Oleh : Salwa Hidayat
(Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Miris, meski bersekolah, anak-anak di Asia Pasifik tak memiliki keterampilan pendidikan dasar. Laporan bank dunia menyebut setiap tahunnya ada sekitar 172 juta anak di 22 negara di Asia Timur dan Pasifik, tidak mendapatkan keterampilan pendidikan dasar, meskipun terdaftar di sekolah dasar. Menurut bank dunia, dari salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi yakni susahnya akses guru yang berkualitas atau tenaga pengajar yang masih memiliki kemampuan terbatas. (Republika.co.id, 24/09/2023).
Jika kita telisik, maka dapat ditemukan benang merah dari permasalahan krisis kompetensi dasar peserta didik (generasi) negeri ini. Pertama, kurikulum pendidikan yang kian berubah setiap pergantian kabinet pemerintahan. Padahal ini adalah hal yang sangat mendasar dari sebuah sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan merupakan indikator dalam melahirkan generasi -generasi terbaik bangsa. Maka dari itu, seharusnya pemeritah menitikberatkan masalah ini dan memfokuskan untuk menetapkan satu kurikulum yang dapat melahirkan generasi emas, generasi yang akan memimpin negeri ini bahkan dunia 10 tahun atau 20 tahun ke depan.
Sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.com, perubahan kurikulum di Indonesia telah terjadi pergantian sebanyak 10 kali. Dari kurikulum 1947 (rencana pelajaran 1947), rencana pelajaran terurai 1952, rencana pendidikan 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum berbasis kompetensi 2004, kurikulum tingkat satuan Pendidikan ( KTSP) 2006, hingga kurikulum 2013.
Tentu saja, dampak dari perubahan kurikulum pendidikan ini tidak hanya berimbas terhadap peserta didik atau siswa/siswi saja, tapi juga terhadap kualitas pengajar atau guru. Dalam perubahan kurikulum yang terjadi di dunia pendidikan akan menjadi tantangan besar para pengajar atau guru. Guru dituntut memiliki kecakapan, kreativitas, tanggung jawab, dan keahlian. Di sisi lain, yang melelahkan guru juga harus membuat RPP (Rencana Pembelajaran), yang secara otomatis ikut berubah mengikuti perubahan kurikulum. Pada akhirnya para pengajar memfokuskan diri dalam membuat laporan RPP (Rencana Pembelajaran), dan tidak lagi memfokuskan kemampuan dalam mencetak generasi-generasi terbaik.
Kedua, kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan. Di negara-negara yang tercakup dalam laporan Fixing The Foundation: Teachers and Basic Education in East Asia and Pasific yang dipublikasikan bank dunia, kualitas pendidikan masih tergolong rendah di daerah pedesaan dan daerah miskin jika dibanding daerah perkotaan dan daerah yang lebih kaya (Republika.co.id, 24/09/2023).
Saat ini sudah menjadi rahasia umum bahwa sektor pendidikan menjadi alat bagi para korporasi untuk memperoleh pundi-pundi rupiah. Maka, inilah yang menyebabkan adanya kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan. Dimana jika anak tersebut lahir dari orang tua yang kaya dan di daerah perkotaan, mereka akan mendapatkan sarana dan prasarana yang sangat memadai dan menunjang pendidikan. Sehingga, sangat sedikit anak-anak orang kaya dan yang tinggal di perkotaan yang tidak memiliki kompetensi dasar bahkan mereka juga tidak terkena dampak dari perubahan kurikulum, sebab sekolah mereka tidak sepenuhnya mengikuti kurikulum pemerintah. Misalnya seperti sekolah-sekolah internasional di kota-kota besar negeri ini biasanya menggunakan kurikulum internasional (kurikulum Cambridge Assesment). Lain halnya dengan anak-anak yang lahir dari keluarga menengah ke bawah dan di perdesaan, mereka tidak mendapatkan fasilitas, sarana, dan prasarana, bahkan untuk bersekolah saja mereka membutuhkan perjuangan yang lebih. Jadi, hal yang wajar jika anak-anak dari daerah perdesaan mengalami krisis kompetensi dasar.
Sesungguhnya, faktor-faktor di atas terjadi karena imbas penerapan sistem kapitalisme sekuler. Tujuan hidup dari ideologi kapitalisme sekuler adalah mencari materi sebanyak-banyaknya, maka hal yang wajar jika saat ini sektor pendidikan justru dikuasai oleh para korporasi. Penerapan sistem kapitalisme sekuler juga menimbulkan krisis kompetensi peserta didik, karena yang memegang wewenang sepenuhnya bukanlah kepala negara, melainkan para korporasi. Sehingga pemerataan kualitas pendidikan, sarana prasarana, serta tenaga pengajar minim didapat.
