Oleh: Ns. Ainal Mardhiah, S. Kep
wacana-edukasi.com, OPINI–Peribahasa “Gemah Ripah Loh Jinawi” yang artinya memiliki kekayaan yang berlimpah, dan syair lagu “Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman”. Inilah kondisi yang mengambarkan Indonesia dengan berjuta pesonanya yang memiliki tanah yang subur. Namun hari ini, kondisi tersebut jauh berbeda. Negara agraris yang mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam dan memiliki lahan pertanian luas justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan.
Dilansir dari Liputan6.com (26/11/2023), berdasarkan catatan dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) didapatkan data bahwa kenaikan bahan pangan terus terjadi peningkatan belakangan ini. Kenaikan pangan yang menerpa Indonesia sudah berulang kali terjadi. Padahal, kenaikan ini biasanya terjadi ketika permintaan melonjak seperti pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). Namun, kenaikan harga pangan terjadi jauh hari sebelum Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 (Nataru).
Harga komoditas pangan terus merangsek naik. Diantaranya, beras kualitas medium, bawang merah, cabai-cabaian, bawang putih, harga daging ayam, telur ayam yang dijual sekitar Rp 28.000 per kg. Ada gula pasir yang mengalami kenaikan selama sepanjang sejarah Indonesia berdiri itu gula pasir paling tinggi hari ini Rp 16.000-16.500 per kilo.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, ada 9 komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga lebih dari 10% dari harga acuan atau eceran yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu, Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian perdagangan (Kemendag) menunjukkan, sejumlah harga bahan pangan pokok bahkan sudah mengalami kenaikan 90% lebih (CNBC Indonesia, 24/11/2023).
Inilah fakta bahwa kondisi pangan Indonesia masih diliputi berbagai persoalan. Indonesia yang merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam dan memiliki lahan pertanian luas justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan. Hal ini mengindikasi bahwa negara tidak serius bahkan abai dalam memenuhi kewajibannya terhadap rakyat atas hak pangan. Distribusi pangan yang tidak merata dan mahal ditambah lagi penimbunan barang yang dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu juga, banyaknya pangan impor yang masuk ke Indonesia khususnya setelah Indonesia memberlakukan politik pintu terbuka yang ditandai dengan hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi Eropa) yang merupakan bentuk liberalisasi pangan yang memperparah krisis pangan Indonesia. Ditambah lagi dengan sejumlah UU pro kapitalis seperti UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 tentang perkebunan.
Inilah salah satu akibat tidak adanya penerapan sistem Islam, yang memunculkan banyak persoalan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan yang menyolusi berbagai bidang kehidupan, termasuk soal pangan.
Islam memandang bahwa sektor pangan adalah salah satu kebutuhan asasi setiap individu yang pemenuhannya wajib dijamin oleh negara atau penguasa. Tanggung jawab tersebut tidak hanya dunia, tetapi juga akhirat.
Oleh karenanya, negara atau penguasa dalam Islam akan berusaha sekuat tenaga agar rakyatnya sejahtera, termasuk mampu memenuhi kebutuhan akan pangan. Caranya adalah dengan menerapkan seluruh syariat Islam yang mengatur secara komprehensif berbagai aspek kehidupan. Sistem pemerintahan Islam akan memberlakukan politik pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.
Sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Selain itu, pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Kebijakan sistem Islam terkait pengelolaan sektor pertanian dalam rangka menopang kedaulatan pangan ini, diantaranya:
Pertama, Pengelolaan lahan pertanian. Hal ini dilakukan dengan menjamin ketersediaan lahan pertanian, mengharuskan setiap orang yang memiliki tanah untuk mengelola tanahnya secara optimal agar terjaga dari alih fungsi yang masif, tidak ada lahan menganggur, serta terdistribusinya lahan kepada pihak yang mampu mengelola.
