Oleh Betty Juwita Ningrum, S.Pd.
wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus kekerasan pada anak di sekolah saat ini terjadi di semua jenjang pendidikan. Kemendikbudristek menyatakan bahwa berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31% atau 1 dari 3 peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami perundungan (bullying).
Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang diterima KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan bertajuk Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia 2022, mayoritas siswa yang mengalami perundungan di Indonesia adalah laki-laki. Laporan itu mencatat, siswa laki-laki yang dominan menjadi korban kasus perundungan tersebut pada kategori kelas 5 SD, kelas 8 SMP, dan kelas 11 SMA/SMK dalam setahun terakhir pada 2021. Namun dikatakan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Banjarmasin, Muhammad Ramadhan, bahwa kasus kekerasan sejak Januari hingga Oktober 2023 tertinggi dialami oleh anak Perempuan.
Upaya Menangani Kekerasan Remaja
Sebagai upaya mengatasi maraknya kasus perundungan di satuan pendidikan, Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek sejatinya sejak 2021 telah bekerja sama dengan UNICEF Indonesia untuk melaksanakan bimbingan teknik (bimtek) Roots pada 10.708 satuan pendidikan, melatih 20.101 fasilitator guru, dan membentuk 51.370 siswa agen perubahan.
Program Roots adalah sebuah program pencegahan kekerasan, khususnya perundungan. Selama dua tahun pelaksanaannya, program ini telah mendorong 34,14% satuan pendidikan membentuk tim pencegahan kekerasan. Sebagai target pada 2023 ini, bahkan akan dilaksanakan Bimtek Roots secara luring dan daring pada 2.750 satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK, serta melakukan refreshment pada 180 orang fasilitator nasional.
Kemudian dilanjutkan dengan pemerintah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 maka sekolah diwajibkan untuk membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Dari tingkat PAUD hingga menengah atas. Serta adanya Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk pada tingkat Kabupaten, Kota, atau Provinsi dalam mengkoordinasikan Upaya-upaya mencegah dan menangani kasus kekerasan yang terjadi di satuan Pendidikan di bawah kewenangannya.
Islam Menjawab Permasalahan Kekerasan Remaja
Namun demikian, berbagai program antiperundungan dan kekerasan maupun aturan resmi dari pemerintah sebagaimana Permendikbud 46/2023, yang diklaim sebagai aturan sistemis untuk mengatasi kekerasan, dapat dipastikan belum efektif mengurangi alih-alih mengatasi kasus perundungan di satuan pendidikan secara tuntas. Sebagaimana peraturan sebelumnya, misal Tim Sekolah Aman (2016), dan Sekolah Ramah Anak (2021). Sebabnya, kasus kekerasan memang tidak berdiri sendiri, melainkan terkait banyak faktor yang melatarbelakangi tindakan dari setiap pelaku. Dan lebih jauh ketimbang apa yang disebut sebagai bentuk upaya eksistensi diri semata yang berujung pemakluman.
Diantara penyebabnya adalah secara individu para remaja hari ini tidak punya pola pikir dan pola sikap yang kuat dan benar. Sehingga labil dan mudah terpengaruh dengan hal-hal yang buruk. Diperparah dengan standar hidup materialistic, bukan bagaimana hidup untuk meraih ridho Allah SWT. Penyebab lainnya adalah kesalahan pola asuh di dalam keluarga. Dimana orang tua sering bertengkar di hadapan anak, atau bahkan meluapkan emosi dan melakukan kekerasan terhadap anak tersebut. Sehingga anak terbiasa menyelesaikan permasalahan dengan tindak kekerasan.Diperparah dengan lingkungan/ circle pertemanan yang liberal dan sekuler, mudah bagi remaja untuk melakukan kekerasan verbal ataupun fisik. Tidak lagi memandang kekerasan sesuatu yang salah, karena adanya dukungan dari pertemanannya. Penyebab makinmasifnya kekerasan remaja adalah abainya negara menjaga akal dan jiwa para generasi. Seperti tidak adanya larangan tegas terhadap miras. Bebasnya tayangan-tayangan kekerasan di televisi maupun di medsos. Termasuk adanya undang-undang perlindungan anak membuat anak tidak bisa dijerat hukum. Hingga tidak ada efek jera.
Jika ditilik bahwa akar permasalahan munculnya tindakan tersebut sejatinya semuanya adalah sekularisme. Masuknya sekularisme pada sistem pendidikan telah melahirkan kurikulum yang jauh dari agama. Hasilnya, anak didik tidak paham dengan ajaran agamanya. Mereka hanya akan memenuhi keinginannya dengan cara apa saja, termasuk tindak kekerasan dan bully. Prinsip ini lalu melahirkan ide kebebasan, terutama bertingkah laku dan berakidah. Kebebasan berakidah membuat mereka merasa bebas dalam beribadah, mau belajar agama atau tidak, boleh-boleh saja. Akhirnya, lahirlah generasi yang seenaknya memandang agama. Dan tidak menjadikan agama sebagai way of life.
Dalam mengatasi tindak kekerasan dan perundungan, Islam memandangnya sebagai satu kesatuan masalah, yaitu penerapan sekularisme dan liberalisme dalam sistem pendidikan. Oleh karenanya, untuk memberantasnya, perlu mengubah sistem pendidikan sekuler menjadi pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam menjadikan Islam sebagai landasan membuat peraturan terkait pendidikan. Dari landasan itu, lahirlah kurikulum Islam. Tujuannya membentuk anak didik berkepribadian Islam, yaitu yang punya cara pikir dan pola sikap islami. Dalam hal ini, negara akan menanamkan akidah pada pendidikan dasar dan tsaqafah lain di pendidikan lanjut. Dengan begitu, mereka akan memahami mana yang benar dan salah.
Islam pun menuntut negara untuk menerapkan system Islam secara kaffah, tidak hanya dalam system pendidikannya saja. Sehingga penyelesaian masalah kekerasan remaja ini dapat dituntaskan secara komprehensip. Negara harus mengganti system sekuler kapitalis hari ini.
Setelah memahami hal di atas, sebaik apa pun kita menyiapkan program penyelesaian tindak kekerasan dan perundungan, hasilnya akan nihil apabila masih ada di dalam sistem sekuler. Harus beralih ke penerapan sistem Islam secara menyeluruh agar semua masalah dapat selesai secara optimal. Wallahualam bissawab.
Views: 33
Comment here