Surat Pembaca

Benarkah Pembukaan Lahan Sawit untuk Rakyat?

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Pembukaan lahan Sawit dengan dalih kepentingan pangan, dinilai merusak lingkungan. Kepala Sekretaris Pangan Lestari, Gina Karina menilai, pembukaan lahan Sawit marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beresiko merusak kondisi alam sekitarnya (www.tempo.co.id). Jika penggarapannya tidak sesuai dengan regulasi yang ada, kata Gina, tanah beresiko tidak bisa lagi digarap menjadi lahan baru yang lebih subur. Tutur Gina, Sawit bukan komoditas pangan  sehingga tidak bisa dijadikan dalih pembukaan lahan.

Perluasan lahan sawit juga menyebabkan ruang hidup rakyat terampas. Kasus terbaru konflik lahan di Seruyan, Kalimantan Tengah. Warga dalam mempertahankan lahannya sampai kehilangan nyawa, demi menuntut keadilan. Diketahui perusahaan swasta PT. HMBP sudah berpuluh tahun tidak menepati janji, dan malah semakin berbuat zalim kepada warga sekitar.

Konflik lahan semakin marak dan mengerikan. Ini karena prinsip kebebasan dalam sistem kapitalisme, membuat para korporat bebas menguasai lahan milik umum. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 14,62 juta hektar pada 2021. Meningkat 0,24% dibanding tahun sebelumnya yang seluas 14,59 juta hektar (www.bps.go.id). Melihat trennya, luasnya cenderung meningkat. Dalam 10 tahun terakhir, luas perkebunan sawit melonjak 60,11%, tepatnya sejak 2011 hingga 2021, dan kepemilikan terbesar dipegang swasta (8,04 hektar). Sedangkan milik rakyat 6,03 juta hektar. Sisanya 550.333 adalah milik negara.

Korporasi selalu ingin ekspansi alias mengembangkan bisnisnya, karena dikondusifkan oleh sistem kapitalisme. Dampak negatifnya ruang hidup rakyat dirampas secara zalim. Negara kapitalisme saay ini memperparah kondisi rakyat karena berlepas tangan dari menjamin kebutuhan rakyat. Negara sebatas regulator yang memuluskan jalan korporasi dengan UU. Bahkan didukung kepolisian dan TNI untuk membantu swasta menindak warga.

Berbeda dengan Islam dalam mengatur lahan. Pengaturannya sangat tegas. Terlihat pada sabda Rasul saat menyoroti orang-orang yang merampas lahan dengan zalim :
“Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat.”(HR Muslim).

Hadis di atas diriwayatkan oleh Sa’id bin Zaid, setelah mengalami sengketa lahan dengan seorang perempuan bernama Arwa binti Uways, yang mengadukan sengketa ini pada Marwan bin Hakam, yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Dinasti Umayyah. Merasa direnggut haknya oleh Arwa binti Uways, Sa’id bin Zaid sampai mengucapkan kutukan :
“Jika benar haknya direnggut, semoga Allah membutakan matanya dan mematikannya di tanahnya.”
Fakta yang terjadi, Arwa buta di sisa hidupnya sampai meninggal.

Islam tidak membenarkan perampasan lahan. Islam mengatur dengan terperinci dan adil, hingga semua manusia bisa menikmati keberkahan lahan. Diantaranya adalah aturan terkait hak kepemilikan yang terhubung dengan hak pengelolaan. Syekh Taqyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzam Iqtishadiy (Sistem Ekonomi dalam Islam) dan Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal (Sistem Keuangan dalam Islam) menjelaskan bahwa konsep kepemilikan lahan terbagi menjadi tiga :

Pertama, Lahan milik individu. Yakni lahan pertanian, perkebunan, lahan untuk kolam, dan lain sebagainya. Ini dikelola dan dimanfaatkan oleh individu seperti dijual, diwariskan, dan dihibahkan.

Kedua, Lahan milik umum, yaitu lahan yang di atasnya atau di dalamnya terdapat harta milik umum; seperti hutan, sumber mata air, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, jalan, maupun laut. Lahan milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu (swasta), sebagaimana yang terjadi saat ini. Lahan milik umum harus dikelola negara untuk untuk kepentingan umum. Contohnya negara membuka lapangan pekerjaan untuk kaum laki-laki sebagai pegawai negara untuk mengelola lahan milik umum. Dengan demikian perempuan dan generasi tidak menjadi tumbal pemberdayaan ekonomi seperti saat ini.

Ketiga, Lahan milik negara. Diantaranya lahan yang tidak berpemilik dan yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun. Lahan milik negara dikuasai negara, dikelola dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara.

Inilah pengaturan Islam terkait hak kepemilikan dan hak pengelolaan. Aturan lahan ini tidak boleh diganggu gugat. Lahan harus dikuasai dan dikelola sesuai dengan ketentuan Islam. Maka untuk menyelesaikan kasus persengketaan alih fungsi hutan yang semakin meluas untuk perkebunan sawit, Islam akan mengembalikan sesuai Syariat.

Hutan milik umum. Tidak boleh dikelola swasta. Negara, dalam hal ini yang bisa melakukannya adalah Khilafah sebagai satu-satunya institusi Syariah secara kafah, akan mengusir dan memaksa para korporat tersebut, mengembalikan harta milik umum kepada Khilafah. Selanjutnya Khilafah akan mengelolanya, termasuk mengatur luasan hutan yang direhabilitasi dan dimanfaatkan sebagai perkebunan sawit. Hasil pengelolaan  akan dikembalikan pada masyarakat dalam bentuk terjangkaunya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Hanya daulah Khilafah yang mampu mewujudkannya.

Wallahu’alam Bishshawab

Irawati Tri Kurnia

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here