Oleh: Istiati Nurul Aini
wacana-edukasi.com, OPINI– Agresi brutal dan keji telah dilakukan Zionis Israel di tanah Palestina selama bepuluh-puluh tahun. Bahkan rumah sakit pun tak lepas dari sasaran mereka. Lalu, bagaimana respon dari pemimpin-pemimpin dunia terhadap persoalan yang telah menyengsarakan rakyat Palestina selama bertahun-tahun ini? Di berbagai kesempatan mereka terus mengusulkan dan mendorong two-state solution untuk mengakhiri persoalan antara Israel dan Palestina. Resolusi ini disebutkan kembali di Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (KTT OKI) yang diselenggarakan di Riyadh, Arab Saudi pada 11 November 2023. Desakan untuk melakukan two-state solution dari berbagai pihak, bahkan dari pemimpin negara muslim, tentu memunculkan waham yang menyesatkan bahwa pendirian dua negara adalah jalan akhir untuk menyelesaikan permasalahan Palestina-Israel, bahkan kaum muslimin seolah-olah terhipnotis dengan solusi ini. Mengapa demikian?
Pertama, Israel tidak memiliki hak sepeser pun atas tanah di Palestina. Permasalahan Palestina-Israel bukanlah masalah tentang konflik dua negara yang memperebutkan satu wilayah. Masalahnya adalah penjajahan, Israel sebelumnya bukanlah sebuah negara, baik secara de facto maupun de jure. Mereka tidak memiliki tanah air sama sekali. Ide pembentukkan negara ini baru bermula dari Theodore Herzl yang dikenal sebagai Bapak Zionis. Ia menerbitkan buku berjudul Der Judenstaat pada tahun 1896 yang berarti Negara Yahudi.
Kemudian, diselenggarakanlah Konggres Zionis I pada tahun 1897 yang membahas tindak lanjut dari ide pembentukan Negara Yahudi. Untuk membuat suatu negara, tentunya memerlukan wilayah tanah air. Dengan pendekatan agama yang mereka yakini, dipilihlah Palestina sebagai wilayah tanah air mereka dan Yerussalem sebagai ibu kotanya. Maka jelas, bahwa permasalahan ini bukan perebutan wilayah oleh dua negara, tetapi penjajahan wilayah negara oleh kaum penjajah. Jangankan Baitul Maqdis, Tel. Aviv saja bukanlah milik mereka. Artinya, tidak ada sejengkal tanah pun yang berhak dimiliki oleh seorang penjajah.
Kedua, mengakui dan mendukung kolonialisme. Dengan menyepakati pendirian dua negara maka sama saja telah mengakui dan mendukung kolonoalisme. Bukti kolonialisme ini dapat dilihat dengan adanya Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Lewat deklarasi itu pemerintahan Inggris menyetujui ide pendirian Negara Yahudi di tanah Palestina yang diusulkan oleh Theodore Herzl dengan lobi dari Keluarga Rothschild. Sejak saat itu, berdirilah pemerintahan militer oleh Inggris di Palestina yang bertujuan untuk melindungi eksodus penjajah yahudi ke tanah Palestina. Mengetahui hal ini, two-state solution sama saja memberikan penghargaan dan hadiah kepada penjajah. Adanya pengakuan dan dukungan ini akan mendorong kolonialisme-kolonialisme baru di dunia.
Ketiga, mengabaikan kejahatan genosida selama masa pendudukan. Israel benar-benar dibangun dengan mengusir dan membantai ratusan ribu orang dalam proses bertahun-tahun. Pendudukan Israel di tanah Palestina telah memakan banyak korban jiwa. Di mulai dari peristiwa Nakba pada tahun 1948 dan masih berlangsung hingga sekarang. Dengan apa yang telah diperbuat oleh Zionis Israel, seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal bukan diberikan apa yang mereka inginkan, yaitu wilayah negara.
Keempat, mengandung kedzaliman dengan kedok ‘win-win solution’. Paradigma ini lahir dari pandangan liberal. Liberalisme memandang pendekatan terbaik untuk bernegosiasi adalah ketika kedua belah pihak mendapatkan keuntungan dengan solusi yang diberikan. Namun, jika dilihat dari permasalahan sebenarnya pun, yaitu penjajahan, maka two state solution bukanlah win-win solution, tetapi win-lose solution. Win untuk Israel, lose untuk Palestina dan kaum muslimin. Sehingga sebenarnya, win-win solution hanyalah pendekatan yang berpihak pada kaum mereka.
