Opini

HAN : Momentum Refleksi Bukan Sekadar Seremoni

blank
Bagikan di media sosialmu

Negara tidak secara total dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok hingga ke semua lapisan masyarakat, melainkan hanya memastikan dan mengatur ketersediaan. Terkait apakah masyarakat kemudian mampu untuk membeli atau tidak, bukan menjadi urusan negara.

Oleh : Pramitha Putri, S.Pd.

wacana-edukasi.com, OPINI– Tepat pada tanggal 23 Juli lalu, 39 tahun sudah Hari Anak Nasional (HAN) dirayakan. Semarak perayaannya pun dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia, dari level Desa hingga Nasional tentu saja. Peringatan HAN di setiap daerah biasanya mengangkat satu tema penting menyangkut isu anak, baik lokal maupun nasional yang hendak dijadikan fokus dan genting untuk dibahas, dan kali ini tema besar HAN adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Adapun tujuan umum dari tema yang diusung ini adalah sebagai bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak sebagai generasi penerus bangsa.

Faktanya, di balik semarak perayaan dan sukacita HAN tahun ini kondisi anak memang memprihatinkan. Stunting, bullying, narkoba, tawuran, kekerasan seksual, pergaulan bebas hingga berbagai bentuk kriminalitas sangat dekat bahkan mengancam anak-anak Indonesia saat ini. Untuk kasus stunting, menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021, diketahui sebanyak 1 dari 4 anak Indonesia mengalami stunting. Dari angka ini, dapat disimpulkan bahwa kurang lebih terdapat 5 juta anak Indonesia yang mengalami stunting pada tahun 2021 (www.its.ac.id/16/10/2023).

Selain stunting, anak-anak juga tidak terjamin keamanannya dari bullying atau kekerasan baik verbal maupun fisik, dari teman sebaya di sekolah, lingkungan, hingga di lingkungan tempat tinggal. Pada 13 Februari lalu KPAI merilis data terkait peningkatan angka kasus bullying yakni sebesar 1.138 kasus. Selain itu KPAI juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 hingga 2019, terdapat 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak (www.hukumonline.com/14/6/2023).

Belum usai kasus bullying menimpa anak, narkoba juga membayangi keseharian mereka. BNN selaku focal point di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN), mengantongi angka penyalahgunaan Narkoba di kalangan pelajar di tahun 2018 (dari 13 ibukota provinsi di Indonesia ) mencapai angka 2,29 juta orang. Dalam 5 tahun terakhir, dengan semakin pesatnya arus informasi, bisa dipastikan angka tersebut terus mengalami peningkatan (bnn.go.id/12/8/2019).

Beranjak ke persoalan selanjutnya, kasus tawuran serta degradasi moral anak termasuk para pelajar juga semakin meresahkan. Keterlibatan anak dalam tawuran hingga aksi ugal-ugalan dan ekstrim geng motor, seharusnya juga menjadi perhatian bersama. Kata polos dan lugu kini tak lagi lekat dengan anak. Tidak terkecuali ketika berbicara menhenai pergaulan bebas dan angka kekerasan seksual yang menimpa anak. Bahkan tidsk berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini tidak ada yang bisa menjamin keamanan serta keselamatan anak. Hal ini tampak dari semakin banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak, terutama perempuan.

Menurut catatan Komnas Perempuan, dalam 15 tahun terakhir setiap dua jam sekali satu orang perempuan mengalami kasus perkosaan (www.kompas.id/8/3/2018). Di Kalimantan Barat sendiri, kasus pelecehan seksual yang terjadi mengalami peningkatan. Disebutkan oleh ketua KPAID Provinsi Kalimantan Barat bahwa dalam kurun satu bulan saja, terjadi setidaknya 9 kasus (kalbar.antaranews.com/30/4/2019).

Pelaku dan korban dalam kasus pelecehan tersebut juga beragam. Pelaku mulai dari orang asing hingga orang yang paling dekat dengan korban, seperti ayah atau keluarga korban. Sedangkan korban, seluruhnya adalah perempuan, mulai dari dewasa hingga yang masih terkategori balita. Sungguh fakta yang begitu memprihatinkan dan manyayat hati. Bagaimana tidak? Jika seorang ayah yang tugas utamanya adalah menjadi perisai dan pelindung keluarga saja dapat menjadi ancaman utama bagi anak, apalagi kemudian yang bisa kita harapkan? Padahal dampak dari permasalahan ini begitu panjang.

