Opini

Kritikan Alat Muhasabah Penguasa, Jangan Dibungkam!

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh. Yana Sofia (Aktivitas Muslimah, Pemerhati Umat)

wacana-edukasi.com, OPINI+– Polemik UU ITE kembali mencuat setelah wacana perbaruan untuk UU ini disahkan oleh Presiden Jokowi pada awal tahun 2024. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengungkapkan bahwa revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, dan informasi palsu. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan mengancam publik khususnya bagi pengamat yang vokal menyuarakan aspirasinya. (Kontras.org, 5/1)

Dalam website resminya, KontraS mengungkapkan  UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, KontraS menyebutkan bahwa UU ITE telah berulang kali mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia, jurnalis, hingga sipil pengguna sosial media yang mengkritisi kebijakan penguasa. Koalisi Serius sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga tidak sedikit yang menilai UU ITE bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang lawan politik yang berseberangan.

Fungsi Kebijakan

Sejatinya, UU dalam dalam kehidupan bernegara adalah untuk menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan masyarakat, demi menciptakan ketentraman dalam bernegara. Karena itu, UU tidak boleh mengabaikan aspek keadilan dan menjadi alat penguasa menekan rakyat, karena ditakutkan hal ini akan berujung konflik antara penguasa dan rakyat. Hubungan penguasa dan rakyat semakin berjarak, sehingga kedamaian pun sulit diraih.

Bukan sekali dua kali kita mendengar polemik UU ITE yang mengancam kebebasan pers. Telah banyak kasus di mana masyarakat yang ingin melakukan muhasabah kepada penguasanya lewat sosial media malah dibungkam, dipersekusi, bahkan dipenjara. Tidak ada lagi persahabatan yang baik antara rakyat dan penguasa. Karena salah satu aspek penting dalam kehidupan bernegara yakni muhasabah lilhukam (mengoreksi penguasa) telah mengalami jalan buntu akibat UU ITE yang bermasalah.

Terlebih, dalam sistem sekuler kapitalisme ada banyak kerugian yang dialami rakyat akibat sistem buatan Barat ini cenderung memihak pemodal dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Pada praktinya, penerapan ide batil sekularisme membawa umat kejurang masalah dan kemunduran dalam bidang ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan.

Tak bisa dimungkiri, bahwa setiap kritis keras terhadap penguasa ada sebab-akibat yang melatarbelakanginya. Baik atas kebijakan maupun kinerja penguasa yang lamban dalam menangani berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan hajat isu-isu genting, seperti mengentaskan problem pengangguran yang diharapkan bisa menyelesaikan problem kemiskinan yang terstruktur. Rakyat tidak akan mengkritik penguasa jika hajat hidup terpenuhi, jauh dari masalah kemiskinan, dan problem lain yang berkaitan dengan hak publik.

Penuh Masalah

Sayangnya, segenap kebijakan yang lahir dari ide sekularisme telah melahirkan berbagai macam masalah yang menghantam kehidupan umat. Baik dalam bidang ekonomi, pembangunan, kesehatan, dll. Penerapan sistem ekonomi ala kapitalisme telah mengorbankan SDA kita yang melimpah untuk dinikmati asing, sementara rakyat sendiri hidup di garis kemiskinan, bahkan kelaparan karena rakyat tidak memiliki hak dan kedaulatan atas SDA yang telah diprivatisasi tersebut.

Dalam sistem pembangun dan transportasi umum, ada banyak fasilitas publik yang tidak layak guna.  Pembangunan infrastruktur publik seperti jalan dan jembatan tidak memenuhi syarat dan tata kelola. Sehingga tak heran, kita temukan sarana transportasi publik tersebut dalam kondisi rusak parah. Problem ini ada di seluruh wilayah Indonesia.

Pelayanan kesehatan yang buruk juga tidak bisa kita abaikan, khususnya di desa-desa. Baik itu tenaga medis, obat-obatan, hingga administrasi pelayanan kesehatan yang berbelit-belit. Masalah ini biasanya dialami oleh warga yang jauh dari pusat kota Seperti Aceh dan Papua, fasilitas kesehatan di dua daerah tersebut dinilai sangat buruk. Tak jarang pasien mengeluh, bahkan meninggal karena telatnya penanganan.

Ada banyak sekali masalah yang telah dilahirkan oleh ide sekuler dan kapitalisme saat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga memicu rakyat untuk mengeluh kepada penguasa, khususnya dengan memanfaatkan media sosial. Sebagaimana kita tahu, sistem pendidikan yang bermasalah berimbas pada rendahnya kualitas individu dalam masyarakat, maka tak heran kira menemukan individu-individu yang minim literat, mudah terbawa suasana dan akhirnya melanggar UU ITE dalam mengemukakan pendapat.

Kewajiban Negara

Karena itu, negara wajib mengembalikan perannya sebagai periayah (pengurus) urusan masyarakat. Penguasa tidak boleh abai dalam memenuhi hak masyarakat baik itu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, juga keamanan bagi seluruh rakyat. Pemimpin adalah perisai, sosok yang menjadi tempat rakyat berlindung dari berbagai ancaman dan bahaya. Karena itu, penguasa wajib menjamin seluruh masyarakat hidup dalam sejahtera, lahir dan batin. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Di samping itu, keberadaan media seharusnya memiliki peran strategis baik dalam mencerdaskan umat maupun sebagai penyalur aspirasi rakyat dan alat muhasabah perangkat negara. Ketika rakyat mengeluh dan meluapkan emosinya di sosial media itu berarti ada yang kurang di sisi periayahan oleh penguasa. Sebagai pengayom masyarakat, negara harus segera menindaklanjuti keluhan rakyatnya. Menyelesaikan konflik dengan penuh tanggung jawab agar kembali tercipta keharmonisan antara rakyat dan penguasa. Tentunya, selama keluhan ini berhubungan dengan hal-hal jemaah dan kepentingan masyarakat, bukan emosi pribadi yang tidak ada hubungannya dengan negara. Pengaturan media dan penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga keharmonisan hubungan rakyat dan penguasa.

Atas dasar ini, tidak patut bagi penguasa melarang rakyat untuk mengutarakan pendapat di sosial media, dan menargetkan rakyat sebagai pelaku pelanggaran karena menguarakan aspirasinya. Sebaliknya, negara wajib menelaah masalah yang menjadi sumber konflik internal antara rakyat dan penguasa, tidak lain karena ide sekularisme yang diterapkan dalam kehidupan. Negaralah yang bertanggung jawab untuk menyolusi problem struktural ini, mengganti sistem sekularisme yang menjadi akar masalah, dan mencabutnya dari kehidupan umat. Sudah saatnya Indonesia berbenah, mengembalikan sistem Islam sebagai satu-satunya metode kepemimpinan yang diajarkan Rasulullah sebagai uswatun hasanah, untuk mengembalikan kejayaan di masa lalu, agar tercipta rahmat bagi sekalian alam. Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Anbiya ayat 107, ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin)”.

Wallahua’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here