Opini

Korupsi Penyebabnya Sistemik, Butuh Sistem Ciamik

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Sriyanti
(Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah) 

Wacanaedukasi.com, OPINI– Bupati Bandung Dadang Supriyatna dilaporkan oleh Aktivis Pemuda Bandung Raya ke KPK, terkait dengan kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam proses revitalisasi pasar Banjaran. Kang DS (nama panggilan Dadang Supriyatna) pun membenarkan hal itu, dan menilai bahwa tindakan tersebut merupakan serangan terhadap dirinya menjelang pemilu 2024.

Ia juga memaklumi, di tahun panas seperti sekarang, aktivitas lapor melapor kerap terjadi. Ia juga mengatakan, permasalahan tersebut muncul ketika Pemerintah Kabupaten Bandung berencana merevitalisasi pasar Banjaran. Padahal itu sudah merupakan program dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang sudah disetujui oleh wakil rakyat di DPRD. Jadi proyek ini bukanlah keinginan untuk kepentingan pribadi tegasnya. (cnnindonesia.com 07/07/2023)

Kasus di atas hanyalah salah satu di antara ribuan kasus pelaporan para pejabat terkait dugaan korupsi. Maraknya permasalahan ini, sudah menjadi fenomena umum yang membuat masyarakat jengah. Berbagai lini dalam tatanan pemerintahan, sepertinya tak luput dari polemik tersebut. Timbul pertanyaan besar, mengapa bisa demikian padahal untuk menangani masalah korupsi, pemerintah mempunyai sebuah badan khusus?

Tidak dimungkiri, paradigma kapitalis sekuler yang diterapkan saat ini, sangatlah berpotensi untuk menumbuhkan suburkan kasus rasuah. Sistem demokrasi yang lahir dari paham tersebut, telah memberi banyak celah pada kejahatan korupsi. Bagaimana tidak, dalam sistem demokrasi, undang-undang bisa dibuat dan direvisi sekehendak hati sesuai kebutuhan. Maka tidak heran jika gratifikasi dan korupsi demikian menggurita.

Selain itu, demokrasi juga telah menjadikan penguasa dan wakil rakyat terbelit dalam deal-deal politik dengan para pengusaha oligarki sebagai bentuk balas budi pasca pilpres atau pilkada. Dalam sistem ini, suksesnya para kandidat di kursi kekuasaan dan parlemen tidak ditinjau dari segi kapasitas dan kapabilitasnya. Tetapi dilihat dari seberapa besar dukungan masyarakat dan citra yang dimunculkan saat kampanye politik. Dalam proses tersebut, politik uang dan kecurangan kerap terjadi hanya karena ingin mendapat kursi kekuasaan.

Banyak sekali fakta yang menjadi bukti atas kejadian demikian, namun hal itu seolah menjadi perbuatan yang biasa dan sebuah kewajaran. Begitu juga dengan sistem hukumnya yang lemah dan bisa dibeli membuat para koruptor tidak jera. Toh ketika mereka terciduk dan terbukti bersalah, mereka masih bisa mendapatkan fasilitas mewah termasuk remisi dalam tahanan. Hal ini karena sistem demokrasi masih saja memberikan kesempatan bagi orang-orang yang sudah terkena delik korupsi, yakni membiarkan mereka melenggang dan aktif kembali di kancah perpolitikan. Maka, berharap korupsi dapat sirna di negeri ini hanya akan menjadi harapan semu, jika sistemnya masih sama. Oleh karena itu praktik korupsi dan sejumlah kecurangan lainnya, hanya akan bisa ditumpas dengan solusi yang sistemik juga. Yaitu dengan mencampakkan kapitalisme kemudian menggantinya dengan sistem Islam.

Dalam sistem pemerintahan Islam, landasan setiap kebajakan adalah akidah Islam. Darinya terpancar seperangkat aturan yang menyeluruh dan sempurna termasuk dalam mengatur kehidupan manusia dari bangun tidur hingga bangun negara, juga berbagai aturan atas setiap masalah seperti korupsi. Di sistem ini tidak akan dijumpai politik oligarki ataupun politik balas budi yang didominasi para kapital dan kroninya, melainkan politik pengaturan urusan publik berdasarkan syariat. Untuk itu, Islam memiliki mekanisme penyelesaian yang solutif, di antaranya dengan membangun keimanan dan ketakwaan di tengah umat, termasuk para pejabat dan pegawai negara hingga standar perbuatan mereka adalah halal dan haram.

Para pejabat dalam sistem pemerintahan Islam haram untuk melakukan suap. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas jasa untuk mempermudah atau memperoleh sesuatu yang berkaitan dengan suatu kepentingan. Sebagaimana pada masa Rasulullah, ada orang yahudi yang hendak melakukan praktik suap pada Abdulllah bin Rawahah berkaitan dengan pembagian tanah Khaibar. Yahudi tersebut menawarkan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Dengan penuh keimanan tawaran tersebut ditolak keras seraya berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum muslim tidak memakan suap.” Itulah gambaran keimanan seorang pejabat di masa Islam diterapkan.

Selain itu, Islam memiliki sistem penggajian yang layak, sehingga tidak akan menjadikan para pegawai berlaku korup. Kemudian membentuk badan untuk mengawasi dan mengaudit kekayaan para pejabat. Selanjutnya, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas bagi setiap tindak kejahatan termasuk korupsi, hingga bisa memberikan efek jera. Jenis hukumannya tergantung pada kebijakan negara yang disebut dengan takzir.  Sanksi yang diberikan bisa berupa pengasingan, penjara dan hukuman mati. Itu semua disesuaikan dengan tindak kejahatan yang dilakukan.

Dengan demikian, agar permasalahan korupsi dapat diselesaikan dengan tuntas hingga ke akarnya, hanya bisa terjadi ketika negeri ini mencampakkan sistem demokrasi kapitalis. Kemudian mengambil Islam dan menerapkannya dalam sebuah sistem pemerintahan. Penerapan inilah yang akan mampu menjadi pencegah terjadinya kejahatan tersebut dan berbagai macam kejahatan lainnya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here