Oleh : Nia Umma Zhafran
wacana-edukasi.com, OPINI– Menjelang pesta Demokrasi yang sebentar lagi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung menjadi Kabupaten/Kota pertama di Jawa Barat dan Indonesia yang memberikan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan kepada penyelenggara pemilu serentak tahun 2024 dan Pilkada 2024, untuk jajaran KPU dan Bawaslu Kabupaten Bandung, dengan menggelontorkan dana Rp1.5 M terkait BPJS Kesehatan bagi penyelenggara Pemilu 2024, Jum’at (1/12/2023).
Pendanaan ini sebagai bahan evaluasi pemilu 2014 dan 2019 dahulu, yang mana banyak penyelenggara pemilu yang sakit dan sampai meninggal. Sehingga Pemkab tergerak untuk memberikan perlindungan atau proteksi perlindungan diri terhadap penyelenggara pemilu melalui BPJS Ketenagakerjaan. Dimana BPJS akan memberikan penggantian biaya pengobatan, perawatan medis, dan pemulihan kondisi kerja hingga kematian jika terjadi sesuatu saat penyelenggara pemilu menjalankan tugasnya. Anggaran yang digunakan untuk membayar kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggara pemilu ini mencapai Rp 1,5 miliar lebih yang bersumber dari APBD Kabupaten Bandung 2023. (Dara.co.id)
Apakah jaminan kesehatan bagi penyelenggara pemilu tidak akan terulang kembali, seperti kejadian pemilu tahun lalu yang banyak memakan korban?
Pesta demokrasi tahun lalu sungguh memprihatinkan dan mengundang duka, Data Kemenkes (2019): 527 petugas KPPS meninggal, 11.239 orang sakit, banyak medis yang menyebutkan penyebab banyaknya orang sakit dan meninggal akibat dari kelelahan. Namun kejadian yang ada tersebut dianggap remeh, tidak ada pihak manapun yang meminta maaf. Dalam sistem Sekuler-Kapitalis, hilangnya nyawa seakan bukan perkara yang besar. Bukan hal yang biasa kita melihat bagaimana pernyataan pihak yang berwenang yang hanya menyatakan mereka adalah “Pahlawan Demokrasi”. Sungguh tidak sebanding dengan apa yang dialami korban dan keluarga yang ditinggalkan. Padahal, disisi Allah hilangnya nyawa muslim lebih besar perkaranya daripada hilangnya dunia.
Dari berita yang ada, jaminan yang diberikan hanya kepada sebagian wilayah tidak kepada seluruh wilayah di Indonesia. Tentu perlindungan jaminan kesehatan atau kematian terhadap penyelenggara pemilu hanya akan dirasakan oleh sebagian, tidak merata, tidak sampai dirasakan oleh seluruh penyelenggara di Negeri ini. Ini menunjukkan setengah hati penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Tidak ada keseriusan penuh untuk menjamin rakyatnya.
Hal lain yang mencengangkan, Pemerintah mengumumkan anggaran pemilu 2024 yang fantastik. Berkisar Rp 85-110 triliun atau mencapai lebih dari dua kali lipat total anggaran pelaksanaan pemilu pada tahun 2014-2019. Diketahui bahwa anggaran pemilu 2014 tercatat senilai Rp 15.6 triliun, lalu 2019 sebesar Rp 25.6 triliun rupiah. Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan anggaran pemilu serentak yang cukup besar ini tidak terlepas dari rencana pemilu presiden yang diadakan sekaligus dengan DPR, DPRD, serta Gubernur, Bupati dan Walikota, ditambah lagi anggaran itu muncul ditengah kondisi fiskal yang ketat. Yusuf berpandangan meningkatnya anggran untuk pemilu 2024 yang mencapai 6% dari total belanja APBN tidak akan memberikan dampak yang besar pada keuangan negara atau APBN. (Ekonomi.bisnis.com)
Meski demikian, ongkos pemilu tersebut tetap bernilai besar dan sangat berarti bagi rakyat. Sebab, membekaknya ongkos pemilu ini terjadi di tengah kesengsaraan yang menimpa kehidupan rakyat hari ini. Penguasa seolah tidak mampu melihat kesengsaraan masyarakat dengan naiknya bahan-bahan pokok, BBM, hingga naiknya pajak. Tak ayal jika dikatakan penguasa seolah menjadi pihak yang terpisah dari rakyatnya. Mahalnya ongkos pemilu dalam sistem Demokrasi, sejatinya bukanlah sesuatu yang baru dan sangat bisa dipahami. Hal ini terkait dengan paradigma kekuasan dalam sistem ini yang tak lebih dari alat berburu materi dan eksistensi. Dan lebih parahnya lagi pemilu yang digelar lima tahunan dan memakan dana besar ini tidak pernah menghasilkan penguasa yang amanah.
Pasalnya, kontestasi politik yang begitu mahal dalam Demokrasi meniscayakan keterlibatan para pemilik tuan dan dukungan penuh oligarki. Terjadilah politik transaksional, yakni jual beli jabatan dan jual beli kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka. Situasi inilah yang membuat pemilu dan kekuasaan yang dihasilkan selalu jauh dari sisi misi. Sebelum menjabat yang semua pro kepentingan rakyat, pada kenyataannya setelah menjabat semua menjadi lip service, karena penguasa pada akhirnya hanya akan pro pada kepentingan pemilik modal yang berjasa besar dibalik kepemimpinannya. Maka tak heran jika kebijakannya hanya berputar pada kepentingan korporasi sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa.
Berbeda dengan pemilihan pemimpin dalam sistem naungan Islam (Khilafah), pemilihan pemimpin dalam Islam dipastikan berbiaya murah serta efektif menghasilkan pemimpin yang amanah dan berkualitas. Sebab, Islam secara mendasar telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah tentunya menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hati atau sewenang-wenang. Dia akan selalu bersandar pada aturan Ilahi karena takut atas pertanggung jawaban di akhirat. Orang yang maju menjadi pemimpin bukanlah figur gila jabatan, tetapi orang yang terdepan dalam kebaikan. Tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadi negeri ini bertakwa hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi. Maka seseorang yang kurang dalam pemahaman Islam, dengan sendirinya akan menyingkir dari kontestasi, merasa tak layak untuk menjadi imam dari jutaan jiwa dan memimpin mereka di jalan takwa.
Tanggung jawab dan tujuan kepemimpinan tersebut menjadikan calon pemimpin dan output pemilu dalam sistem Islam pasti berkualitas karena kualitas dirinya hakiki dan tak butuh pencitraan. Metode baku pengangkatan pemimpin dalam Islam adalah baiat atau seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan dari umat. Dukungan ini tidak harus berupa pemilu langsung dan menghabiskan uang negara. Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan, yakni rakyat memilih wakilnya lalu majelis ummah ini yang memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan pemilu dalam Islam bersifat langsung. Namun pemilihan langsung bukanlah metode, melainkan teknis yang bersifat mubah, sedangkan metode bakunya adalah baiat.
Islam juga menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dengan batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye. Sehingga tak perlu kampannye besar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar, dan tenaga extra dalam penyelenggaraannya. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana, sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai. Mekanisme inilah yang menjadikan pemilu dalam Islam sangat mudah, murah, aman dan efektif yang menghasilkan pemimpin amanah dan berkualitas. Tanggung jawab besar yang dipikul menjadikan pemimpin yang terpilih dalam Islam berusaha mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui penerapan aturan Islam secara menyeluruh di Indonesia.
WalLaahu a’lam bish-showwab
Views: 7
Comment here