Trauma berkepanjangan, bahkan ketergantungan seks bagi korban yang telah seringkali mendapatkan perlakuan bejad ini sangat mungkin terjadi. Belum lagi persoalan-persoalan lain yang muncul, seperti nasib pendidikan korban maupun pelaku yang masih berstatus pelajar, nasib perekonomian keluarga ketika sang ayah yang menjadi tersangka telah meringkuk di sel tahanan, dan sebagainya.

Hingga saat ini, berbagai solusi untuk mengentaskan berbagai permasalahan tersebut telah banyak digulirkan. Namun tampaknya belum berhasil melindungi anak dari berbagai bentuk ancaman fisik maupun psikis. Melihat semakin banyak dan tingginya angka dari setiap kasus yang terjadi, sejatinya mengindikasikan adanya permasalahan sistemik yang berarti kasus-kasus tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh faktor tunggal adanya individu-individu yang kriminal, namun juga menyangkut tata nilai dan aturan yang berjalan di negara kita ini.

Agar bisa menemukan solusi yang tepat, diperlukan akurasi dalam menetapkan akar masalah dari setiap persoalan tersebut. Sebagai contoh untuk kasus kekerasan seksual dan pergaulan bebas saja, harus dipahami bahwa sistem pergaulan saat ini menganut kebebasan ala barat (liberalisme), yang perlahan tapi pasti telah diadopsi oleh masyarakat tidak terkecuali anak, dan menggeser nilai-nilai yang sebelumnya dijunjung tinggi. Rasa malu sebagai ciri khas ketimuran telah jarang kita temui. Perintah agama juga kian ditinggalkan oleh masyarakat.

Bahkan ada beberapa yang berpendapat bahwa agama tidak seharusnya mengurusi urusan kamar dan aurat. Padahal sejatinya liberalisme itu sendiri adalah salah satu cabang dari ideologi kapitalisme yang beraqidahkan sekulerisme yang bermakna pemisahan agama dari kehidupan. Ideologi kapitalisme inilah yang disebarkan oleh barat. Akibatnya, gaya hidup generasi muda saat ini pun semakin lekat dengan pergaulan bebas khas barat. Film dan tontonan tentang pacaran dan percintaan khas muda-mudi barat juga lebih banyak peminat. Hal ini diperparah dengan mudahnya masyarakat dalam mengakses media yang sarat akan konten-konten pornografi, serta maraknya penggunaan narkoba dan miras. Alhasil, tumbuhlah generasi yang tidak kenal batasan.

Begitu pula dengan kasus stunting. Akar masalah stunting adalah ketidakmampuan orang tua dalam memberikan asupan bernutrisi dan bernilai gizi cukup bagi anaknya dikarenakan kemiskinan yang menjerat dan harga berbagai kebutuhan pokok yang mencekik. Ini diakibatkan oleh penerapan ekonomi kapitalisme dan politik pengurusan masyarakat yang juga didasarkan pada paham kapitalisme. Penerapan politik ini akhirnya menempatkan negara sebatas sebagai regulator atau pembuat aturan yang mengatur hubungan masyarakat dengan penyedia barang dan jasa dalam hal ini pemilik modal.

Negara tidak secara total dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok hingga ke semua lapisan masyarakat, melainkan hanya memastikan dan mengatur ketersediaan. Terkait apakah masyarakat kemudian mampu untuk membeli atau tidak, bukan menjadi urusan negara. Lantas bagaimana anak sebagai generasi penerus dapat tumbuh dan berkembang dengan maksimal dalam kondisi seperti ini? Dapat disimpulkan bahwa negara dengan sistem kapitalisme sekulernya telah gagal dalam melindungi anak.

Ibarat langit dan bumi, Islam memandang anak sebagai sosok yang harus disayangi dan dilindungi. Rasulullah telah mencontohkan betapa beliau sangat menyayangi dan menjaga anak-anak. Lebih dari itu, syariat Islam telah delapan tujuan luhur yang dilekatkan pada berbagai hukumnya dalam rangka menjaga kelestarian masyarakat, yaitu pemeliharaan keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama, ketenteraman/keamanan, dan negara.

Dalam rangka menjaga kedelapan hal ini, syariat sudah memiliki seperangkat aturan dan mekanisme penerapannya yang sempurna. Penerapan seluruh hukum tersebut akan menjamin terciptanya stabilitas ekonomi yang akan berkontribusi positif terhadap kemampuan finansial keluarga. Selain itu, kebutuhan pokok masyarakat termasuk anak akan terjamin dan kondisi masyarakat yang bertaqwa akan menjadi lingkungan yang kondusif bagi rumbuh kembang anak. Hanya dengan inilah seluruh permasalahan anak dapat terselesaikan secara tuntas dan kemajuan sebuah negeri bisa diwujudkan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 36

Comment here