wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Pemerintah kembali berencana mengimpor 3 juta ton beras tahun ini. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah melalui Perum Bulog telah menandatangani kontrak impor beras sebanyak 1 juta ton dari India. Tak hanya itu, Presiden juga bercerita bahwa dirinya berhasil mengamankan impor beras sebanyak 2 juta ton dari Thailand.
Dilansir oleh CNBC Indonesia, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit mencapai swasembada. Terlebih lagi, jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah.
Impor beras sejatinya menjadi solusi pragmatis persoalan kelangkaan beras. Tentu saja ini bukan solusi mendasar dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Solusi impor justru menggambarkan belum terwujudnya keamanan dan kedaulatan pangan di negeri ini.
Semakin tinggi nilai impor suatu negara menunjukkan semakin tinggi ketergantungan atau ketidakmandiriannya dalam memenuhi kebutuhannya. Tentu saja, kondisi ini akan menyebabkan Indonesia terjajah secara ekonomi. Bahkan, sejak reformasi, globalisasi atau liberalisasi impor semakin masif.
Liberalisasi pangan ini terlihat sekali pada kebijakan kapitalistik yang diterapkan saat ini. Indonesia telah meratifikasi konsensus Washington, yaitu kebajikan yang mengharuskan Indonesia melakukan penghapusan atau pengurangan subsidi dalam sektor publik, termasuk pertanian.
Tentu saja liberalisasi pangan merugikan masyarakat, termasuk kalangan petani. Pada waktu musim tanam, petani dihadapkan pada harga pupuk yang mahal, benih yang mahal, hingga obat-obatan yang mahal. Sementara, memasuki waktu panen harga padi menjadi murah karena pemerintah tak menghentikan impor.
Indonesia menjadi negara importir pangan, tentu membahayakan sektor pertanian negeri ini. Banyak petani yang beralih profesi karena berkurangnya lahan pertanian dan kebijakan impor yang merugikan. Bahkan, ancaman regenerasi petani sudah di depan mata.
Oleh karena itu, impor beras bukanlah solusi, justru pada kebijakan ini lahirlah mafia perdagangan. Seharusnya, Negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan kemandirian pangan dan industri hulu.
Dalam Islam, perhatian Negara akan dicurahkan pada pengelolaan pertanian agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi. Dalam konteks kebutuhan pangan, hal ini sangat penting dijamin oleh Negara. Negara harus memperlihatkan peningkatan produktivitas pertanian, membuka lahan-lahan baru, kehidupan tanah mati serta pelarangan terbelangkainya tanah.
Negara melarang praktek penimbunan barang termasuk menimbun bahan pangan pokok karena akan menyebabkan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok. Jika itu terjadi, Negara harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun melalui perjanjian multilateral, seperti: WTO, FAO dan lain-lain. Hal ini karena sangat membahayakan kedaulatan pangan negara.
Dalam hal distribusi, apabila ada rakyat yang mengalami kesulitan dalam mengakses pangan, maka Negara wajib turun tangan dengan mencari akar permasalahannya. Bila persoalan terjadi pada kurangnya pasokan akibat paceklik di wilayah tersebut, maka Negara harus mengadakan dari wilayah yang lain. Bila terjadi karena ada penimbunan, maka Negara akan melakukan tindakan tegas kepada para menimbun.
Semua itu dilaksanakan melalui mekanisme yang cepat, pendek dan merata sehingga seluruh individu rakyat dengan mudah memperoleh hak-haknya.
Miftahul Jannah
Aktivis Muslimah
Komunitas Kalam Santun
Views: 6
Comment here