wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Di tengah mendarah dagingnya kapitalisme, masyarakat kecil dibuat menjadi buruh bagi perusahaan asing di negerinya sendiri. Banyak masyarakat berlomba-lomba mendaftar menjadi pekerja padahal upahnya jauh di atas kepantasan. Pemikiran seolah dibelenggu. Menganggap menjadi karyawan swasta bagi asing sebagai pilihan kedua setelah kuliah.
Konteksnya bukan berbicara boleh atau tidak boleh, tapi tentang kemerdekaan waktu dan kepentingan. Banyak di antaranya rela melanggar syari’ah, demi menjadi karyawan swasta bagi perusahaan asing. Tak sedikit yang melepaskan jilbab, terbentur persyaratan memasukinya. Tak jarang pula yang lalai akan salatnya karena disibukkan pekerjaannya.
Walau bukan sepenuhnya kesalahan mereka, tapi ini memang didesain oleh sistem kapitalis. Agar masyarakat menengah ke bawah menjadi penggerak sekaligus penyokong perekonomian oligarki. Sedangkan karyawan hanya digaji dengan upah yang jauh dari kepantasan, beserta risiko yang jauh lebih besar.
Seperti kecelakaan kerja di Morowali. Laman voaindonesia.com mengabarkan, pada Minggu 24 Desember 2023, terjadi ledakan tungku pengolahan nikel di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park. Insiden ini berakibat pada meninggalnya 12 pekerja dan 39 pekerja terluka. Kasus-kasus yang sama juga seringkali terjadi. Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan bahwa kebakaran akibat ledakan tungku tersebut, merupakan dampak dari diabaikannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap pekerja lokal. Dan, dampak dari investasi Cina di Morowali yang menyebabkan upah murah. (cnnindonesia.com, 24/12/2023)
Ketika buruh dibayar murah, sedang risiko kerja begitu tinggi, harusnya negara hadir. Pemerintah sudah semestinya turun tangan untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan besar, agar memberikan upah yang pantas dan sebanding dengan resikonya. Tapi di tengah sistem kapitalis, penguasa justru menjadi perpanjangan tangan para pengusaha bahkan dikendalikan oleh segelintir orang kaya. Nampak dari pemberlakun aturan yang memihak, tanpa memikirkan apakah aturan itu merugikan rakyat. Atau, apakah sudah sesuai dengan syariat.
Islam sebagai sebuah mabda, mengatur bagaimana posisi penguasa dan pengusaha, dalam sistem politiknya. Seperti saudagar kaya Abdurahman bin Auf yang menyokong kepemimpinan Rasulullah dalam menyejahterakan rakyatnya. Sampai-sampai ada penduduk Madinah yang berkata bahwa seluruh masyarakat di sana berserikat dengannya. Dari hartanya sepertiga dipinjamkan kepada masyarakat madinah, sepertiga membayari utang-utang masyarakat madinah, sepertiga lainnya dibagi-bagikan kepada masyarakat Madinah.
Terlihat sekali perbedaannya, bagaimana Islam mengatur dan bagaimana sistem kapitalis mengatur posisi penguasa dan pengusaha. Dalam sistem Islam, baik penguasa dan pengusaha, sama-sama memiliki satu tujuan, yaitu kemaslahatan umat. Saling menyokong dalam satu visi akhirat. Rida-nya Allah menjadi tujuan bersama. Masing-masing memahami adanya konsep penghisaban. Bahwa hidup mereka di dunia hanyalah batu loncatan menuju kehidupan abadi. Menjadi penguasa itu amanah, semata demi melaksanakan hukum-hukum Allah. Begitupun bagi pengusaha, mereka sadar kekayaan yang didapat asalnya dari Allah. Titipan yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Didapat bukan dari hasil meng-eksploitasi keringat para pekerja. Dikeluarkan pun di jalan Allah semata. Bukan demi ambisi sesaat di dunia.
Namun, dalam sistem kapitalis, penguasa hanya menjadi pemulus bagi aturan-aturan yang dapat melanggengkan perekonomian para pemilik modal. Dengan memeras keringat rakyat untuk menjadi pekerja. Keduanya bersepakat dalam frame: saling menguntungkan. Tidak ada pertimbangan soal halal haram, atau apakah Allah rida atau murka. Pandangannya berhenti hanya sampai di kehidupan dunia.
Maka sangat tidak aneh, jika di tengah sistem kapitalis ini, yang kaya makin kaya. Dan yang miskin tetap dalam kemiskinannya, sekali pun sudah berusaha sekuat tenaga bekerja dari pagi hingga petang. Bahkan sampai resiko tertinggi, yaitu hilangnya nyawa. Pekerja hanya pion catur yang siap dikorbankan, bagi jalan sang raja. Adilkah jika ini terus terjadi. Siapkan ruang kekecewaan, bila menganggap masih ada kebaikan dalam sistem ini. Karena tidak akan ada kebaikan dari sistem yang mengada-adakan aturan sendiri dan mendurhakai kalam Tuhan.
Wallahu a’lam bish-shawwab
Views: 17
Comment here