Oleh: Ummu Salman
(Pegiat Literasi)
wacana-edukasi. Com, OPINI–Kebakaran lahan kembali terjadi. Kebakaran tersebut berpotensi membahayakan lahan dan perumahan warga, juga menimbulkan kabut asap sehingga sempat mengganggu mobilitas barang dan masyarakat, serta mengancam kesehatan rakyat.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Siak, Propinsi Riau, memasuki bulan Agustus 2023, jumlah titik kebakaran hutan dan lahan mencapai 39,24 Hektare. Kewaspadaan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Siak ditingkatkan sejak memasuki cuaca panas ekstrim bulan Maret lalu.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menanggapi kondisi cuaca ekstrem tersebut, telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi dan mencegah karhutla di beberapa wilayah.
Menanggapi hal itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Siak, telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi dan mencegah karhutla di beberapa wilayah. Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Siak Kaharuddin S.Sos,MSi mengatakan, bahwa tahun ini musim kekeringan yang tidak lembab berbeda dengan tahun sebelumnya. Sehingga bulan Agustus 2023 ini jumlah Karhutla yang terjadi di wilayah Kabupaten Siak Sudah mencapai 39,24 Hektare. Dengan kejadian itu, sehingga mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencapai 24,31 hektare dengan 31 titik api.
Terhitung dari Januari hingga 2 Agustus 2023, dari jumlah 39,24 Hektare luas lahan yang mengalami kebakaran, lokasi terluas terdapat di wilayah Kecamatan Mempura yaitu 11,395 hektare. (riaumandiri.co, 20/8/2023)
Namun perlu diketahui bahwa karhutla tidak serta merta terjadi karena faktor alam. Bahkan bisa dikatakan karhutla jarang terjadi karena faktor alam. Seperti yang diungkapkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, bahwa faktor alam jarang menyebabkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurut lembaga ini, penyebab kebakaran hutan yang kerap terjadi akibat faktor manusia.
Api besar yang mengakibatkan karhutla adalah kesalahan manusia, kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki Paendong. Ia juga menyatakan bahwa “Yang paling sering memungkinkan adalah faktor aktivitas manusia. Misalnya meninggalkan puntung rokok menyala, meninggalkan benda-benda pemicu timbulnya api seperti botol kaca. Meninggalkan bara bekas perapian yang masih menyala. Dan atau bahkan sengaja dibakar dengan maksud tertentu. Penyebab kebakaran hutan bisa karena faktor alam dan manusia. Kalau faktor alam biasanya dipicu oleh sambaran petir. Tapi itu hampir sangat jarang terjadi,”. (cnnindonesia.com, 11/8/2019)
Imbas Dari Kebijakan Hutan
Karhutla jelas membawa dampak berupa kerugian kesehatan dan ekonomi bagi masyarakat bahkan hilangnya nyawa. Maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negeri ini menunjukkan gagalnya negara dalam mengelola hutan.
Ini terjadi akibat kesalahan dari pembuat kebijakan termasuk pengelolaan pelaksanaan regulasi dan penyimpangan dalam pelaksanaan teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan adalah kesalahan ideologis. Sebab kebijakan yang dibuat dalam bentuk UU adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini oleh pembuat kebijakan.
Sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme individualis yang menomorsatukan kepemilikan individu. Dalam sistem kapitalisme, hutan dipandang sebagai kepemilikan individu yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH (Hak Penguasaan Hutan) oleh penguasa. UU tentang kehutanan di negeri ini telah nyata mengfasilitasi pemberian hak konsesi hutan pada perusahaan asing atau swasta.
Karhutla adalah imbas dari kebijakan adanya konsesi hutan untuk perusahaan, dan abainya perusahaan dan negara akan penjagaan hutan sebagai paru-paru dunia. Apalagi Penegakan hukum yang tidak memberikan efek jera membuka peluang penyalahgunaan konsesi yang diberikan negara.
Kemudian, sistem kapitalisme selain mengutamakan kepentingan individu, juga melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam yang diambil dengan mengabaikan aspek moralitas.
Inilah yang menjadi penjelasan mengapa dalam pengelolaan hutan sering terjadi penyelewengan dan penyimpangan hingga mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Dalam mengelola hutan, berhitung untung rugi merupakan pertimbangan korporasi dan cara termudah untuk pembukaan lahan adalah dengan membakarnya.
Solusi Islam
Sesungguhnya permasalahan pengelolaan hutan akan tuntas hanya dengan penerapan syariat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Dalam Syariat Islam, telah ditetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu ataupun negara. Ketentuan ini berdasarkan pada hadis Rasulullah SAW yaitu “kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Namun karena pemanfaatan atau pengelolaan hutan tidak mudah dilakukan oleh orang pertama orang secara langsung, serta membutuhkan keahlian, dana yang besar dan sarana, maka negara lah yang diberi amanah untuk mengelolanya.
Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (kas negara) dan mendistribusikan dananya untuk kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum syariah berupa pendidikan dan kesehatan gratis. Sebab negara melakukan pengelolaan hutan dengan prinsip pelayanan bukan berbisnis dengan rakyat.
Negara wajib menjaga kelestarian hutan terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat untuk paru-paru dunia, penyimpanan air pada saat musim hujan dan sebagai sumber air pada saat musim kemarau tiba. Selain itu, hutan gambut adalah sumber habitat flora dan fauna yang menjaga keseimbangan alam.
Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum termasuk pengelolaan hutan.
Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan pengrusakkan hutan. Jika masih ada yang melanggar, negara harus memberi sanksi yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan dengan ta’zir, yaitu kadar dan jenisnya ditetapkan oleh kepala negara, sehingga mampu menimbulkan efek jera dan tidak dicontoh oleh pihak lain.
Pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, kesadaran umum untuk menjaga lingkungan dan sanksi yang tegas bagi pelaku kemaksiatan, akan menjadi solusi tuntas kasus karhutla. Inilah mekanisme Khilafah dalam pengelolaan hutan yang akan menghindarkan dharar bagi masyarakat dan lingkungan.
Wallahu ‘alam bishowwab
Views: 11
Comment here