Oleh Novita Mayasari, S.Si.
wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa bulan belakangan ini kualitas udara sedang tidak baik-baik saja alias memburuk. Bahkan kabut asap nan pekat pun sukses menyelimuti sejumlah kota di Indonesia, seperti yang terjadi di Kota Palembang, Jambi dan Kalimantan. Hal ini terus terjadi lantaran kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang semakin meningkat dari hari ke hari. Wajar jika akhirnya dampak negatif dari karhutla ini membuat resah masyarakat.
Sebagaimana dikutip dari www.bbc.com (Jumat, 08/09/2023), menyatakan bahwa Adi Surya Dirgantara yang berada di Palembang mengaku bahwa dia dan tiga anaknya sampai sakit akibat kabut asap yang menyelimuti kawasan tempat tinggal mereka. ” Tenggorokkan terasa kering, mata agak pedih, hidung kami tersumbat. Sudah satu minggu ini mengalami demam, ujar Adi”.
Bukan hanya di Palembang penurunan kualitas udara juga turut terjadi di kota Jambi, bahkan mengakibatkan sekolah-sekolah mulai mewajibkan para siswanya untuk mengenakan masker. Menurut Jupri Yanto salah satu guru di SD N 66 Jambi mengatakan, “Sejak beberapa hari terakhir kami tidak lagu mengadakan senam, mengingat kondisi udara yang masuk kategori tidak sehat,”.
Belum lagi menurut Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Trisnawarman mengatakan terjadi peningkatan 4.000 kasus ISPA dalam sebulan sejak Juli hingga Agustus 2023.
Sungguh miris melihat kondisi udara buruk seperti ini yang terus berulang. Seharusnya masyarakat juga berhak menikmati udara yang segar nan bersih dan tentunya itu bisa terjadi jika penanganan karhutlah ini cepat dan tanggap. Namun sayang lagi-lagi rakyatlah yang harus merasakan penderitaan sedemikian rupa, setelah BBM naik, Gas (Melon) naik, Beras naik dan ditambah pula dengan kondisi udara yang kualitasnya memburuk lengkap sudah berbagai kejadian ini membuat rakyat semakin sengsara.
Akankah keadaan kita seperti ini terus?
Bisakah kita keluar dari masalah yang berulang seperti ini?
Mitigasi Karhutlah Belum Optimal, Negara kurang Serius?
Tidak hanya berdampak di dalam Negeri saja ternyata karhutla juga berdampak negatif kepada negara tentangga sebut saja Negeri Jiran (Malaysia) dan Singapura kabut asap sukses membuat kualitas udara disana memburuk. Sungguh ini bukanlah prestasi yang membanggakan.
Disisi lain walaupun kasus ISPA akibat karhutlah ini mengalami kenaikan yang signifikan namun sayang seolah tidak ada penanganan yang serius, mitigasi terkesan lambat, belum optimal dan antisipasif walhasil persoalan karhutlah ini selalu berulang.
Persoalan karhutlah ini sejatinya bukan hanya permasalahan teknis saja melainkan permasalahan sistemis. Walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai penanganan nyatanya belum berhasil untuk mengatasi karhutla ini. Belum lagi disaat yang bersamaan aktivitas penggundulan hutan, penebangan hutan atau deforestasi (kegiatan menebang hutan dimana lahannya dialihgunakan untuk pertanian, perkebunan, peternakan dan pemukiman) yang sarat untuk kepentingan bisnis pun terus terjadi.
Mirisnya lagi undang-undang yang berlaku hari ini malah membolehkan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan yang tentunya ini mengakibatkan penurunan fungsi lahan. Walaupun ada upaya restorasi(pemulihan) dari pemerintah namun dengan adanya izin konsesi kawasan hutan terhadap korporasi (pengusaha) inilah yang mengakibatkan kasus karhutla ini kembali berulang. Izin dari pemerintah untuk menebang hutan secara legal inilah merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini.
Di dalam sistem kapitalisme negara membolehkan pengelolaan sumber daya alam(termasuk hutan) ini kepada pihak swasta/asing. Disamping itu sistem ini juga melahirkan pemerintah yang perannya hanya sebatas regulator dan fasilitator (pembuat regulasi atau undang-undang). Namun ditangan pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab mengurusi dan memenuhi kebutuhan rakyat serta menjauhkan rakyat dari bahaya karhutla ini.
Tentu saja sistem ini pun mengedepankan materi alias keuntungan semata sehingga individu/swasta boleh untuk menguasai sumber daya alam sebanyak-banyaknya asalkan modalnya ada.
Islam Solusi Mengatasi Karhutla
Islam bukan hanya sekedar agama, ianya juga merupakan sepaket aturan hidup untuk mengatur semua permasalahan dalam kehidupan. Di dalam islam juga tidak terdapat kebebasan secara mutlak sebagaimana yang terdapat dalam sistem kapitalisme, semua manusia wajib untuk terikat dengan seluruh aturan yang sesuai dengan syariat islam. Oleh karena itu terkait kepemilikan sumber daya alam yang dalam hal ini adalah hutan, islam melarang dimiliki dan dikuasi oleh individu ataupun swasta, karena di dalam Hutan termasuk kepemilikan umum dimana semua masyarakat bersama-sama boleh untuk memanfaatkan secara langsung.
Namun apabila pemanfaatan tersebut menimbulkan konflik di tengah masyarakat, maka sudah seharusnya negara yang akan turun tangan untuk mengelolanya dimana hasil pengelolaannya nanti akan dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung seperti dalam bentuk fasilitas-fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan bersama-sama. Jadi negara melakukan pengelolaan tersebut bukanlah atas dasar bisnis sebagaimana dengan sistem kapitalis yang diterapkan hari ini.
Bukan hanya itu negara juga merupakan pelindung bagi rakyatnya, maka negara wajib pasang badan dan melakukan berbagai macam cara guna melindungi rakyat dari berbagai bahaya yang mengancam rakyat, seperti persoalan karhutla hari ini yang luar biasa memberikan dampak buruk dan bahaya bagi kesehatan masyarakat.
Sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW:
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain”, (HR. AlBaihaqi)
Maka dari hadis di atas jelas bahwa di dalam islam terdapat larangan untuk membawa kemadharatan (kerugian) bagi setiap manusia. Maka jika kepengurusan dan pengelolaan hutan ini dikembalikan dan diurus sesuai syariat Islam oleh negara tentu masyarakat akan sejahtera dan terjauhkan dari berbagai macam marabahaya yang siap mengancam mereka.
Wallahu’alam Bishowwab
Views: 8
Comment here