wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Nasib ‘manusia perahu’ yakni etnis Muslim Rohingya masih belum jelas ujungnya. Muslim Rohingya terasing di negeri sendiri, Myanmar, mereka tidak memiliki kewarganegaraan, diskriminasi, kekerasan hingga pembunuhan di negerinya. Bahkan, pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982.
Hingga jadilah mereka manusia perahu, yang terombang-ambing di lautan, tanpa pertolongan. Hingga kabar datang dari Aceh bahwa pada Selasa (14/11) perahu berisi 194 pengungsi Rohingya berlabuh di Pidie, Aceh. Menyusul kedatangan tersebut, keesokan harinya datang perahu berisi 147 pengungsi lagi ke Pidie. Perahu lain yang berisi sekitar 247 pengungsi Rohingya, Kamis (16/11/2023) mencoba turun di Bireun, Aceh (tirto.id, 19/11).
Dilansir juga dari tirto.id bahwa masyarakat Aceh dikabarkan telah membantu para pengungsi dengan memberikan makan dan minum seadanya, memperbaiki kapal, dan mengecek kondisi kesehatan mereka. Hanya saja, sangat disayangkan para pengungsi kemudian diminta kembali ke kapal, dan dipulangkan ke negeri asalnya. Padahal, kita tahu bahwa, kondisi di lautan amat berbahaya, dan mereka juga belum tentu bisa diterima di negara asalnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa absennya pemerintah pusat dalam hal penanganan pengungsi Rohingya amat disayangkan. Padahal, bulan Oktober lalu Indonesia terpilih dengan suara terbanyak sebagai anggota Dewan HAM PBB. Padahal soal penemuan pengungsi telah diatur dalam Perpres 125/2016 terutama pasal 17 dan 18. Namun, pernyataan berbeda justru diungkapkan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, menyampaikan bahwa Indonesia tak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Hal itu berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi.
Seperti itulah kejamnya sekat nasionalisme, menjadikan negara tersandera legalitas hukum untuk menolong. Bahkan, merasa acuh terhadap orang lain yang bukan dari negaranya sendiri. Padahal, mereka juga manusia yang membutuhkan kehidupan yang layak, tenang, dan terpenuhi hak hidupnya. Seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Mereka tentu berharap pada kita, Indonesia. Sebagai negeri dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Karena Rasulullah Saw. sendiri mengabarkan bahwa sesama muslim kita bersaudara.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzdalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya.” (HR. Ahmad, Bukhori dan).
Kondisi muslim Rohingya diperparah tanpa adanya institusi negara sebagai pelindung mereka. Belenggu nasionalisme senantiasa membawa kerusakan bagi bangsa. Kaum muslim jadi tersekat-sekat.
Oleh karena itu, dibutuhkan sistem komprehensif yakni Khilafah yang mampu melindungi umat dan bangsa di seluruh dunia. Karena dalam Islam, negara tidak memiliki sekat nasionalisme seperti sekarang. Muslim Rohingya memerlukan bantuan pada negeri-negeri muslim di sekelilingnya. Menghadirkan tegaknya Khilafah adalah kewajiban kita umat muslim. Khilafah akan menghapus sekat nasionalisme, menjadikan kita umat yang satu, umat yang saling membantu dan tegak dalam ketakwaan.
Ismawati,
Banyuasin, Sumsel
Views: 17
Comment here