Kebijakan ini sesuai dengan Ijmak sahabat yang menyatakan, “Siapa saja yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, tanah tersebut harus diambil dari pemiliknya, lalu diberikan kepada yang lain. Di samping itu, negara berkewajiban memberikan modal, memberikan bibit, pupuk, alat pertanian untuk pengelolaan tanah bagi yang tidak mampu.
Selain itu, Islam melarang menyewakan lahan pertanian. Ini berdasarkan hadis, “Rasulullah saw. telah melarang pengambilan sewa atau bagian atas tanah.” (HR Muslim). Disamping itu juga, Islam juga mengizinkan siapa pun warga negaranya untuk menghidupkan tanah mati/yang tidak berpemilik.
Kedua, distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang praktik penimbunan, kecurangan, monopoli dan pematokan harga. Praktik monopoli pasar termasuk kartel adalah cara perdagangan yang diharamkan Islam. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena mereka bebas mempermainkan harga. Negara yang menerapkan sistem Islam akan memberangus praktik-praktik perdagangan yang diharamkan dan akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelakukan.
Ketiga, Kebijakan Industri. Untuk menopang kedaulatan pangan, negara harus menegakkan kebijakan industrinya di atas basis industri berat. Politik industri harus mengarah kepada kemandirian industri yang fokus pada membangun industri alat-alat produksi, bukan sekadar industri untuk konsumsi. Agar semua alat dan teknologi untuk pengembangan pertanian dan pangan dihasilkan oleh industri yang dikuasai sendiri tanpa bergantung asing.
Keempat, mengutamakan kebutuhan pangan dalam negeri, tidak akan mengekspor sebelum pasokan pangan negara tercukupi. Hal ini agar didalam negeri kebutuhan pangan tetap terpenuhi, oleh karena itu, petani dalam Islam posisinya sangat krusial. Sebab di tangan merekalah produksi pangan terpenuhi.
Kelima, Kemandirian dalam riset dan penelitian. Negara harus memiliki kemandirian dalam riset dan penelitian, mulai dari rumusan peta dan arah riset, pembiayaan, hingga pelaksanaannya. Tata kelola riset tidak boleh menggunakan konsep A-B-G (Academic-Business-Governement) ala kapitalisme, tetapi sepenuhnya dalam penguasaan negara. Link and match diatur negara untuk menghubungkan antara aktivitas riset di PT dan lembaga penelitian dengan kebutuhan masyarakat. Ini agar hasil penelitian benar-benar bermaslahat bagi rakyat.
Keenam, Kebijakan anggaran negara harus mengacu pada syariat Islam. Semua anggaran dikeluarkan dari Baitulmal Khilafah dengan ketentuan penganggaran yang sudah disyariatkan, bukan dengan mengandalkan pada pajak dan utang luar negeri. Disamping itu, negara khilafah mempunyai Kadi Hisbah yang bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayib.
Negara berfungsi sebagai ra’in dan junnah, yakni mengatur seluruh urusan umat. Kekuasaan diberikan kepada pemerintah guna menyelesaikan persoalan umat secara keseluruhan. Aturan yang diterapkan oleh negara bersifat independen yang lahir dari aturan Islam dan pelaksaanaannya dikawal oleh negara, mulai dari proses produksi hingga ke tangan konsumen.
Sistem Islam telah terbukti selama berabad-abad lamanya negara ini menjadi negara adidaya yang tangguh dan rakyatnya hidup sejahtera. Oleh karena itu, hanya sistem politik pertanian yang dijalankan Khilafah yang mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis pangan dan menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan terdepan karena syariat Islam datang untuk membangun kehidupan cemerlang yang merupakan obat yang dibutuhkan umat yang hari ini sakit akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal.
Krisis pangan hanyalah satu dari sekian masalah yang lahir dari sistem kapitalis ini. Sudah saatnya kita mencampakkan sistem tersebut dan kembali ke sistem Islam. Wallahu ‘alam bishawab.
Views: 10
Comment here