Oleh: Eva Avivah, S. Pd.
wacana-edukasi.com, OPINI– Hampir semua sepakat bahwa ibu adalah makhluk Allah yang luar biasa. Darinya kita dapat belajar tentang arti menjaga apa yang menjadi amanahnya, juga bagaimana mencintai tanpa syarat. Ibu pun menjadi tempat berkeluh kesah bagi anak-anaknya. Ibu merupakan sosok malaikat tanpa sayap yang ada di dunia. Bahkan tak sedikit anak merasa bergantung kepada ibu untuk merasakan kenyamanan.
Namun sayang beribu sayang, dengan segala amanah besar dan pengorbanan tak terbatas yang ia lakukan, tak lantas membuatnya merasakan “tempat istimewa”. Perlakuan tak pantas, justru kerap ia dapatkan. Menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ada sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus. Kekerasan rumah tangga menjadi kasus yang paling banyak terjadi dan mencapai 18.138 korban. (detik.com, 27/6/ 2023)
Tak sedikit langkah yang ditempuh untuk menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya Ibu. Salah satu contohnya adalah Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) 2023. Gerakan HAKTP merupakan sebuah kampanye yang diselenggarakan selama 16 hari. Bertujuan untuk mencegah dan menghapus kekerasan terhadap anak-anak perempuan maupun perempuan dewasa. (tirto.id, 23/11/2023)
Cara Pandang Sekuler Kapitalistik
Hanya saja, bak panggang jauh dari api. Solusi-solusi yang dicanangkan, termasuk di dalamnya HAKTP, nyatanya tak mampu mengangkat harkat dan derajat perempuan, terutama kaum Ibu. Tingkat kekerasan, seperti KDRT tetap merangkak naik. Pelecehan seksual semakin menjamur, korbannya tak pandang bulu, bukan hanya perempuan dewasa, anak kecil pun acap kali disasar. Tak cuma anak perempuan, bahkan anak lelaki sekalipun.
Predikat ibu, bahkan kini menjadi momok. Tak sedikit perempuan yang kini mulai enggan atau bahkan takut menjadi seorang ibu. Takut hamil, takut menyusui, takut tidak lagi disayang suami, bahkan takut terhadap nasib anak-anaknya kelak. Ketakutan-ketakutan ini lahir dari sekian banyak fakta-fakta rusak di tengah lingkungan yang jauh dari mindset Islam.
Gerakan demi gerakan, kampanye demi kampanye, bahkan sampai tataran regulasi nampaknya hanya akan menemukan kebuntuan kalau akar masalahnya sendiri diabaikan. Jika kita amati secara mendalam, berbagai kasus yang menimpa perempuan, khususnya kaum ibu, muncul dari cara pandang yang keliru. Perempuan dipandang sebagai pihak lemah, bahkan dianggap beban. Sebagian memandang perempuan hanya sebagai objek pemuasan nafsu lelaki. Sehingga banyak terjadi eksploitasi terhadap perempuan.
Semuanya lahir dari cara pandang sekuler kaoitalistik saat ini. Betapa rendahnya predikat perempuan, apalagi setelah hamil dan menjadi ibu. Rutinitas mengurus anak dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak produktif. Menyia-nyiakan waktu dan usia. Di saat seperti ini, pengeluaran keluarga akan berlipat-lipat, seiring dengan kelahiran anak yang kedua, ketiga, dst. Tingkat stres sejalan dengan tingkat tekanan-tekanan dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Emosi negatif mudah meluap, suami melampiaskannya kepada istri, karena melihatnya di posisi yang lemah.
Belum lagi kasus yang terjadi pada perempuan dengan peran ganda, sebagai ibu juga berstatus pekerja. Lelah yang bertumpuk padanya, bertemu dengan suami yang haus validasi diri. Ego berbenturan, maka tak jarang kekerasan menjadi buah pahit di setiap pertengkaran. Bertambah pelik, ketika sudah masuk orang ketiga bahkan ke-empat. Retak sudah bahtera, karam sampai ke dasar. Bahkan ada yang berujung pada pembunuhan.
Pandangan Islam
Jauh-jauh hari, lebih kurangnya 14 abad silam. Sosok mulia, kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw., telah datang membawa pembaharuan pemikiran. Kala itu, di zaman jahiliyah, seorang bapak wajahnya memerah, murka, dan malu, karena lahir padanya bayi perempuan, sehingga memaksanya mengubur hidup-hidup bayi tersebut. Prostitusi menjamur, perempuan dipandang hanya sebagai pemuas hasrat seksual lelaki, sebagai hiburan. Atau hanya dianggap sebagai mesin penerus keturunan. Bahkan, tak ada hak waris bagi perempuan.
Lalu Nabi Saw., datang membalik keadaan. Meluruskan pemikiran-pemikiran keliru. Mengenalkan pandangan Islam terhadap perempuan, apalagi dalam posisinya sebagai ibu. Islam memandang perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Padanya ada kemuliaan. Tak ada bedanya perempuan dan laki-laki di hadapan Allah, soal perlombaan meraih gelar takwa. Rahmat Allah pun akan diberikan kepada siapapun, baik lelaki dan juga perempuan, selagi ada iman dalam dada mereka, juga atas ketaatan mereka, seperti termaktub di dalam surat at-taubah ayat 71.
Islam bahkan menempatkan perempuan dalam posisi sangat terhormat melebihi lelaki, pada beberapa hal. Sejak kelahiran, bayi perempuan diberikan kelebihan lewat hadis: “Barang siapa diamanahi Allah seorang putri, bila mati tidak ditangisi, dan bila hidup dididik secara baik, dia dapat jaminan surga.” (HR. Abu Daud dan Hakim).
Tak hanya pada bayi perempuan, teruntuk ibu yang melahirkannya pun, Islam menganugerahi kehormatan tiada tara. Dalam hadis shahih Bukhari dan Muslim disebutkan, “Siapakah orang yang paling utama mendapat perlakuan yang baik?” Nabi menjawab, “ibumu.” “Sesudah itu?” Nabi mengatakan, “ibumu.” “Lalu setelah itu?” Nabi sekali lagi menegaskan, “ibumu.” “Kemudian?” Baru Nabi mengatakan, “ayahmu.”
Hadis di atas merupakan penjelasan dari Al-Qur’an surat Luqman ayat 14 yang artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”
Dan dalam posisinya sebagai istri, Nabi Saw. telah menegaskan: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi). Sehingga, kedudukan suami sebagai qowwam, tidak disalahmaknakan.
Qowwam bukan berarti pemimpin yang otoriter dan menindas, tetapi sebaliknya, pengayom sekaligus pelindung bagi perempuan (istrinya).
Rasanya tidak masuk akal, jika pelindung malah menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Tentu, semua konsep yang diajarkan oleh Nabi Saw., hanya sekadar menjadi teori semata, jika belum kokoh akar keimanan dalam diri seorang Muslim. Kuncinya memang ada pada keimanan. Sejauh mana ketakutan seseorang pada kemaksiatan. Dan tidaklah pohon keimanan itu akarnya tertancap kuat di tanah yang gersang.
Untuk itu dibutuhkan lingkungan kondusif untuk menyuasanainya. Yaitu sebuah sistem yang juga tegak di atas keimanan. Baik di ranah keluarga, masyarakat, pun negaranya. Berpadu dalam penerapan aturan kehidupan yang berasal dari Allah. Karena jika tidak demikian, harapan kenyamanan serta keamanan bagi perempuan, khususnya ibu hanya sebatas impian.
Wallâhu a’lam bish-shawab.
Views: 22
Comment here