Oleh: Murni, S.E. (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Banjir seolah-olah menjadi cerita yang tak pernah luput absen di negeri ini. Ibarat sebuah kado, menjadi kado pahit bagi wilayah-wilayah yang notabene rawan banjir dikala musim hujan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat sedikitnya 6.000 orang dari sejumlah daerah di provinsi tersebut mengungsi akibat rumah, lahan dan tempat usaha mereka terdampak banjir sejak beberapa pekan terakhir ini.
Banjir yang menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum, seperti jalan, masjid dan sekolah. Sebanyak 29 SMA/sederajat di Riau meliburkan siswa mereka, karena ruang kelas terendam, begitu juga untuk sekolah dasar. (CNN Indonesia)
Jumlah korban banjir di Provinsi Riau terus bertambah. Pihaknya mencatat jumlah warga Provinsi itu yang mengungsi akibat banjir sudah mencapai 6.467 jiwa dan jumlah pengungsi terbanyak adalah warga Kabupaten Rokan Hilir, yakni 3.992 orang lantaran rumah mereka terendam banjir.
Persoalan banjir yang melanda Riau begitu serius dan sistemis. Perlu perumusan yang serius untuk menggali akar persoalannya sehingga solusi yang akan dilakukan tepat pada sasaran.
Pasalnya, Riau dikenal sebagai salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah sumber daya alam melimpah, yakni sumber daya alam utama berupa minyak dan gas bumi (pertambangan), karet/perkebunan, juga kelapa sawit. Belum lagi hasil tambang yang begitu menggiurkan di Provinsi Riau yang mencakup timah dan beberapa jenis bahan galian seperti bauksit dan emas.
Tak heran banyak perusahaan pertambangan betah untuk terus mengeksploitasi SDA Riau, terjadilah perubahan iklim menjadi pemicu cuaca ekstrem dalam hal ini banjir yang sulit terbendung.
Sementara analisa dan dampak lingkungan yang dipandang sebagai pengendali mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan. Sementara penopang banjir hutan dan lahan dipandang sebagai komoditas yang bebas dimiliki dan dimanfaatkan bagi siapa saja untuk kepentingan mereka.
Padahal kerusakan yang ditimbulkannya berakibat buruk pada banyak orang yang akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius karena adanya alih fungsi hutan yang begitu cepat.
Perampasan ruang hidup pun terus bergulir. Hal ini sejalan dengan Proyek Strategi Nasional (PSN) oleh pemerintah yang pembangunannya maraton dan fenomenal, tanpa memikirkan dampak buruk bagi warga terdampak, merampas hak hidup mereka, hak kenyamanan lingkungan, mata pencaharian juga nyaris kehilangan tempat tinggal.
Sebagai muslim, tentunya kita mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas izin Allah yang Maha Kuasa. Jika kita diberi musibah, maka kita diperintahkan untuk bersabar. Akan tetapi, tentu tidak cukup hanya dengan bersabar. Musibah tersebut harus disikapi dengan menjadikannya momentum untuk muhasabah diri, dari apa yang telah kita lakukan terhadap lingkungan.
Agar banjir ini tidak terulang terus menerus, maka perlunya langkah yang diambil secara tepat dan sungguh-sungguh baik dari rakyat terlebih pemerintah. Terutama pemerintah, perlunya mengeluarkan regulasi-regulasi terkait tindakan preventif maupun kuratif dalam penanganan pencegahan banjir. Bukan fokus pada UU Minerba yang pro para investor asing dan aseng.
Inilah masalah sistemik jika tata kelola lahan diserahkan pada mekanisme ala pengelolaan kapitalisme. Dimana hak kebebasan berkepimilikan diberikan sepenuhnya kepada para pengusaha atau kapital untuk mengelola tanpa memperhatikan dampak buruk yang ditimbulkan nantinya, namun bagi mereka hanya berorientasi pada keuntungan yang didapat bukan dampak yang merugikan rakyat.
Sudah saatnya kaum muslim meninggalkan sistem sekuler yang hanya menyebabkan kesengsaraan. Islam lah yang memiliki solusi satu-satunya untuk mengatasi banjir juga genangan air.
Islam memiliki institusi politik yaitu Khilafah Islamiyah yang memiliki kebijakan yang efektif dan efisien. Dimana kebijakan itu memperhatikan dari sisi aspek sebelum, ketika dan pasca banjir. Dengan kebijakan ini, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas. Tentu saja hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam dimana pengelolaan lingkungan sangatlah diperhatikan dengan upaya semaksimal mungkin sehingga tidak akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hingga mengakibatkan banjir, bencana pun dapat dicegah diantaranya :
Pertama, negara akan memetakan daerah-daerah yang rawan terkena genangan air dan membangun saluran baru agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal.
Kedua, menetapkan sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup, seperti cagar alam yang harus dilindungi.
Ketiga, adanya penanganan maksimal dari negara terhadap para korban bencana. Bukan dengan sikap pembiaran yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Dengan demikian, musibah yang menimpa manusia adalah qadha dari Allah SWT, namun dibalik itu juga ada fenomena alam yang menjadi muhasabah termasuk ikhtiar dan usaha untuk menghindarinya sebelum terjadi. Sehingga bencana dapat dihindari dan meminimalisir jumlah korban. Maka saatnya kembali pada sistem yang berasal dari Sang Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Bukankah aturan Islam jauh lebih baik dari aturan manusia sebagai hamba ?
Wallahu A’lam Bishshawab
Views: 63
Comment here