Oleh Yulia Hastuti, SE, M.Si (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Jelang konstelasi Pemilu serentak tahun 2024, sejumlah RSUD, RSUP, RSJ di Indonesia telah bersiap menyediakan ruang rawat khusus untuk mengantisipasi calon legislatif (caleg) yang mengalami depresi atau gangguan jiwa yang gagal dalam pemilihan legislatif (Pileg).
Dilansir dari Jawapos.com, (14/12/2023) ada sekitar 7 RS yang telah menyiapkan fasilitas khusus dalam rangka merehabilitasi caleg gagal yakni: RSUP Dr. Hasan Sadikin di Bandung, Jabar; RSUD Kabupaten Tangerang, Banten; RSUD Balaraja, Kabupaten Tangerang, Banten; RSUD Oto Iskandar Dinata, Kabupaten Bandung, Jabar; RSUD Kalisari Kabupaten Batang, Jateng; RSUD Sayang, Cianjur, Jabar; dan RSUD Wonosari Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta abdul Aziz mengimbau Dinas Kesehatan DKI Jakarta, untuk melakukan langkah-langlah antisipatif dengan menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kejiwaan untuk menampung gelombang ODGJ baru pasca pemilu. Belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu. (Detiknews, 26/01/2024)
Fenomena “caleg gagal kenal mental” selalu disuguhi ke publik seperti tahun-tahun sebelumnya pasca pertarungan pesta demokrasi tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan mengakibatkan gangguan mental. Terlebih jika hanya tujuan kekuasaan atau materil, akan berujung kekalahan. Disamping membutuhkan modal yang besar, daftar calon tentu tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia.
Pernyataan dari laman Antaranews, (11/12/2023) yang dikatakan oleh Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ. Beliau mengatakan, banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg kemudian terlilit utang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidup. Banyak caleg yang berobat ke psikiater, menyatakan bawah mereka tidak dapat menerima kekalahan tersebut, bahkan keluarga hingga tim sukses juga tak jarang turut mengalami stres hingga gangguan mental akibat kekalahan tersebut.
Inilah wujud asli pemilu dalam sistem demokrasi. Banyaknya kasus caleg gagal mengalami gangguan kejiwaan menjadi sesuatu yang “lumrah”. Telah jelas memperlihatkan pemilu hari ini berbiaya sangat tinggi. No free lunch, itulah prinsip yang dijalankan manusia zaman ini. Sehingga demi meraih kemenangan mampu mengerahkan segala macam cara dan perjuangan yang ekstra.
Jargon “Pemilu itu mahal, bukan cuma modal dengkul!” benar adanya. Pasalnya siapa pun orang yang akan maju menjadi caleg, terlebih capres dan cawapres membutuhkan “mahar” yang harus dibayarkan untuk membiayai kampanye dan kegiatan pemilu lainnya. Di sisi lain, dalam sistem kapitalis memiliki jabatan merupakan impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri dan prestis, serta keuntungan materi dan mudahnya mendapatkan keuntungan fasilitas yang disediakan negara.
Maka tidak mengherankan dalam masyarakat sekuler yang memisahkan aturan Allah Swt akan memunculkan fenomena caleg kena mental karena kekalahan di kontelasi. Pemilu dalam demokrasi hanya akan menghasilkan keburukan dengan tampilnya para kandidat yang gila kuasa dan harta. Rela berebut kursi, demi meraih jabatan dengan segala macam cara.
Bukan lagi rahasia, pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Para kandidat untuk maju ke perlemen butuh biaya fantastis. Menurut Prajna Research Indonesia, modal yang dikeluarkan untuk Caleg DPR RI beragam sesuai levelnya. Caleg DPRD kabupaten/kota Rp 250 juta-Rp300juta; caleg DPRD provinsi Rp500 juta-Rp1 miliar; dan caleg DPR RI Rp1 miliar-Rp2 miliar. Maka, tak terbayangkan nominal yang lebih besar harus disiapkan capres-cawapres RI.
Biaya tersebut dikeluarkan untuk berbagai macam keperluan, yaitu akomodasi ke daerah pemilihan, mulai dari transportasi, penginapan, makan dan sebagainya. Kebutuhan kampanye juga tak kalah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, seperti produksi baliho, kaos, umbul-umbul, iklan dan logistik lainnya. Ditambahkan pembiayaan tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya aksi. Bahkan termasuk biaya “serangan fajar”. Wajar pemilu dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan dari money politik atau politik uang.