Kelima, melanggar ketentuan syari’at Islam. Dan yang terpenting dari yang terpenting bagi umat muslim adalah adanya pelanggaran ketentuan syari’at. Dengan menyepakati berdirinya dua negara di tanah Palestina, sama saja umat muslim telah membiarkan haknya dirampas oleh kaum dzalim. Padahal, Allah SWT telah memerintahkan umat muslim untuk memerangi siapapun yang merampas hak mereka. Bukannya berdiam diri atau bahkan menyerahkannya. Apalagi ini adalah al-quds (Palestina) yang merupakan tanah yang diberkahi dan disucikan (al-Ardh al-Mubârakah wa al-Muqaddasah).
Selain itu, setelah diadakannya puluhan resolusi untuk dilakukannya two-state solution selama bertahun-tahun, Israel tetap melakukan pencaplokan tanah-tanah di Palestina. Karena tujuan mereka memanglah untuk menjadikan wilayah Palestina milik mereka seutuhnya. Belum lagi track-record kaum mereka yang selalu mengkhianati perjanjian dan selalu berbuat kerusakan. Sehingga, tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa two-state solution hanyalah sebuah halusinasi, bukan solusi.
Jadi, bagaimana solusi yang sebenarnya untuk permasalahan Palestina ini? Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa permasalahan ini adalah penjajahan, sehingga langkah yang seharusnya diambil adalah mengusir penjajah itu sendiri atau dengan kata lain menghilangkan eksistensinya, bukannya memberikan hadiah berupa pendirian negara bagi mereka dengan merampas hak orang lain. Dapat diketahui pula dari narasi sebelumnya bahwa penjajahan Zionis Israel di tanah Palestina mengandalkan kekuatan lobi politik dan militer. Mereka didukung oleh negara-negara barat. Maka untuk dapat melawan mereka, dibutuhkan kekuatan yang sepadan yaitu melalui pembebasan pemikiran, kebijakan politik dan kekuatan militer.
Pembebasan pemikiran umat muslim penting untuk dilakukan. Umat muslim telah terjajah pemikirannya bahwa mereka bukanlah umat yang besar akibat adanya sekat-sekat antar negara yang dibentuk setelah Perang Dunia I oleh Inggris dan Prancis. Saat itulah terpecah-belahnya negeri muslim yang sebelumnya merupakan satu kesatuan di bawah naungan Khilafah Utsmaniyyah. Momen itu juga merupakan awal mula masuknya Zionis di tanah Palestina dan segala kemunduran umat muslim.
Dengan tersekat-sekatnya negeri muslim, negara-negara muslim sekarang tidak memiliki kekuatan yang mandiri dan berada di bawah kendali negara adidaya. Padahal Palestina membutuhkan bantuan politik dan militer. Para penguasa Yordania, Qatar, Mesir, dan Arab Saudi bahkan menolak usulan embargo minyak ke negeri yahudi pada KTT OKI. Padahal bisa saja pemimpin Arab dan dunia Islam memboikot minyak yang digunakan untuk kendaraan-kendaraan tempur zionis, pasokan air, maupun jalur perlintasan militer yahudi di negara mereka. Namun, kondisi negara muslim sekarang yang berada dibawah kendali negara barat menghalangi mereka untuk melakukan upaya tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya negeri muslim memiliki kekuatan mandiri agar terlepas dari bayang-bayang negara barat yang notabene adalah musuh-musuh Islam. Kekuatan yang mandiri ini bisa tercapai dengan adanya persatuan negara-negara muslim. Oleh karena itu, solusi hakiki dari permasalahan Palestina adalah dimulai dengan pembebasan pemikiran, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan politik dan kekuatan militer yang dinaungi oleh satu kepemimpinan yang mampu menyatukan, memimpin, dan melindungi umat muslim tanpa bayang-bayang negara barat.
Wallahu A’lam Bishshawab.
Views: 43
Comment here