Opini

Eksploitasi Anak Kian Mewabah Hingga Panti Asuhan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Moni Mutia Liza, S.Pd

wacana-edukasi.com, OPINI– Dunia semakin tidak waras. Mungkin itulah ungkapan yang terlontar dari mulut masyarakat. Bagaimana tidak, panti asuhan yang merupakan tempat untuk membina, menampung anak-anak yang kurang mampu dan kurang perhatian dari keluarga untuk dibentuk karakternya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara justru dijadikan proyek eksploitasi anak.

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Forum Panti Kota Medan, Besri Ritonga menyebutkan sebanyak 41 anak menjadi korban eksploitasi oleh pengelola dua panti asuhan di Kota Medan, (detiksumut.com/23/09/2023). Eksploitasi dilakukan dengan cara memanfaat media sosial. Anak-anak yang diekploitasi juga terbilang masih remaja dan beranjak remaja, yaitu masih duduk di bangku SD dan SMP. Sungguh disayangkan, harusnya generasi mendapatkan bimbingan dan pengetahuan yang beguna bagi masa depannya justru dirusak dengan perbuatan yang sangat tidak bermoral.

Parahnya lagi, panti asuhan yang telah berdiri selama 8 bulan ini ternyata tidak mendapat izin dari pemerintah setempat. Kasus panti asuhan ilegal ternyata bukan satu, melainkan ada beberapa panti asuhan lainnya yang juga tidak mendapatan izin namun tetap didirikan dan orang tua menitipkan anaknya ke panti asuhan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan adalah kemana saja pemerintah selama 8 bulan sehingga beberapa panti asuhan ilegal telah mengeksploitasi anak sebanyak 41 orang?

Sebenarnya kasus eksploitasi anak sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Menurut Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) menghimpun korban perdagangan orang sepanjang 5 Juni-3 Juli 2023 sebanyak 1.943 orang, (databoks.katadata.co.id/05/07/2023). Tentu jumlah tersebut bukan jumlah sebenarnya dan masih banyak lagi kasus serupa yang belum terdata.

Eksploitasi anak tampaknya memang sulit dihentikan di sistem kapitalisme. Pasalnya sistem ini membuka kran seks bebas baik di dunia nyata maupun dunia maya. Lemahnya sanksi, keamanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak menambah daftar hitam eksploitasi anak bahkan perdagangan manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan sanksi negara yang tergolong ringan bagi pelaku mucikari. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 506 Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa mucikari diberi sanksi penjara selama-lamanya 1 tahun. Dan pelanggan pelayanan prostitusi online dikenakan sanksi berdasarkan 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan sanksi berupa penjara selama-lamanya 9 bulan, (bpsdm-dev.kemenkumham.go.id/07/06/2022).

Padahal sebagaimana yang kita ketahui bahwa mucikari atau yang menyediakan layanan prostitusi online adalah perbuatan yang sangat jahat dan tidak bisa dianggap sepele, sebab generasi yang menjadi taruhannya. Dan akan menghancurkan peradaban suatu bangsa.

Sistem kapitalisme-liberalisme merupakan akar permasalahan terjadinya eksploitasi anak. Sistem yang diadopsi dari barat ini nyatanya memang rusak dan menghancurkan masyarakat. Terbukti masyarakat yang terbentuk oleh sistem ini adalah masyarakat yang individualis, materialistis, hedonis, seks bebas dan lainnya, sehingga lumrah kita menyaksikan berbagai kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bahkan dilakukan oleh pejabat negara sekalipun.

Hanya sistem Islam yang mampu memangkas perbuatan ekspoitasi anak dan perempuan hingga ke akar-akarnya. Bagaimana cara Islam menanganinya?. Islam merupakan agama yang paripurna, lengkap tanpa cela. Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur manusia baik secara individu, bermasyarakat hingga bernegara. Sistem Islam menjamin delapan hal dalam bermasyarakat dan negara, salah satunya adalah perlindungan terhadap individu masyarakat. Negara akan membentengi masyarakatnya dari hal-hal negatif yang menyebabkan munculnya penyakit sosial. Artinya negara akan memblokir berbagai situs, sarana, dan prasarana yang membuka peluang untuk munculnya kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya negara juga melakukan pembinaan kepada masyarakat, sehingga masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat berkarakter mulia.

Di tambah dengan sistem pendidikan Islam yang berpondasi aqidah Islam sehingga generasi yang terbentuk adalah generasi yang bertakwa kepada Allah. Tentu hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang memiliki pondasi sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, sehingga individu serta masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat dan individu yang jauh dari agama, hidup liar layaknya “binatang”. Berbagai permasalahan muncul dan semakin membabi buta setiap menitnya akibat jauhnya fitrah manusia dari aturan sang pencipta, Allah azza wa jalla. Begitulah kontrasnya kehidupan dalam sistem Islam dan kapitalisme.

Selanjutnya sistem Islam juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku zina, yaitu dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah dan sanksi rajam bagi yang sudah menikah. Bagaimana dengan mucikari? Atau fasilitator perzinahan?. Maka sistem Islam memberikan wewenang keputusan sanksi tersebut kepada pemimpin negara(Khalifah) berupa takzir. Sanksi tersebut bisa hukuman mati, atau yang lainnya. Tergantung hasil ijtihad pemimpin negara atau hakim. Begitulah tegasnya sistem Islam dalam membentengi masyarakatnya dari hal yang dapat merusak peradaban manusia itu sendiri.

Lantas, masihkah kita bertahan dalam sistem kapitalisme? Atau segera menggantikannya dengan sistem Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam?

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here