Penentuan kemenangan dalam pemilu sesuai dengan slogan “Your money your vote”. Politik uang menjadi ciri khas pemilu dalam demokrasi, bukan lagi gagasan yang ditonjolkan, namun uang yang berbicara. Demi memenangkan pemilu, para peserta berani berkorban dengan menggelontorkan uang begitu fantastis agar branding sang kontestan meningkat melalui kampanye. Pencitraan menjadi senjata paling ampuh dalam memikat hati rakyat, walaupun faktanya terlihat zero gagasan dan minim adab.
Pertanyaannya yang muncul bagi kita, bagaimana mereka mengembalikan modal pemilu? Rasanya mustahil modal sefantastis itu diambil dari dana pribadi saja. Bukan rahasia umum lagi bahwa pihak sponsor atau pemilik modal adalah para pengusaha yang paling tajir dan bergelimang harta yang membantu calon penguasa.
Maka, tidak heran “bantuan” yang diberikan bukan cuma-cuma, namun harus dikembalikan demi politik balas budi. Politik transaksional akan terjadi demi menguntungkan bisnis para pengusaha, seperti pengesahan UU, pemenangan tender proyek strategis negara oleh korporasi swasta, peringanan pajak bahkan penghapusan di beberapa item pajak, dll.
Disadari dari awal, sebagian besar tujuan wakil rakyat dan penguasa mengikuti konstelasi pemilu adalah demi cuan atau materi. Minim sekali caleg dan calon penguasa yang maju dalam pemilihan tulus berjuang demi rakyat. Jikapun ada, kaum minoritas yang pada umumnya mereka akan berakhir dengan kegagalan. Jikapun ada yang lolos dan menduduki kursi itu, mereka akan dihadapkan pada dua pilihan yakni komitmen untuk mempertahankan idealisme, tapi teralienisasi atau terbawa arus sekularisme dan luntur idealismenya.
Upaya mereka untuk memperjuangkan hak rakyat pun akan mengalami banyak hambatan dan musuh. Dalam kondisi ini suara minoritas akan dikalahkan suara mayoritas. Maka wajar ketika kalah dalam pemilu mereka akan stres dan depresi karena harus kehilangan banyak uang yang melayang, ditambah lilitan utang yang jumlahnya selangit.
Dalam demokrasi untuk menjadi “seorang pemenang pemilu” tak perlu cerdas, berkharisma, multitalenta, apalagi beriman, cukup tunduk pada oligarki dan bersedia “mati” karenanya. Indonesia dengan segala kekayaan SDA yang dimiliki, namun rakyatnya miskin. Sebab kekayaan negeri ini tidak dikelola oleh negara dengan sistem dan mekanisme yang tepat.
Hanya segilintir orang yang berkuasa dan bermodal raksasa (oligarki) yang mengelola sekaligus menikmati keberlimpahan hasilnya, itu pun tidak murni penduduk pribumi, melainkan asing dan aseng. Syarat menjadi penguasa adalah mengabdi pada oligarki. Sebab oligarki inilah yang memegang kendali atas pemenangan pemilu. Oligarki akan tetap berkuasa dalam perlindungan sistem demokrasi kapitalisme dan ketundukan para penguasanya yang sekuler.
Berbeda sekali kekuasaan dalam perspektif Islam. Jabatan dan kekuasaan yang diemban merupakan amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt di akhirat kelak, dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan RasulNya. Saking beratnya amanah ini, banyak para sahabat yang mundur dan takut menerima amanah ini. Oleh karena itu, perlu keimanan yang kuat dan komitmen yang teguh dalam menjalankan amanah kekuasaan ini.
Begitu juga dengan sistem pendidikan Daulah Islam mampu menghantarkan individu menjadi orang yang memahami kekuasaan itu amanah dan beriman pada qada dan qadar yang telah ditetapkan Allah. Sistem pendidikan ini juga mampu melahirkan individu dalam ketaatan. Rasa syukur dan sabar selalu ditanamkan dalam diri sehingga terhindar dari gangguan mental.
Pemilu dalam Islam praktis, simple, sederhana, dan ekonomis. Modal besar tidak diperlukan untuk modal kampanye dan meningkatkan citra diri. Sebab masyarakat telah mengenalnya secara alami. Tak ada beban moril dan materil pasca pemilu, sehingga kesehatan mental peserta pemilu akan baik-baik saja tanpa khawatir terkena gangguan mental.
Demikianlah, dengan sistem politik Islam dapat mengembalikan kehidupan umat manusia menjadi mulia. Mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam yang efektif dan mampu menghasilkan pemimpin berkualitas dan kembali pada kehidupan yang sejahtera lagi berkah dalam keridaan-Nya.
Views: 37
Comment here