wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Bulan Juni disebut sebagai Pride Month atau ‘bulan suci’ nya Kaum Pelangi. Sejarahnya bermula dari kerusuhan antar polisi dan kaum gay di sebuah bar khusus gay di Stonewall inn New York pada 28 Juni 1969. Kejadian ini kemudian menjadi momentum bangkitnya kaum pelangi memperjuangkan hak-hak mereka.
Setengah abad berlalu, kini gerakan yang dulunya bergerak secara sembunyi-sembunyi ini dirayakan di 60 negara setiap tahun. Tak terkecuali di Indonesia. Meskipun, ‘dakwah’ kaum pelangi di Indonesia masih terkesan samar dan halus, aksi turun ke jalan oleh para pendukung pelangi ini juga rutin dilaksanakan.
Bagaimanakah sepak terjang mereka di negri mayoritas muslim ini? Temuan terbaru di antaranya adalah banyaknya grup gay di Facebook dan Whatsapp beranggotakan anak-anak sekolah usia SD – SMA di berbagai daerah seperti Garut dan Pekanbaru.
Seolah tak cukup menyerang anak-anak sekolah, orangtua juga perlu khawatir anak-anak balita terpapar konten ‘edukasi’ kaum pelangi. Salah satu media yang cukup santer disisipi konten pelangi adalah YouTube Kids. Beberapa tayangan ‘hanya’ menyampaikan pesan subliminal, sementara beberapa yang lain menyampaikan edukasi secara gamblang. Seperti edukasi apa itu aseksual, lesbian, non binary, consent dan sebagainya.
Tentu hal ini meresahkan para orangtua. Beberapa Pakar Parenting Muslim menganalisis, bahwa anak-anak yang ‘masuk’ ke dalam lingkungan pelangi disebabkan kurangnya pendidikan akidah oleh orangtua, kurangnya kasih sayang, dan ketidakhadiran sosok ayah atau ibu. Dapat disimpulkan, solusi untuk menjaga anak dari paparan kaum pelangi adalah pengenalan aqidah dan ketahanan keluarga.
Hanya saja, solusi ketahanan keluarga di sini agaknya bukan solusi jangka panjang. Karena di negara-negara Barat, seperti Swedia, orangtua mulai banyak mengenalkan konsep gender creative parenting atau gender neutral parenting. Di mana orangtua membesarkan anak tanpa melihat apa gender mereka. Mereka bebas berpakaian, bermain, bergaya tanpa terikat gender. Bahkan, para orangtua ini menolak memberitahu gender anak kepada orang lain. Tujuan konsep parenting ini agar anak nantinya bisa bebas menentukan identitas gendernya, terbebas dari stereotip gender, dan menghargai keragaman gender di masyarakat.
Dapat dipahami, solusi ketahanan keluarga hanya bermanfaat, selama kedua orangtua memahami syariat. Itupun masih sangat lemah, mengingat benteng pertahanan ini hanya berasal dari keluarga. Padahal, pintu-pintu lain masih terbuka dan siap menerkam anak-anak kita. Seperti media sosial, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Sebaliknya, jika pemahaman orangtua cenderung bebas, maka habislah sudah pertahanan anak dari kebebasan seksual ini. Dan hal ini tinggal menunggu waktu, mengingat masifnya serangan pemikiran oleh kaum liberalis.
Apalagi tidak ada perlindungan terhadap kebebasan berpikir ini selain upaya-upaya individual oleh kelompok masyarakat yg peduli.
Perlu diingat, gerakan kaum pelangi ini adalah gerakan yang tidak hanya masif, tapi juga sistemik. Solusi ketahanan keluarga yang bersifat individual tentu bukan tandingannya. Gerakan yang bersifat individual memang diperlukan, tapi harus ditujukan untuk membangun sebuah sistem yang kuat membentengi berbagai pemikiran yang merusak. Sistem ini harus berdiri atas tiga pilar, yakni pilar individu, masyarakat, dan negara. Pilar individu menjaga dengan akidah, Pilar masyarakat menjaga dengan dakwah, dan pilar negara menjaga dengan kebijakan.
Pada akhirnya, kita akan tertatih-tatih menjaga anak-anak kita jika berjuang seorang diri. Padahal Islam memiliki seperangkat aturan yang memberikan solusi tidak hanya dalam lingkup individu, tetapi juga lingkup masyarakat dan negara.
Arifa Hilma
Views: 66
Comment here