Oleh : Ayu Winarni
wacana-edukasi.com, OPINI– “Mungkin kita sedang lupa cara jadi manusia. Harusnya sebarkan cinta, bukan hancurkan dunia. Hidup bukan hanya tentang tumpuk harta atau berlomba jadi penguasa. Apalah artinya kita tanpa semesta. Lindungilah satu rumah kita.”
Sepenggal lirik lagu yang dibawakan oleh Fiersa Besari dengan judul Alam Bukan Tempat Sampah. Dilihat dari judulnya, menggambarkan bahwa bumi ini bukan tempat sampah yang bisa dikotori sembarangan oleh siapapun. Namun sangat disayangkan, hari ini alam tak saja kotor namun telah mengalami kerusakan yang parah.
Dikutip dari Katadata (29/12/2023), bahwa luasan hutan di Indonesia berkurang sebesar 1,3 juta hektare selama periode 2018-2022. Selama 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha.
Luas hutan juga berkurang di semua pulau besar lainnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023 (CNN Indonesia, 12/1/2024)
Kebijakan Kapitalis
Hutan merupakan tempat tinggal bagi berbagai jenis flora dan fauna. Hutan juga memiliki berbagai fungsi penting untuk menjaga keseimbangan dan kesejahteraan makhluk hidup. Tidak heran jika hutan mendapat julukan sebagai paru-paru dunia.
Namun apalah daya, sistem kapitalis yang tengah berkuasa, perlahan membuat manusia seolah lupa cara jadi manusia. Sistem kapitalis ini membuat manusia menjadi orang yang sombong. Bagaimana tidak? Hutan yang memiliki peran penting menghasilkan oksigen justru perlahan ditiadakan. Begitulah tabiat dari sistem kapitalis ini yang meniadakan keberadaan Tuhan kecuali pada sedikit saja aktivitas, namun itupun dibatasi.
Sistem kapitalis ini hanya berorientasi pada peroleh manfaat saja, tidak pada yang lain, apalagi pada agama (halal dan harom), jelas tidak! Karena memang, sistem ini lahir dari negara-negara kafir Barat yang tidak meyakini adanya Tuhan. Barat menggunakan taktik dengan dalih pembangunan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Inilah yang tengah terjadi sekarang di Indonesia. Dengan dalih pembangunan, hutan atau daratannya kemudian dijual kepada investor asing. Dikutip dari Katadata (19/1/2024) dalam laporan Global Forest Reviewdari World Resources Institute (WRI) bahwa Indonesia masuk urutan ke dua sebagai negara paling banyak kehilangan hutan yakni sebesar 10,2 juta ha selama periode 2002-2022.
Dalam keterangannya, Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring menyebut setidaknya kurang lebih 57 persen daratan Riau telah dikuasai investasi. Dari total tersebut, pemerintah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 19 pertambangan.
Lagi-lagi, atas nama investasi, pemerintah justru mengeksploitasi hutan secara masif. Adanya ketentuan yang termuat dalam pasal 110 A dan pasal 110 B Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK), telah memberikan peluang kepada mafia sawit untuk melegalkan sawit ilegal di kawasan hutan, bahkan dilakukan dengan pemutihan lahan sawit.
Bahaya Mengintai
Masifnya deforestasi, sama halnya dengan menghendaki bahaya terjadi.
Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”(TQS. Ar-Rum ayat 41)
Ayat ini dengan gamblang menyebutkan bahwa manusialah penyebab terjadinya berbagai musibah. Maka jika kita mendapati berbagai musibah tengah melanda negeri ini, harusnya kita merenungi firman Allah SWT. dalam ayat di atas.
Namun, sistem kapitalis meniscayakan adanya kesenjangan antara kelestarian lingkungan dan pembangunan, apalagi keuntungan sebagai sesuatu yang sangat dominan akan menjadi tujuan. Padahal keuntungannya tak seberapa dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan dari deforestasi ini. Deforestasi ini akan mengakibatkan terjadinya bencana yang akan menyebabkan kesulitan hidup bagi rakyat.
Ketentuan Syara’
Islam adalah agama yang mengatur segala sendi, dan tak ada satu perkara yang luput dari pengaturannya, termasuk masalah perhutanan. Dalam Islam, hutan termasuk ke dalam pemilikan umum.
Syara’-lah yang telah menentukan kepemilikan umum ini dengan ketentuan yang sangat jelas melalui nas-nas syara’. Sesuatu itu akan menjadi milik umum apabila memiliki karakteristik sebagai berikut : Pertama, jumlah yang tidak terbatas. Kedua, sumber daya alam yang sifat alamiahnya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan. Ketiga, harta benda yang merupakan fasilitas umum, dimana jika tidak ada dalam suatu negeri, suku, atau komunitas yang hidup terus-menerus sebagai sebuah komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
Maka, apa yang dilakukan penguasa hari ini dengan menjual hutan-hutan dengan dalih investasi adalah haram, sebab meskipun penguasa itu menjualnya berdasarkan undang-undang, tetapi undang-undang itu buatan manusia sehingga undang-undang tersebut bukanlah hukum syara’.
Dalam Islam, sesuatu yang termasuk kepemilikan umum itu harus diserahkan kepada khalifah. Akan tetapi pengurusannya harus sesuai dengan ketetapan syara’. Pengurusan kepemilikan umum, manfaatnya menjadi milik semua rakyat tanpa ada perbedaan dan pengecualian.
Kepemilikan umum tidak boleh dimanfaatkan untuk urusan-urusan negara secara mutlak, dan tidak boleh bagi seorang khalifah (pemimpin dalam Islam) membelanjakan kepemilikan umum tersebut sedikitpun. Meskipun jika negara melihat kemaslahatan yang menghendaki perbuatan itu, tetap harus dilihat dari ketentuan syara’ atasnya. Sehingga negara tidak boleh berlaku sewenang-wenang yang bisa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat.
Wallahu a’lam bisshawab
Views: 15
Comment here