Oleh Sanaya Anas
Wacana-edukasi.com, OPINI– Asosiasi peritel Indonesia (Aprindo) menuntut pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk membayar utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng senilai Rp344 miliar. Utang pemerintah kepada pelaku usaha minyak goreng ini bermula dari program minyak satu harga yang diluncurkan pada awal Januari 2022. Program ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan tersebut meminta pengusaha untuk menjual minyak goreng kemasan premium seharga Rp14.000 per liter dari harga minyak yang saat itu mencapai Rp17.000-Rp19.000 per liter.
Pihak Aprindo mengatakan akan melakukan sejumlah tindakan jika utang rafaksi minyak goreng tidak segera dibayar oleh pemerintah. Mereka akan melakukan tindakan berupa pemotongan tagihan kepada distributor minyak goreng oleh perusahaan peritel kepada distributor migor, mengurangi pembelian minyak goreng, pemberhentian pembelian minyak goreng, hingga akan melakukan gugatan hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila tidak kunjung dibayarkan. Hal ini tentu saja dikhawatirkan akan menyebabkan kelangkaan minyak goreng di sejumlah gerai ritel. Dilansir dari detik finance, terkait hal ini, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menilai bahwa langkah tersebut tidak akan membuat minyak goreng langka dikarenakan minyak goreng tak hanya dijual di gerai ritel, tetapi juga di pasar fisik maupun pasar daring. Lebih lanjut Jerry menjelaskan bahwa peraturan terkait rafaksi yang diberlakukan di era Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi kini sudah tidak berlaku lagi.
Di sisi lain, pemerintah malah dikabarkan terjerat korupsi minyak goreng. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana, mengatakan kejagung belum membekukan tiga perusahaan yang menjadi tersangka dari kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah dan turunannya, termasuk minyak goreng pada periode 2021-2022 lalu. Tiga perusahaan tersebut yaitu WilmarGroup, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Sangat miris, ketika masyarakat kesulitan dan menuntut kemudahan akses migor, pemerintah justru tertangkap korupsi, saling lempar tanggung jawab, dan tidak tampak keseriusan dalam menyelesaiakan problem migor ini. Hal tersebut jelas menunjukkan bagaimana kegagalan sistem saat ini yang hanya berfokus pada kepentingan perorangan, khusunya ia yang memiliki modal (kapitalis). Pemerintah tidak akan berusaha menyelesaikan problem masyarakat, melainkan sibuk untuk memperkaya diri dan menyenangkan oligarki.
Kasus ini menunjukkan adanya salah kelola penyediaan migor untuk rakyat yang merupakan kewajiban negara atas rakyat. Seharusnya, negara adalah pihak yang akan mengatur peredaran migor yang notabenenya termasuk kebutuhan pokok bagi rakyat namun nyatanya malah pihak ritel (pengusaha) yang berkuasa atas hal ini. Negara justru tidak dapat berkutik ketika ritel menuntut untuk menagih utang rafaksi minyak goreng dan mengancam akan melakukan sejumlah tindakan yang memungkinkan untuk terjadinya kelangkaan migor di pasaran. Itulah gambaran negara yang hanya bertindak segala regulator, bukan pengatur urusan rakyat. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara dilakukan untuk melayani kepentingan korporasi bahkan negara sampai kepentingan negara pun tersandera dalam kekuasaannya, dan pada akhirnya kebutuhan rakyat juga bergantung pada korporasi.
Jauh berbeda jika dilakukan penerapan sistem Islam. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjamin tersedianya kebutuhan pokok rakyat di pasaran termasuk pula minyak goreng dengan harga yang terjangkau bahkan gratis. Hal ini dikarenakan dalam Islam negara berperan sebagai penanggung jawab bagi seluruh urusan dan kebutuhan dari rakyatnya. Negara juga lah yang berperan menetapkan kebijakan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat. Implementasi dari kebijakan pengurusan kebutuhan rakyat ini dilakukan dengan tidak bergantungnya negara kepada pihak manapun, baik itu korporasi maupun pihak-pihak asing.
Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Seorang imam atau khalifah atau kepala negara adalah ibarat penggembala atau pengurus, dan dia bertanggung jawab atas setiap rakyat yang diurusnya.” HR. Bukhari.
Islam memiliki mekanisme pengelolaan dan kebijakan politik ekonomi dalam mewujudkannya dan tidak dikuasai oleh para ritel. Dalam menghadapi permasalahan kebutuhan minyak goreng ini, terdapat beberapa kebijakan utama yang akan diambil dalam sistem penerapan Islam, yaitu pertama negara akan mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai dengan Islam. Negara akan melarang individu atau swasta untuk menguasai harta milik umum, seperti hutan, dimana dalam sistem kapitalisme hari ini hutan dijadikan sebagai perkebunan pribadi dari pemilik korporasi. Apalagi hutan-hutan tersebut dibuka dengan cara-cara yang merusak dan berdampak pada masyarakat secara umum. Kedua, negara harus menjamin tersedianya pasokan barang di dalam negeri, terutama diupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan pengusaha lokal. Selama kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi, negara tidak akan melakukan ekspor ke negara luar bahkan bila kebutuhan masih dirasa kurang, maka negara akan mengambil opsi impor dari negara luar. Ketiga, negara harus melakukan pengawasan terhadap rantai tata niaga sehingga tercipta harga kebutuhan atau harga-harga barang secara wajar. Kemudian, dengan adanya pengawasan ini pula pasar akan terjaga dari tindakan-tindakan curang seperti penimbunan, penipuan, dsb. Pasar yang sehat akan menghindarkan penguasaan pasar oleh ritel. Demikianlah, untuk mewujudkan pengurusan rakyat yang benar-benar tepat, negara haruslah melaksanakan syariat Islam secara kaffah termasuk dalam pengurusan pangan mulai dari hulu hingga hilir. Hanya dengan sistem Islam yang mampu menyediakan bahan pokok bagi kebutuhan rakyat, termasuk minyak goreng, dengan harga murah bahkan gratis.
Views: 11
Comment here