Opini

Layanan Keuangan Difabel, Humanisasi atau Eksploitasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari
(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Disebut sebagai pahlawan ekonomi negara, para penyandang difabel turut berkontribusi pada perekonomian nasional. Pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Friderica Widyasari Dewi, mayoritas difabel merupakan bagian dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), saat kegiatan Edukasi Keuangan bagi Penyadang Disabilitas dengan tema “Menuju Masyarakat Indonesia Merdeka Finansial”, yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Keaktifan penyandang difabel dalam membangun ekonomi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana ke depannya berupaya untuk mempermudah akses keuangan bagi penyandang disabilitas atau difabel yang semula kesulitan agar mudah dalam membuat tabungan, asuransi hingga kredit dari perbankan. Semisal menyediakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk difabel.

Tentu hal ini menjadi kabar gembira bagi penyandang difabel sehingga dapat mengakses layanan keuangan dengan mudah. Hanya saja, negara juga harus optimal memberikan jaminan pada difabel dengan berbagai cara untuk memastikan bahwa mereka memiliki akses ke semua bidang dan peluang yang adil dalam bermasyarakat, bukan menyamaratakan penyandang difabel dengan mereka yang bertubuh normal dan sehat. Semisal dalam akses pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan kesehatan yang saat ini belum semua penyandang difabel bisa merasakan dan mengaksesnya dengan mudah.

Dalam pendidikan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pendidikan terakhir sebagian besar penyandang difabel yang tidak tamat sekolah dasar (SD), yakni mencapai 29,35%. Sebanyak 26,32% penyandang disablitas merupakan tamatan SD.

Masih sangat besar jumlah difabel yang tidak pernah sekolah mencapai 20,51%.  Kemudian, penyandang difabel yang pendidikan terakhirnya sekolah menengah pertama (SMP) sebesar 9,97%, sekolah menengah Atas (SMA) 10,47%, dan perguruan tinggi (PT) 3,38%.

Dalam pekerjaan, diambil dari data Badan Pusat Statistik 2022, sekitar 17 juta penyandang disabilitas masuk usia produktif. Namun hanya 7,6 juta orang yang bekerja. Terkhusus difabel tidak bisa disamakan dengan mereka yang normal dalam dunia kerja, di sinilah daya serap pekerjaan harusnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing penyandang difabel yang berbeda-beda. Meskipun penyandang difabel harus dilatih kemandirian untuk bisa megurus dirinya, negara tetap tidak boleh abai atau bahkan sampai mengeksploitasi mereka dengan dalih pemberdayaan.

Sementara akses kesehatan juga belum sepenuhnya negara memberikan jaminan gratis bagi penyandang difabel. Mengutip data Susenas tahun 2018-2020 dalam seminar daring Daewoong belum lama ini, Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini menyatakan masih relatif terbatas pada pengeluaran kesehatan yang sifatnya esensial, sedangkan penanganan lain termasuk alat-alat bantu dan terapi masih belum dapat terakomodasi.

Lalu, dengan adanya kemudahan layanan keuangan yang bertujuan melatih penyandang difabel agar lebih mandiri apakah tidak terkesan negara seolah berlepas tangan?

Sekalipun mayoritas difabel merupakan bagian dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), selayaknya negara membantu secara nyata bukan mengeksploitasi dengan dalih pemberdayaan, apalagi membiarkan penyandang difabel berada dalam medan persaingan dengan dunia usaha berfisik normal secara umum. Ya, mereka sebagian ada yang bisa bekerja mandiri tetapi kondisi penyandang difabel tidak sama dengan mereka yang bertubuh normal dan sehat.

Disadari kebijakan yang diprogram negara tak luput dari sistem yang diembannya. Negeri ini yang notabene meminggirkan aturan agama dalam menjalankan pemerintahannya alias sekularisme, mengadopsi sistem kapitalisme dalam menjalankan amanahnya.

Untuk kemajuan ekonomi negara selayaknya mengoptimalkan dari pemanfaatan Sumber Daya Alam negerinya sendiri, bukan diswastanisasi ataupun diprivatisasi yang menjadikan rakyat hanya mendapat remahan sehingga harus berupaya menopang kebutuhannya sendiri terlebih penyandang difabel.

