Oleh MbakZah
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Baru-baru ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana dari luar negeri sebesar Rp 195 miliar rupiah, tujuannya untuk ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol di sepanjang 2022-2023. Kepala Biro Humas PPAT, Natsir Kongah mengatakan langkah PPATK mengungkap aliran dana luar negeri ke parpol sebagai bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi Tanah Air. Dikutip CnbcIndonesia, Jum’at (12/01/2024)
Aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing, menunjukkan bahwa pemilu saat ini berpotensi hanya sarat kepentingan asing semata, sehingga wajar dipengaruhi oleh konflik kepentingan. Seharusnya kita wajib waspada terhadap bahaya di balik pendanaan tersebut, yaitu tergadaikannya kedaulatan negara. Sehingga pemimpin yang terpilih tidak mengurusi urusan umat, melainkan mempermudah agenda-agenda atau kepentingan pihak-pihak yang telah memberi pendanaan tersebut.
Inilah sebuah kondisi yang telah nyata terjadi di negeri ini, kita bisa melihat ke arah mana pembangunan penguasa saat ini, yang hanya untuk memperbesar investor asing. Misalnya, proyek kereta api cepat, proyek Rempang Eco City, dan infrastruktur lainnya. Peran para korporat semakin mengeruk kekayaan negeri kita. Ini membuktikan bahwa penguasa hanya bekerja untuk pihak kapital bukan semata untuk menjalankan amanah dari rakyat. Maka tak heran jika menggunakan dana pemilu dari asing.
Terlebih, politik demokrasi berbiaya tinggi. Pengesahan kepemimpinan dalam demokrasi berdasarkan suara mayoritas membutuhkan kepercayaan temporal yang membutuhkan biaya untuk pencitraan pemimpin. Karena itu, diperlukan dana besar untuk meraup suara. Di sinilah peluang pemilik modal berpartisipasi dalam pemilu, dan tentunya setelah mengucurkan dana mereka pasti ingin mendapatkan bagian. Akibatnya, parpol dalam sistem demokrasi kehilangan indealismenya, bahkan rawan dilenyapkan oleh kepentingan pemodal. Dan bahkan siapapun terpilih, maka oligarkilah pemenangnya.
Jika pemilu dalam demokrasi hanya akan melahirkan penguasa oligarki, berbeda dengan pemilu dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Pemilu dalam sistem Khilafah, hanya dijadikan sebagai cara atau uslub, bukan metode baku pengangkatan kepala negara. Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara adalah bai’at syar’i.
Dalam sistem Khilafah, Khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginannya dan hukum manusia. Tetapi untuk menjalankan hukum Allah, kewajiban seorang penguasa untuk menerapkan syariat Islam.
Berdasarkan (QS. Al-Maidah:48),
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ
Artinya: “Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya). Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.”
Jelas disebutkan dalam surat Al-Maidah, penguasa haram menjalankan hukum yang bukan syariat Islam, sebagaimana pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini. Berdasarkan (QS. Al-Maidah: 44)
اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبّٰنِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًاۗ وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengannya para nabi, yang berserah diri (kepada Allah), memberi putusan atas perkara orang Yahudi. Demikian pula para rabi dan ulama-ulama mereka (juga memberi putusan) sebab mereka diperintahkan (oleh Allah untuk) menjaga kitab Allah dan mereka merupakan saksi-saksi terhadapnya. Oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Oleh sebab itu, pemilu dalam Khilafah hanya sebagai uslub untuk memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. Begitu pula dalam proses pemilihan pemimpin, berjalan dengan sederhana, efektif, efisien dan hemat biaya, serta menjalankan amanah sesuai tuntunan Allah dan RasulNya. Wallahua’lam.
Views: 16
Comment here