegaskan bahwa, berapa pun ketinggian hilal, asalkan sudah plus di atas ufuk, maka malam tersebut selepas ijtima’, sudah dihitung awal bulan baru. MUI pun mengatakan bahwa perbedaan hari raya Idul Adha adalah sebuah keniscayaan tidak usah menjadi perselisihan apalagi menjadi konflik perbedaan. Semestinya menjadi kekayaan pengetahuan dan dapat memupuk ukhuwah kebersamaan.
Sementara, sebagian besar ulama sepakat bahwa, dalil terkuat dalam penetapan Idul Adha adalah dengan rukyatul hilal (pemantauan hilal) secara global (‘alamiyyah). Yaitu kriteria penentuan yang menganut prinsip jika satu negeri muslim melihat hilal maka berlaku untuk kaum muslim seluruh dunia secara langsung.
Sebagaimana salah satu Hadits Nabi Saw. “Apabila kamu melihat hilal awal Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ada yang bermaksud untuk menyembelih qurban maka tahanlah (untuk tidak memotong) bulu dan kuku – kukunya. (HR Muslim dan Ummu Salamah).
Jika merujuk pada hadits tersebut di atas, maka jelas bahwa penentuan Idul Adha harus berdasarkan pada hilal secara umum yang syar’i sesuai dengan syari’at Islam.
Pengertian hilal itu sendiri adalah bulan sabit muda sangat tipis yang bisa dilihat pertama kali setelah fase bulan baru. Sebab, hilal digunakan sebagai acuan untuk permulaan dalam kalender Islam.
Adapun kriteria bulan sabit muda sebagai hilal jika sudah berada dalam ketinggian lebih dari tiga derajat saat matahari terbenam. Karena bentuknya yang sangat tipis dan rentang waktunya sangat cepat maka dibutuhkan alat khusus seperti teleskop untuk mengamatinya.
Sementara di Indonesia, perbedaan penentuan hari raya Idul Adha terjadi sebab dalam pelaksanaan penentuan hilal dilakukan hanya terbatas pada wilayah Indonesia itu sendiri. Padahal, umat Muslim itu tersebar di seluruh penjuru dunia. Maka yang harus dilakukan itu adalah rukyat hilal secara global.
Pada faktanya, perbedaan penetapan di Indonesia yang mayoritas Muslim itu sering kali terjadi dan seakan sudah menjadi hal yang wajar. Umat muslim pada umumnya akan saling mempertahankan keputusan masing-masing dari ormas Islam yang ada bahkan dalam sidang isbat pun sebagai keputusan akhir yang harus ditetapkan oleh pemerintah. Tidak pernah adanya ketegasan dan tidak bisa menyatukan perbedaan pendapat tersebut.
Belum lagi tidak adanya kekuatan dari negara untuk memberikan keyakinan yang ada hanya berdasarkan pada toleransi berpendapat dengan membiarkan dan membebaskan setiap organisasi Islam dalam menentukan Idul Adha. Maka, bisa di pastikan dalam pelaksanaan Hari Raya Idul Adha tahun 2023 ini akan terjadi perbedaan lagi. Sehingga umat Muslim pun akan dibuat bingung kembali seperti apa yang telah terjadi di tahun- tahun sebelumnya.
Perbedaan ini pun dikarenakan saat ini umat Islam berada dalam kondisi terpecah belah, dipisahkan oleh sebuah kata hak “kebebasan” yang dinaungi di bawah sistem demokrasi sekuler. Maka jelas perbedaan itu akan nampak dalam segala hal tak terkecuali dalam penentuan Idul Adha yang notabennya sebagai salah satu hari raya besar umat Muslim.
Lain halnya dengan sistem Islam kaffah yang berlandaskan syari’at berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist tentu dalam penetapan Idul Adha akan merujuk kepada rukyatul hilal secara global. Tidak terbatas oleh wilayah atau negara sehingga meski di Indonesia belum terlihat hilal dan di belahan bumi lainnya sudah terlihat maka umat muslim di seluruh dunia wajib melaksanakannya.
Karena apa yang di contohkan dalam kepemimpinan Rasulullah SAW yaitu negara khilafah bahwa dengan adanya satu negara dan satu pemimpin maka perpecahan dapat dihindari. Alhasil dalam penetapan Idul Adha dapat dilaksanakan secara bersamaan oleh umat muslim di seluruh penjuru Dunia.
Santymey
Views: 42
Comment here