Berbeda dengan sistem Islam yang berlandaskan pada syariat Islam. Di dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar publik, yang mana setiap individu memiliki hak pendidikan yang sama dari segi kualitas sarana prasarana, kurikulum pendidikan, hingga kualitas tenaga pengajar. Dalam sistem Islam, tidak memandang miskin atau kaya, tinggal di pedesaan ataupun perkotaan, semuanya warga negara memiliki hak yang sama dalam sektor pendidikan. Hal ini selaras dari Hadist Rasulullah SAW..
Rasulullah SAW. bersabda :
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913).
Islam juga sudah menyediakan kurikulum yang output nya akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki mental tangguh, berjiwa pemimpin, faqih fiddin (paham agama), terdepan dalam sains dan teknologi, juga bersyahksiyah islamiyyah (memiliki kepribadian Islam). Sebagaimana yang tertuang dalam buku dasar-dasar pendidikan negara khilafah, karya Syaikh Atha bin Rustha bahwa tujuan dari pendidikan dasar adalah mencetak generasi-generasi yang memiliki kepribadian Islam. Dimana terdiri dari 2 komponen, yaitu memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang berstandarisasikan hukum syariat. Maka dari itu, pendidikan harus menancapkan akidah Islam kepada peserta didik, melalui pembekalan tsaqafah islamiyyah seperti pelajaran bahasa Arab, tafsir, ushul fiqih dan tsaqafah Islam lainnya. Namun, sistem Islam tidak hanya melahirkan generasi yang unggul dalam bidang agama tapi juga unggul dalam bidang ilmu pengetahuan karena para peserta didik juga akan dibekali ilmu-ilmu sains seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi. Lebih khasnya lagi sistem pendidikan Islam juga menyediakan metode pembelajaran yang tidak akan berganti-ganti, yaitu metode talqiyyan fikriyyan.
Metode talqiyyan fikriyyan adalah metode pemindahan ilmu kepada orang lain sebagai sebuah pemikiran dengan cara mentransfer hasil penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak kemudian dihubungkan dengan informasi sebelumnya yang telah terbukti benar kepastiannya dan digunakan untuk menginterpretasi fakta tersebut. Dapat dipastikan bahwa semua ilmu pengetahuan dapat direalisasikan atau yang dapat dipraktikkan bukan sekedar ilmu pengetahuan teoretis.
Dari metode islami yang diterapkan dalam sistem pendidikan Islam maka output yang dihasilkan antara lain:
1. Siswa memahami ilmu yang disampaikan gurunya dengan baik.
2. Ilmu yang disampaikan melalui proses berpikir akan tuntas sehingga sampai pada taraf siswa meyakini ilmu yang ia terima. Siswa mampu mengindra suatu fakta dengan detail/rinci.
3. Ilmu yang diajarkan mungkin tidak terlalu banyak tapi siswa mampu menguasainya. Tujuannya siswa terdorong untuk mengamalkan ilmu yang ia terima.
4. Ilmu yang diajarkan sesuai dengan level berpikir usia anak dan membiasakan siswa untuk selalu kreatif dan inovatif.
5. Ilmu yang diajarkan tidak kognitif yang selalu terfokus pada hafalan, namun mengajak siswa untuk selalu berpikir, belajar tanpa beban, siswa senang dan minat terhadap pelajaran yang diajarkan. Sehingga siswa mampu mempresentasikan ilmu yang sudah ia terima dengan detail dan bahasanya sendiri (sesuai usia anak).
6. Mencetak generasi mandiri sehingga mampu menyelesaikan persoalan hidupnya.
Oleh sebab itu, negara memiliki andil yang sangat besar dalam menyediakan dan memastikan pemerataan kualitas kurikulum pendidikan, sarana prasarana, serta kesejahteraan para tenaga pengajar (guru). Dalam sistem Islam, negara juga telah menetapkan dana yang akan digunakan untuk sektor pendidikan yang berasal dari 2 pos pemasukan negara. Pertama, dari harta kepemilikan umum yang meliputi pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh negara. Kedua, dari pos kepemilikkan negara yang berasal dari jizyah, fai, kharaj, dan sejenisnya. Tentu saja, pengelolaan sektor ini tidak boleh diambil alih atau dikuasai oleh individu ataupun swasta. Sangat jauh berbeda dengan sistem saat ini yang pengelolaannya dikuasai oleh para korporasi. Jadi jelas, imbas terjadinya kesenjangan sosial dan kurikulum pendidikan sekuler akan berdampak pada krisis kompetensi dasar yang dimiliki generasi-generasi muslim saat ini.
Wallahu A’lam bish Shawwab.
Views: 25
Comment here