Oleh : Putri Ayu Wulandari (Pemerhati Umat)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu (kompas.com, 8/2023).
Anis menjelaskan, modus ini menyasar anak-anak tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan mahasiswa yang memiliki program magang.
Sungguh pilu nasib yang dialami 11 mahasiswa asal Sumatera Barat ini. Pasalnya, setelah mereka dikirim oleh Politeknik Pertanian untuk magang di salah satu Perusahaan di Jepang justru bertolak belakang dengan apa yang mereka harapkan. Alih-alih kedatangan mereka untuk magang di sebuah perusahaan di Jepang mendapatkan pengalaman berharga dalam perusahaan, namun justru mereka dijadikan buruh di perusahaan tersebut. Ini tergambar dari, jam kerja yang tidak sesuai yakni bekerja selama 14 jam perhari, dan di lakukan selama 7 hari berturut-turut alias tanpa libur, sedangkan waktu istirahat untuk makan hanya sekitar 10-15menit saja, bahkan mereka juga tidak diberikan kesempatan untuk beribadah.
Tak hanya itu, upah yang mereka peroleh pun sangat lah kecil, yakni sebesar 50.000 Yen atau sekitar Rp 5 juta per bulan. Upah tersebut belum termasuk, dana kontribusi ke kampus yang harus mereka bayar yakni sebesar 17.500 Yen atau Rp 2 juta per bulan.
Kasus seperti ini bukanlah kali pertama terjadi di dunia pendidikan. Tindak kriminalitas lainnya juga sering terjadi seperti eksploitasi terhadap anak-anak, perundungan terhadap anak-anak dan lain sebagainya. Bahkan, instansi pendidikan di beberapa daerah pun terjadi kasus serupa.
Mengapa kasus TPPO bisa terjadi terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa?
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, yakni karena lemahnya sistem pendidikan di Indonesia, yang mana tiap-tiap institusi pendidikan (universitas) dituntut untuk dapat menyiapkan sumber tenaga kerja manusia untuk dapat bersaing dlm memperoleh pekerjaan.
Kedua, yakni kurangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga tidak sedikit masyarakat kita terutama para mahasiswa dan kepala rumah tangga tergiur untuk bekerja di luar negeri demi membuktikan eksistensi diri dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan iming-iming upah yang besar.
Ketiga, yakni kurangnya pengawasan dari negara bagi para tenaga kerja migran sehingga membuka jalur ekploitasi dari beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan.
Kondisi seperti ini akan selalu terjadi apabila negara menganut sistem demokrasi kapitalisme, sebab dalam sistem ini hak-hak rakyat seolah diabaikan terlebih dalam pengurusan pelajar dan mahasiswa. Namun hal ini, tentu akan berbeda dengan diterapkannya sistem pendidikan dalam Islam, yang mana tiap-tiap institusi pendidikan akan menyiapkan sistem pendidikan yang baik, sehingga mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu generasi berakhlak mulia, juga memperoleh ilmu yang dapat mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin. Sehingga nantinya dengan ilmu yang diperoleh itu akan dapat mereka gunakan untuk mewujudkan masyarakat yang Islami, dan dapat menyebarkan Islam keluar negeri.
Selain itu dalam sistem ekonomi dalam Islam negara telah menyiapkan anggaran untuk pendidikan secara gratis yang berasal dari baitulmal, sehingga setiap kalangan mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, dengan demikian akan lahirlah generasi yang kreatif dan mahir dalam bekerja.
Di dalam sistem Islam, negara juga wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, dan bukan hanya itu tetapi juga kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, juga keamanan pada setiap umat, sehingga keselamatan dan kesejahteraan para pekerja dapat terjamin. Negara juga wajib menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya sehingga masyarakat tidak bersusah-payah untuk mencari pekerjaan di luar negeri, selain itu pengelolaan sumber daya alam pun di kelola secara mandiri sehingga tidak membutuhkan campur tangan asing dalam mengelola sumber daya alam. Wallahu A’alam Bissawab
Views: 15
Comment here