Jelaslah sudah wajah asli kapitalisme jikalau lagi-lagi hanya akses ekonomi yang diperhatikan. Sekalipun penyandang difabel, tapi tak luput dicari-cari apa yang bisa menguntungkan. Ibarat kata RIP (rest in peace) sudah rasa kemanusiaannya. Negara menggelar karpet merah pada pengusaha kapitalis asing, aseng, asong, sementara hidup rakyatnya amsyong…

Sampai hari ini pola kebijakan sistem kapitalisme-sekular hanya memberikan kesejahteraan bagi sebagian golongan, sementara mayoritas kondisi masyarakatnya masih banyak di bawah garis kemiskinan. Jika terus menerus dipaksakan penerapannya sama saja dengan meletakkan penutup ke atas ketel yang dipanaskan, yang hanya masalah waktu akan meledak.

Penyandang difabel hanya butuh diberikan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas penunjang yang layak bahkan sebisa mungkin gratis, kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan. Tidak muluk-muluk semisal punya keinginan rumah mewah, mobil mewah ataupun jabatan mentereng. Diakui dan dilindungi dan dicukupi  kebutuhannya oleh negara itu sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Jika negara juga berkewajiban meriayah masyarakat umum yang normal dan sehat apalagi yang berkebutuhan khusus. Sudah semestinya negara memberikan perhatian lebih, sebab penyandang difabel ada bukan karena mereka menginginkan keterbatasan fisik tapi memang bagian dari qadha saat dilahirkan ataupun akibat kecelakaan.

Negara Bagaikan Orangtua

Islam memandang difabel sebagai manusia yang istimewa, harus disayangi, dihargai, dan dihormati serta menjadi tanggung jawab sekitarnya melalui berbagai mekanisme guna membantu mereka menjalani hidupnya.

Saat syariat Islam menjadi sebuah sistem bernegara, hasilnya negara mampu meriayah para penyandang difabel dengan cara yang baik. Ibarat negara itu orangtua, rakyat itu anaknya, maka sudah selayaknya orangtua berkewajiban memberikan kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan pada anaknya sebagai bentuk amanah, terlebih jika ada anak yang lahir dengan berkebutuhan khusus atau difabel. Maka orangtua selayaknya menerimanya sebagai bentuk rasa syukurnya sebab peluang pahala besar diberikan di dekatnya.

Sebagaimana bentuk penghargaan terhadap kaum difabel, Rasulullah Saw. menganjurkan mempercepat bacaan sholat sebab pertimbangan makmum yang tua juga difabel.

Hadis dari Abī Mas’ud, ia berkata: Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Saw: “Saya terlambat mengikuti salat subuh berjamaah di mana imamnya sangat panjang bacaannya.“

Lalu Rasulullah marah dan aku tidak pernah melihat Rasulullah semarah itu. Rasulullah Saw lalu bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu sekalian ada yang sekelompok orang (yang berbeda). Maka siapa yang menjadi imam, maka ringkaskanlah (bacaan). Sesungguhnya di antara makmun ada orang-orang yang lemah, lanjut usia, dan orang yang memiliki hajat.” (HR. Al-Bukhāri & Muslim)

Jika dalam perkara sholat saja Islam mengajarkan agar memudahkan makmum penyandang difabel dengan memperpendek bacaan, tentu juga dalam urusan aktivitas kehidupan kesehariannya.

Maka dalam hal ini, Islam mewajibkan negara  untuk memenuhi hak kebutuhan hidup rakyat khususnya para penyandang difabel dan menjamin kesejahteraannya.

Sejarah mencatat, di masa Daulah Islam yang dipimpin di masa Bani Umayyah, khalifah Al-Walid bin Abdul Malik yang memfasilitasi penyandang difabel, diantaranya dengan:

1.Menyediakan panti-panti khusus agar mereka dapat mengembangkan diri di tengah keterbatasan.

2.Para penghafal Al Quran, ulama, fakir miskin, dan termasuk rang-orang lemah diantaranya mendapatkan subsidi tetap.

3.Menyediakan pemandu jalan untuk para difabel tuna netra.

4.Membangun rumah sakit khusus penderita kusta.

5.Serta mendirikan rumah sakit dan klinik gratis untuk rakyat yang sakit.

Sejarah Daulah Islam ini menggambarkan ketika sistem Islam diterapkan dalam sebuah aturan bernegara, kesadaran keimanan itu dibangun atas seluruh instansi-instansi negara. Adanya kesadaran tanggung jawabnya di dunia dan akhirat atas jabatannya, maka menjadi sebuah keniscayaan kemajuan peradaban moral juga sains dan teknologi menjadikan kehidupan seluruh masyarakat lebih memanusiakan manusia.

Bukankah hal demikian adalah harapan dan cita-cita bersama ketika rakyat sebuah negeri bersepakat membentuk sebuah negara?

”Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian.” (HR Muslim)

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here