Opini

Permendikbudristek PPKSP, Solusi Parsial Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Masalah Pendidikan)

wacana-edukasi.com, OPINI– Pemerintah terus berusaha menyolusi darurat berbagai kekerasan di lingkungan pendidikan. Nyaris setiap tahun memperbarui regulasi guna menghasilkan produk aturan yang diharapkan mampu menyelesaikan kasus tersebut. Terbaru, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim Meluncurkan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekekrasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbud tersebut sebagai Merdeka Belajar Episode ke-25 dalam rangka menyempurnakan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Merdeka Belajar ini sebagai upaya dalam mendukung pendidikan tanpa kekerasan, sehingga dapat tercipta lingkungan belajar yang inklusif, dan aman bagi seluruh warga di satuan Pendidikan (kompas.com, 8/8/2023).

Salah satu alasan terbitnya regulasi di atas karena maraknya kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan. Berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. Selanjutnya, 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan. Merujuk pada data aduan yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan bahwa kategori tertinggi adalah anak sebagai korban kejahatan seksual, yakni kekerasan fisik dan/atau psikis, serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133 (cnnindonesia.com, 8/8/2023).

Sejauh ini, pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, seperti kekerasan seksual sebagaimana yang disebutkan, kekerasan fisik, psikis, bullying, diskriminasi, toleransi, serta kebijakan yang berpotensi mengandung kekerasan seksual. Namun, sampai saat ini pula upaya tersebut masih menemui jalan buntu dalam menyolusi kasus yang ada, karena realitanya kasus serupa terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa solusi yang diberikan belum menyentuh pokok persoalan. Lihat saja ketika kasus tersebut terjadi, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku sangat ringan. Kurungan penjara akan berlaku jika sang korban melapor. Jika tidak, maka sekadar pemecatan atau pun mutasi apabila pelakunya adalah oknum pendidik di sekolah. Tentu saja sanksi ‘enteng’ ini tidak akan membuat kapok, dan boleh jadi pelaku mengulangi perbuatan serupa di tempatnya yang baru, dengan korban anak yang lain.

Di satu sisi pemerintah sangat ingin menyelesaikan kasus kekerasan yang membelit dunia pendidikan negeri ini, namun di sisi lain tawaran solusi dari kebijakannya cenderung parsial, bahkan kesannya asal-asalan. Misalnya Permen kontroversi PPKS 30/2021 yang dinilai dapat menuntaskan kekerasan seksual di kampus, buktinya dengan konsep sexual consent atau basis persetujuan justru berpeluang menyuburkan seks bebas atau pun penyimpangan seksual. Bagaimana tidak, akan terkategori kekerasan seksual apabila dilakukan tanpa persetujuan korban, sementara atas dasar suka sama suka dalam arti sama-sama ridho, hukum tidak dapat menjerat pelaku. Kesimpulannya di balik tabir Permen ini tetap membuka jalan terjadinya kasus seksual. Begitu pula dengan Permendikbud Ristek 46/2023 yang baru, selama standarnya sama, selama itu pula akan gagal memberi solusi.

Menilik secara mendalam karut-marut persoalan kekerasan seksual di Indonesia, sejatinya karena kesalahan sudut pandang pemerintah dalam melihat fakta yang terjadi. Mereka sekadar berfokus pada hasil perbuatan menyimpang manusianya, tanpa mendalami secara objektif mengapa perbuatan itu bisa terjadi. Akibatnya, hanya terus-menerus menambah berbagai kebijakan yang telah ada, menggaungkan sosialisasi, namun pada saat yang bersamaan membuka celah lebar-lebar yang mendukung terjadinya penyimpangan seksual. Lihat saja kebijakan tentang kekerasan seksual di satuan pendidikan yang mengecualikan “tanpa paksaan”, bukankah kasus seksual yang mewabah hari ini dilakukan oleh orang-orang yang sama-sama ingin melakukannya? Tidak terkecuali berawal dari aktivitas pacaran yang dianggap lumrah oleh masyarakat, padahal Allah mengharamkannya.

Sungguh tidak asing jika beragam bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan makin marak. Sistem demokrasi yang liberal memberi ruang kepada manusia membuat hukum untuk mengatur manusia lainnya. Di dalamnya membuka nilai kebebasan kepada siapa pun untuk berbuat sesukanya, tanpa aturan baku yang mengikatnya. Negara yang mengadopsi sistem ini menggunakan mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai payung yang diberikan kepada individu masyarakat untuk bebas bertingkah laku, sehingga para penjahat bebas dan nyaris legal dalam melakukan aksinya. Sanksi yang diberikan tidak mampu memberikan efek jera karena menggunakan tameng HAM. Alhasil, gonta-ganti regulasi hanya berakhir pada kesia-siaan.

Tidak ada pilihan lain untuk memberikan solusi bagi tindak kekerasan, kecuali negara melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh melalui perubahan sistemik, mulai dari individu, masyarakat, hingga level negara. Meninggalkan sistem demokrasi-liberal yang terbukti menjadi biang rusaknya tatanan kehidupan, gagal mewujudkan rasa aman, dan gagal menjaga kehormatan rakyatnya.

Islam hadir sebagai sistem kehidupan untuk menjadi problem solver bagi seluruh persoalan hidup manusia. Sejarah mencatat, sepanjang kepemimpinan Islam yang berabad-abad lamanya, negara tidak pernah menerapkan aturan apa pun kecuali bersumber dari hukum-hukum Allah SWT. Sehingga, saat itu mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan hidup manusia. Serupa dengan masa kini, bahwa kerusakan yang ada hanya akan tuntas dengan menerapkan Islam yang di dalamnya terdapat aturan yang rinci.

Sebagai langkah preventif, maka Islam menerapkan sistem pergaulan yang Islami, di mana mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan di ranah publik, bahkan di ranah privat berlandaskan akidah Islam. Karena kita tidak dapat menafikan bahwa salah satu penyebab pelecehan seksual di sekolah maupun di tempat-tempat lainnya adalah aktivitas campur-baur, atau interaksi tanpa batas. Sistem Islam juga akan menutup semua celah yang memungkinkan adanya aktivitas mengumbar aurat dan merangsang seksualitas di tempat umum. Sebab biasanya kejahatan seksual dipengaruhi oleh naluri seksual yang timbul karena adanya rangsangan dari luar.

Langkah kuratif dalam Islam, berupa penegakkan hukum oleh negara. Ketika seseorang telah melanggar hukum Allah, seperti berzina (dengan atau pun tanpa paksaan), menyakiti orang lain, maka berlaku sistem sanksi yang sangat tegas kepada pelaku. Bagi pelaku kejahatan seksual yang belum menikah berlaku hukum jilid, dan berlaku hukum rajam bagi yang sudah menikah. Sanksi yang tegas ini menjadi peringatan bagi calon pelaku lainnya untuk tidak melakukan hal serupa. Juga menjadi penebus dosa pelaku yang telah dihukum pada hari pertanggungjawaban kelak.

Terbukti dengan konsistennya penegakan hukum dalam Islam, mampu melahirkan keamanan dan keadilan di tengah masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan. Kita meyakini bahwa ketika masyarakat negeri ini kembali kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, dengan negara senantiasa merujuk pada syariat Islam dalam membuat setiap kebijakan, maka tindak kekerasan yang terus-menerus terjadi dapat segera dituntaskan. Wallahu a’lam bishowwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here