Surat Pembaca

Krisis Air, Dampak Masifnya Pembangunan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nia Umma Zhafran

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Akhir-akhir ini warga Kabupaten Bandung banyak yang mengeluhkan ketersediaan air yang kian menyusut. Dilansir dari JabarEkspres.com (16/01/2024), dampak penyusutan air di wilayah Kabupaten Bandung terjadi karena pesatnya pembangunan, sehingga beralih fungsi lahan. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang menerangkan bahwa penyusutan air bawah tanah di Kabupaten Bandung banyak diintervensi oleh industri bisnis properti seperti perumahan, apartemen, villa, hotel, mal dan lain sebagainya. Dimana hal ini diprivatisasi oleh perusahaan, yang tentunya menjadi ancaman yang berdampak terhadap rusaknya lingkungan hingga potensi krisis air bagi masyarakat.

Berdasarkan data Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2023 hingga 2043 Kabupaten Bandung, wilayah Kecamatan Baleendah dari sisi ketersediaan air sudah minus 9.559.297 liter per tahun. Selain itu, penyusutan air juga terjadi di Kecamatan Bojongsoang, Ciparay, Arjasari, Katapang, Soreang, Majalaya, Solokan Jeruk, Cicalengka dan Kecamatan Rancaekek.

Iwang menilai, apabila pengambilan air bawah tanah yang dilakukan terus dilanjutkan, tanpa dilakukan pembatasan oleh pihak Pemkab Bandung, maka dampaknya akan semakin memperburuk situasi air bawah tanah ketika terus dieksploitasi secara berlebihan. ada pembatasan secara serius oleh pemerintah. Pemkab Bandung harus memiliki kekuatan dengan menjalankan undang-undang otonomi daerahnya untuk mejaga kawasan tersebut.

Kita ketahui air merupakan kebutuhan vital manusia. Air yang tersedia di dalam tanah dan permukaan bumi, ternyata pengaturannya tidaklah sesederhana itu. Masifnya pengalihan fungsi lahan malah berakibat bencana dan kesulitan hidup bagi rakyat. Rakyat kehilangan ruang hidup dan menjadi korban bencana alam seperti banjir, tanah longsor, hilangnya sumber air, punahnya ekosistem dan lainnya.

Maraknya eksploitasi lahan merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Seolah berkembangnya pembangunan hanya bisa diperoleh dengan mengorbankan lingkungan. Dimana pertumbuhan ekonomi dinomorsatukan. Pengalihan fungsi lahan dengan menekan pembangunan yang diberikan pada swasta diraih demi pertumbuhan ekonomi negara. Yang ada makin menyusahkan rakyat.

Sistem kapitalisme ini menuhankan keuntungan materi. Jadi, segala cara halal dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan menjadi suatu tujuan dalam setiap perbuatan. Negara seolah berlepas tangan dari kewajiban dalam mengolah lahan untuk kemaslahatan rakyat. Mengundang investor menjadikan lahan untuk pembangunan sebagai “jalan ninja” pemerintah untuk menyelesaikan permalasahan ekonomi. Inilah praktik swastanisasi atau privatisasi. Sehingga berdampak pada sulitnya air. Dari kondisi krisisnya air yang seharusnya barang publik diposisikan sebagai barang ekonomi. Dengan demikian, tampak jelas bahwa privatisasi merupakan kebijakan yang buruk karena merugikan negara dan rakyat.

Berbeda dengan Islam. Dimana sistem Islam, manusia diperintahkan untuk menjaga kelestarian alam dan tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi. Pembangunan seharusnya bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat sehingga dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, bukan dengan cara yang eksploitatif. Pembangunan di dalam sistem Islam akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi manusia, alam dan makhluk lainnya.

Keberadaan sumber air merupakan urusan yang bersifat komunal, karena sumber air digunakan secara bersama-sama oleh masyarakat. Karenanya, butuh pengaturan negara untuk menjamin pemenuhannya. Ketersediaan air dibutuhkan oleh seluruh warga secara bersama-sama, maka sumber air tidak boleh diprivatisasi. Negara akan mengelola sumber air sehingga semua rakyat bisa menikmatinya secara gratis. Perusahaan swasta tidak boleh memprivatisasinya.

Pada masanya, Negara Islam dalam bingkai Khilafah mampu mencukupi kebutuhan air bagi rakyat. Khilafah membangun berbagai infrastruktur untuk menyalurkan air. Khilafah membangun banyak bendungan dalam mencegah krisis air. Yakni, pada masa Khalifah Fannakhusru bin Hasan (324—372 H/936—983 M), yang lebih populer dengan nama Adud ad-Daulah. Beliau digelari Khalifah Pembangun Bendungan karena begitu banyak membangun bendungan untuk menjamin ketersediaan air bagi rakyatnya. Sungguh, Khilafah yang mampu menyediakan air bagi rakyatnya karena memposisikan dirinya sebagai pengurus dan penanggung jawab, bukan sebagai pedagang dan rakyat sebagai pembelinya sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.

WalLaahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here