Oleh : Irawati Tri Kurnia (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan ribuan perusahaan Sawit diduga ilegal di kawasan hutan, lolos pelegalan berkat Undang-Undang Cipta Kerja (www.cnnindonesia.com).
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, Pemerintah akan terpaksa memutihkan 3,3 juta hektar (ha) kebun kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Izin pelepasan kawasan hutan sendiri tertuang dalam Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Hanif Faisol menjelaskan, ribuan perusahaan itu telah diberi waktu untuk memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam pasal 110 A Undang-Undang Cipta Kerja (www.detail.id).
Pemerintah memberi waktu hingga 3 November lalu agar perusahaan melengkapi dan memperbaiki kelengkapan administrasinya. Dalam pasal 110 a UU Ciptaker dikatakan, perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal 3 tahun. Hanif menyebut, jika perusahaan sawit ilegal itu tidak melengkapi administrasi, maka akan dikenai denda (www.cnnindonesia.com).
Keputusan pemerintah ini direspon oleh Direktur Pusat Kajian dan Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana. Ia menegaskan seharusnya pihak yang menggunakan lahan hutan 3,3 juta hektar tanpa proses yang legal dihukum, bukan malah diputihkan.
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menyatakan bahwa saat ini perizinan paling banyak datang dari lahan sawit di wilayah Kalimantan Tengah, mencapai 516.000 hektar. Diikuti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Adanya sejumlah warga yang mengelola hutan secara ilegal, menunjukkan lemahnya hukum di negeri ini. Sungguh tidak masuk akal, lahan yang begitu luas dan dikelola secara ilegal oleh banyak pihak, tidak diketahui oleh negara dengan perangkat lengkap yang diketahuinya. Apalagi diketahui bahwa hutan adalah kepemilikan masyarakat dan bisa dirasakan manfaatnya oleh siapa pun, bukan malah dikelola oleh segelintir pihak.
Langkah pemutihan yang dilakukan pemerintah menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengusaha dan pemilik modal. Hal ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa politik pemerintahan yang berjalan hari ini adalah politik oligarki. Negara yang menjalankan politik oligarki, akan terus mengabaikan perannya sebagai pengurus rakyat. Penyerahan pengelolaan hutan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, cenderung merusak lingkungan. Juga menggambarkan tata kelola negara di bawah sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah melegalkan konsensi hutan (pemberian izin pengelolaan produksi), dengan alasan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan ekspor. Padahal materi yang diperoleh dari konsensi hutan, tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Kondisi yang berbeda akan kita temukan jika pengelolaan hutan menggunakan aturan Islam, dengan Khilafah sebagai institusi penjaganya. Islam memiliki beberapa ketentuan khas tentang pengelolaan hutan, yang jika diterapkan oleh Khilafah, akan membawa kebaikan bagi kehidupan manusia.
Berikut paradigma dan tata kelola hutan menurut Syariat Islam :
1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Syariat telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan termasuk kepemilikan umum. Ketentuan ini didasarkan pada hadis Nabi saw :
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : yakni air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Hadis ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum (publik), karena memiliki sifat yang sama, yaitu sebagai hajat hidup orang banyak.
2. Pengelolaan hutan dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain misalnya swasta atau asing.
Pengelolaan hutan menurut Syariat, hanya boleh dilakukan oleh Khilafah sebagai negara yang berdasarkan Islam. Sebab pemanfaatan atau pengelolaan hutan, tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana dan dana yang besar. Rasulullah saw bersabda :
“Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan (rakyatnya).” (HR. Muslim).
Demikianlah mekanisme Khilafah dalam mengelola hutan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat.
Wallahu’alam Bishshawab
Views: 15
Comment here